Ini Telaah Ahli Psikologi Forensik, Mengapa Emosi Ferdy Sambo Bisa Memuncak
Senin, 26 Desember 2022 - 20:04 WIB
JAKARTA - Ahli Psikologi Forensik Reni Kusumowardhani menjelaskan hasil telaah psikologi mantan Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo. Hasilnya, kecerdasan Ferdy Sambo di atas rata-rata.
Dalam persidangan, Reni yang juga terlibat dalam penelurusan misteri kematian Kalideres menyampaikan Ferdy Sambo memiliki kemampuan abstraksi imajinasi dan kreativitas yang terbilang sangat baik.
"Izin untuk membuka data, jadi untuk dimulai dari Bapak Ferdy Sambo. Bapak FS memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Kemampuan atraksi, imajinasi, dan kreativitasnya sangat baik," kata Reni, Senin (26/12/2022).
Menurut Ahli, kondisi kemarahan yang memuncak dan tidak tenang menjadi hal paling mendominasi terkait pemicu terjadinya tragedi pembunuhan di rumah dinas Duren Tiga. Hal tersebut, sesuai dengan pengakuan dan pemeriksaan psikologi yang dilaksanakan berjenjang dan menggunakan beberapa metodologi untuk mendukung akurasi pemeriksaan. "Diakui Pak Ferdy dalam pemeriksaan langsung bahwa dalam situasi itu memang dia marah sekali, sudah lupa semuanya," kata Reni.
Terkait Kecerdasan di atas rata-rata itu, kata Reni, bukan berarti Sambo tidak mampu melanggar norma. Apalagi, kata Reni, seseorang yang memiliki kecerdasan tinggi bisa melanggar norma dalam situasi yang mendesak dan dipicu oleh sesuatu yang sangat memicu kemarahan dan naiknya emosi khususnya terkait dengan harga diri dan kehormatan keluarga; sehingga tidak mampu mengendalikan diri.
Di sisi lain, Reni juga menjelaskan mengapa Putri Candrawathi yang menjadi korban kekerasan seksual oleh Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J masih mampu menanggulangi situasi trauma yang dialami, bahkan menemui pelaku.
“Yang terjadi pada Ibu PC berdasarkan teori, lebih sesuai dengan respons yang kontrol. Jadi seolah tidak ada emosi apa-apa, seolah-olah tidak terjadi apa-apa, itu merupakan satu bentuk defense mechanism (mekanisme bertahan) untuk bisa tetap tegar, mekanisme pertahanan jiwa,” tegas Reni.
Lebih lanjut, Reni Kusumowardhani pun menuturkan pada Rape Trauma Syndrom atau sindrom perempuan yang mengalami kekerasan seksual sampai pemerkosaan memang ada fase akut. Dalam fase akut atau fase segera ini, sambung Reni, kemungkinannya ada tiga hal yang terjadi pada korban kekerasan seksual.
“Yang pertama adalah express, jadi di sini adalah mengekspresikan kemarahannya, yang kedua itu kontrol, di kontrol ini satu penekanan dan ini memang berelasi dengan ciri-ciri kepribadian tertentu yang internalizing tadi, jadi menekan rasa marahnya, menekan rasa takutnya, menekan rasa malunya, meskipun itu muncul, itu ada itu dikontrol dan kemudian yang ketiga adalah shock disbelief menjadi sulit berkonsentrasi dan sulit mengambil keputusan,” ucap Reni.
Dalam persidangan, Reni yang juga terlibat dalam penelurusan misteri kematian Kalideres menyampaikan Ferdy Sambo memiliki kemampuan abstraksi imajinasi dan kreativitas yang terbilang sangat baik.
"Izin untuk membuka data, jadi untuk dimulai dari Bapak Ferdy Sambo. Bapak FS memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Kemampuan atraksi, imajinasi, dan kreativitasnya sangat baik," kata Reni, Senin (26/12/2022).
Menurut Ahli, kondisi kemarahan yang memuncak dan tidak tenang menjadi hal paling mendominasi terkait pemicu terjadinya tragedi pembunuhan di rumah dinas Duren Tiga. Hal tersebut, sesuai dengan pengakuan dan pemeriksaan psikologi yang dilaksanakan berjenjang dan menggunakan beberapa metodologi untuk mendukung akurasi pemeriksaan. "Diakui Pak Ferdy dalam pemeriksaan langsung bahwa dalam situasi itu memang dia marah sekali, sudah lupa semuanya," kata Reni.
Terkait Kecerdasan di atas rata-rata itu, kata Reni, bukan berarti Sambo tidak mampu melanggar norma. Apalagi, kata Reni, seseorang yang memiliki kecerdasan tinggi bisa melanggar norma dalam situasi yang mendesak dan dipicu oleh sesuatu yang sangat memicu kemarahan dan naiknya emosi khususnya terkait dengan harga diri dan kehormatan keluarga; sehingga tidak mampu mengendalikan diri.
Di sisi lain, Reni juga menjelaskan mengapa Putri Candrawathi yang menjadi korban kekerasan seksual oleh Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J masih mampu menanggulangi situasi trauma yang dialami, bahkan menemui pelaku.
“Yang terjadi pada Ibu PC berdasarkan teori, lebih sesuai dengan respons yang kontrol. Jadi seolah tidak ada emosi apa-apa, seolah-olah tidak terjadi apa-apa, itu merupakan satu bentuk defense mechanism (mekanisme bertahan) untuk bisa tetap tegar, mekanisme pertahanan jiwa,” tegas Reni.
Lebih lanjut, Reni Kusumowardhani pun menuturkan pada Rape Trauma Syndrom atau sindrom perempuan yang mengalami kekerasan seksual sampai pemerkosaan memang ada fase akut. Dalam fase akut atau fase segera ini, sambung Reni, kemungkinannya ada tiga hal yang terjadi pada korban kekerasan seksual.
“Yang pertama adalah express, jadi di sini adalah mengekspresikan kemarahannya, yang kedua itu kontrol, di kontrol ini satu penekanan dan ini memang berelasi dengan ciri-ciri kepribadian tertentu yang internalizing tadi, jadi menekan rasa marahnya, menekan rasa takutnya, menekan rasa malunya, meskipun itu muncul, itu ada itu dikontrol dan kemudian yang ketiga adalah shock disbelief menjadi sulit berkonsentrasi dan sulit mengambil keputusan,” ucap Reni.
(cip)
tulis komentar anda