Piala Dunia, Qatarphobia, dan Palestina
Selasa, 13 Desember 2022 - 12:45 WIB
Menjelang perhelatan Piala Dunia digelar, Le Canard Enchaine, sebuah media di Prancis, mengunggah karikatur pemain Qatar yang digambarkan sebagai sekumpulan teroris yang tengah menenteng senapan mesin dan senjata tajam. Di Inggris, sebuah survei independen menunjukkan bahwa 62% warga Inggris setuju pembatalan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia hanya karena penolakan Qatar atas kampanye LQBTQI+ dan nilai liberal lainnya.
Narasi yang dibangun tentang Qatar dan Islam saat pelaksanaan Piala Dunia dibuat dengan menempatkan Barat yang tercerahkan, berseberangan dengan Timur Tengah yang tidak beradab dan tidak dapat diperbaiki. Budaya Timur Tengah dan Islam diposisikan sebagai budaya rendah yang tidak sebanding dengan budaya dan peradaban Barat yang, dalam klaim mereka sendiri, luhur dan adiluhung.
Peringatan Wearing mengingatkan munculnya istilah Qatarphobia hampir dua dekade lalu oleh Mehdi Hasan. Istilah Qatarphobia memulai dan menandai kehebohan dan pandangan miring pada Qatar selaku tuan rumah Piala Dunia 2022. Mehdi Hasan, jurnalis terkemuka Timur Tengah, mengatakan bahwa pandangan negatif sengaja diembuskan Barat pada Qatar dengan mengedepankan isu sportwashing, greenwashing, pelanggaran HAM pada para pekerja, dan kebebasan minum minuman alkolohol serta ekspresi LBTQI+, dengan representasi lebih jauh pada Timur Tengah dan Islam.
Indikasi tersebut makin kentara terlihat saat Piala Dunia digelar. Rencana beberapa negara Eropa dengan ekspresi pembelaan terhadap LGBTQI+ dan minum alkohol seperti ingin mengajari Qatar bagaimana bersikap terhadap kebebasan berekspresi dengan standar moral yang dibuat dan diyakini mereka. Pada titik ini, olahraga memasuki era sebagai wahana promosi kebebasan laku LGBTQI+ dan semacamnya.
Palestina
Qatar dan Iran menjadi perhatian tersendiri dalam gelaran Piala Dunia. Meski berbeda tekanan dan arah politik (di medan pertempuran politik dan militer di Suriah, Qatar adalah pendukung Ikhwanul Muslimin, sementara Iran adalah lawan politik dan militer IM), Qatar dan Iran sama- sama mendukung Palestina. Dalam berbagai kesempatan, Iran dan Qatar adalah negara yang paling keras bersuara menentang Israel.
Oleh karena itu, bisa dikatakan Qatar dan Iran berada di garis terdepan dalam konsistensi menyuarakan problem Palestina melawan Israel. Di tengah penindasan Israel atas rakyat dan kedaulatan Palestina, pembelaan dua negara ini adalah oase di antara kenyataan pahit makin mesranya negara-negara petrodollar Arab dengan Israel.
Bersamaan dengan momen Piala Dunia, Israel terus melakukan penggusuran dan ekspansi masif warganya ke wilayah pendudukan mereka di Palestina. Serangkaian pembunuhan keji Israel terhadap warga Palestina di Hebron dan Jenin dalam beberapa hari ini terasa menjadi aktivitas biasa akibat dinginnya tanggapan media Barat.
Dalam relasi demikian, tekanan dan kenyinyiran media Barat pada Qatar sesungguhnya dapat dilihat sebagai bagian dari desakan terhadap keberpihakan Qatar pada Palestina. Mengambil risiko anggapan politisasi olahraga, Qatar menempatkan bendera Palestina dan imej digitalnya pada berbagai Gedung di Doha.
Terang, hal ini membuat media Barat pro Israel gerah dan berang. Meski demikian, Qatar menimbang perlawanan terhadap politik apartheid dan kesewenang-wenangan Israel, ditambah cuek dan arogansi media Barat, lebih penting ketimbang risiko politisasi olahraga.
Narasi yang dibangun tentang Qatar dan Islam saat pelaksanaan Piala Dunia dibuat dengan menempatkan Barat yang tercerahkan, berseberangan dengan Timur Tengah yang tidak beradab dan tidak dapat diperbaiki. Budaya Timur Tengah dan Islam diposisikan sebagai budaya rendah yang tidak sebanding dengan budaya dan peradaban Barat yang, dalam klaim mereka sendiri, luhur dan adiluhung.
Peringatan Wearing mengingatkan munculnya istilah Qatarphobia hampir dua dekade lalu oleh Mehdi Hasan. Istilah Qatarphobia memulai dan menandai kehebohan dan pandangan miring pada Qatar selaku tuan rumah Piala Dunia 2022. Mehdi Hasan, jurnalis terkemuka Timur Tengah, mengatakan bahwa pandangan negatif sengaja diembuskan Barat pada Qatar dengan mengedepankan isu sportwashing, greenwashing, pelanggaran HAM pada para pekerja, dan kebebasan minum minuman alkolohol serta ekspresi LBTQI+, dengan representasi lebih jauh pada Timur Tengah dan Islam.
Indikasi tersebut makin kentara terlihat saat Piala Dunia digelar. Rencana beberapa negara Eropa dengan ekspresi pembelaan terhadap LGBTQI+ dan minum alkohol seperti ingin mengajari Qatar bagaimana bersikap terhadap kebebasan berekspresi dengan standar moral yang dibuat dan diyakini mereka. Pada titik ini, olahraga memasuki era sebagai wahana promosi kebebasan laku LGBTQI+ dan semacamnya.
Palestina
Qatar dan Iran menjadi perhatian tersendiri dalam gelaran Piala Dunia. Meski berbeda tekanan dan arah politik (di medan pertempuran politik dan militer di Suriah, Qatar adalah pendukung Ikhwanul Muslimin, sementara Iran adalah lawan politik dan militer IM), Qatar dan Iran sama- sama mendukung Palestina. Dalam berbagai kesempatan, Iran dan Qatar adalah negara yang paling keras bersuara menentang Israel.
Oleh karena itu, bisa dikatakan Qatar dan Iran berada di garis terdepan dalam konsistensi menyuarakan problem Palestina melawan Israel. Di tengah penindasan Israel atas rakyat dan kedaulatan Palestina, pembelaan dua negara ini adalah oase di antara kenyataan pahit makin mesranya negara-negara petrodollar Arab dengan Israel.
Bersamaan dengan momen Piala Dunia, Israel terus melakukan penggusuran dan ekspansi masif warganya ke wilayah pendudukan mereka di Palestina. Serangkaian pembunuhan keji Israel terhadap warga Palestina di Hebron dan Jenin dalam beberapa hari ini terasa menjadi aktivitas biasa akibat dinginnya tanggapan media Barat.
Dalam relasi demikian, tekanan dan kenyinyiran media Barat pada Qatar sesungguhnya dapat dilihat sebagai bagian dari desakan terhadap keberpihakan Qatar pada Palestina. Mengambil risiko anggapan politisasi olahraga, Qatar menempatkan bendera Palestina dan imej digitalnya pada berbagai Gedung di Doha.
Terang, hal ini membuat media Barat pro Israel gerah dan berang. Meski demikian, Qatar menimbang perlawanan terhadap politik apartheid dan kesewenang-wenangan Israel, ditambah cuek dan arogansi media Barat, lebih penting ketimbang risiko politisasi olahraga.
Lihat Juga :
tulis komentar anda