Wajah Janus Tahun 2023
Kamis, 29 Desember 2022 - 10:51 WIB
Kepastian menggelar pemilu di 14 Februari 2024, dan Pilkada pada 27 November 2022, menjadi tonggak penting di tengah nada sumbang tetapi bergelombang tentang penundaaan pemilu dan penambahan periode kekuasaan presiden yang disuarakan konsultan politik, sejumlah menteri di Kabinet Jokowi, relawan dan lain-lain. Wacana yang jelas bertentangan dengan asas kepastian penyelengaraan pemilu lima tahunan yang diatur konstitusi.
Pada Pasal 7 UUD 1945, sudah sangat jelas menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Artinya, periodisasi jabatan presiden dan wakil presiden, sebagai hal pasti (fix term) bukan hal yang fleksibel. Sementara soal regularitas pemilunya, sesuai dengan ketentuan Pasal 22E UUD 1945, harus digelar setiap lima tahun sekali.
Wacana liar penundaan Pemilu 2024 maupun penambahan periode kekuasaan wajib ditolak! Terlebih jika menyandarkan argumen pada situasi pandemi dan pemulihan ekonomi semata-mata. Konstitusi, meksipun bisa diamendemen, tetapi tidak dilakukan dengan alasan yang bersifat serampangan.
Kedua, penting untuk mencatatkan keterhubungan antara proses pemilu, pengelolaan pemilu, hukum pemilu untuk mendapatkan hasil pemilu yang lebih berkualitas. Pasal 167 ayat (6) UU Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) menyebut tahapan pemilu dimulai 20 bulan sebelum hari pemungutan suara. Sepanjang tahun ini, kita telah menyimak gegap gempitanya pendaftaran partai politik calon peserta pemilu.
KPU, pada 14 Desember 2022, telah mengumumkan ada 17 parpol yang dinyatakan lolos sebagai peserta pemilu 2024. Di antara 17 parpol yang lolos tersebut, 9 partai parlemen dan 8 partai nonparlemen. Sementara itu, terdapat satu parpol yang tidak lolos sebagai peserta Pemilu 2024 yakni Partai Ummat.
Hal ini diatur dalam Pasal 133 dan Pasal 135 PKPU Nomor 4 Tahun 2022 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu. KPU bertugas melakukan rekapitulasi di tingkat nasional dan dilakukan pada rapat pleno yang dihadiri parpol tingkat pusat dan Bawaslu. Muncul gugatan soal imparsialitas KPU dalam proses verifikasi faktual. Tentu hal ini harus dibuktikan, bahwa KPU memang independen dan profesional dalam meloloskan ataupun tidak parpol peserta pemilu.
Selain itu, juga terkait dengan implementasi Perppu Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Salah satu yang krusial adalah 4 provinsi Daerah Otonomi Baru (DOB), yaitu Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Pegunungan, dan Provinsi Papua Barat Daya. Perppu juga membahas Pemilu di IKN.
Tentu hal ini membutuhkan perhatian karena berkonsekuensi teknis pada penyelenggaraan pemilu, misalnya karena ada tambahan anggota DPR menjadi 580 anggota akibat bertambahnya provinsi dari 34 menjadi 38.
Ketiga, dinamika pancapresan terutama terhubung dengan mulai mengerucutnya nama dan peta kongsi. Tahun ini sudah ada satu partai, yakni Partai Nasdem yang secara eksplisit mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai capresnya di Pemilu Presiden 2024. Situasi politik kandidasi dipengaruhi faktor aksi-reaksi antarkekuatan. Stimulus-respons yang membuka dinamika komunikasi politik dan negosiasi dalam membentuk koalisi. Situasinya hingga penhujung tahun ini belum final.
Potensi poros sudah mulai dapat dibaca meski masih bisa berubah. Pun nama-nama yang menguat mendapatkan panggung di media massa dan dorongan sejumlah lembaga survei yang memetakan opini publik yang berkembang.
Pada Pasal 7 UUD 1945, sudah sangat jelas menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Artinya, periodisasi jabatan presiden dan wakil presiden, sebagai hal pasti (fix term) bukan hal yang fleksibel. Sementara soal regularitas pemilunya, sesuai dengan ketentuan Pasal 22E UUD 1945, harus digelar setiap lima tahun sekali.
Wacana liar penundaan Pemilu 2024 maupun penambahan periode kekuasaan wajib ditolak! Terlebih jika menyandarkan argumen pada situasi pandemi dan pemulihan ekonomi semata-mata. Konstitusi, meksipun bisa diamendemen, tetapi tidak dilakukan dengan alasan yang bersifat serampangan.
Kedua, penting untuk mencatatkan keterhubungan antara proses pemilu, pengelolaan pemilu, hukum pemilu untuk mendapatkan hasil pemilu yang lebih berkualitas. Pasal 167 ayat (6) UU Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) menyebut tahapan pemilu dimulai 20 bulan sebelum hari pemungutan suara. Sepanjang tahun ini, kita telah menyimak gegap gempitanya pendaftaran partai politik calon peserta pemilu.
KPU, pada 14 Desember 2022, telah mengumumkan ada 17 parpol yang dinyatakan lolos sebagai peserta pemilu 2024. Di antara 17 parpol yang lolos tersebut, 9 partai parlemen dan 8 partai nonparlemen. Sementara itu, terdapat satu parpol yang tidak lolos sebagai peserta Pemilu 2024 yakni Partai Ummat.
Hal ini diatur dalam Pasal 133 dan Pasal 135 PKPU Nomor 4 Tahun 2022 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu. KPU bertugas melakukan rekapitulasi di tingkat nasional dan dilakukan pada rapat pleno yang dihadiri parpol tingkat pusat dan Bawaslu. Muncul gugatan soal imparsialitas KPU dalam proses verifikasi faktual. Tentu hal ini harus dibuktikan, bahwa KPU memang independen dan profesional dalam meloloskan ataupun tidak parpol peserta pemilu.
Selain itu, juga terkait dengan implementasi Perppu Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Salah satu yang krusial adalah 4 provinsi Daerah Otonomi Baru (DOB), yaitu Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Pegunungan, dan Provinsi Papua Barat Daya. Perppu juga membahas Pemilu di IKN.
Tentu hal ini membutuhkan perhatian karena berkonsekuensi teknis pada penyelenggaraan pemilu, misalnya karena ada tambahan anggota DPR menjadi 580 anggota akibat bertambahnya provinsi dari 34 menjadi 38.
Ketiga, dinamika pancapresan terutama terhubung dengan mulai mengerucutnya nama dan peta kongsi. Tahun ini sudah ada satu partai, yakni Partai Nasdem yang secara eksplisit mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai capresnya di Pemilu Presiden 2024. Situasi politik kandidasi dipengaruhi faktor aksi-reaksi antarkekuatan. Stimulus-respons yang membuka dinamika komunikasi politik dan negosiasi dalam membentuk koalisi. Situasinya hingga penhujung tahun ini belum final.
Potensi poros sudah mulai dapat dibaca meski masih bisa berubah. Pun nama-nama yang menguat mendapatkan panggung di media massa dan dorongan sejumlah lembaga survei yang memetakan opini publik yang berkembang.
Lihat Juga :
tulis komentar anda