Piala Dunia, Qatarphobia, dan Palestina

Selasa, 13 Desember 2022 - 12:45 WIB
loading...
Piala Dunia, Qatarphobia, dan Palestina
Saiful Maarif (Foto: Ist)
A A A
Saiful Maarif
Asesor SDM Kementerian Agama

PUBLIK dunia tengah menikmati euforia Piala Dunia yang sudah memasuki babak semifinal dengan segala pernak-pernik dan kehebohan aksi kesebelasan berbagai negara. Banyak momen dalam pertandingan yang telah terjadi dan menghiasi perbincangan publik se-antero jagad, misalnya tentang kontroversi proses gol tim Jepang ke Spanyol, sensasi kemenangan Maroko, keributan timnas Argentina-Belanda, dan kehebohan lainnya.

Namun demikian, gelaran piala dunia 2022 juga menumbuhkan warna baru yang patut dicermati dalam bentuk promosi atas nama kebebasan berpendapat dengan mengedepankan isu Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Queer, Interseksual, dan kecenderungan lainnya (LGBTQI+), serta minum alkohol.

Beberapa tim Eropa berkeras menampilkan pesan ini di antaranya lewat simbol pelangi di kostum mereka. Akan tetapi, napas liberalisme ini ditolak mentah-mentah FIFA dan Qatar selaku tuan rumah.

Baca Juga: koran-sindo.com

Dalam situasi seperti itu, pejabat publik dan media Barat intensif mendorong pemberitaan yang menyudutkan Qatar dan negara Islam lainnya. Menlu Jerman dengan demonstratif membuka jas di salah satu stadion Piala Dunia Qatar dan memamerkan ban lenganone love untuk dukungan pada LBGTQI+.

Pada kesempatan lain, para jurnalis Barat juga tidak segan bertanya kepada kapten tim Iran tentang gejolak politik yang terjadi di Teheran, sesuatu yang jelas tidak berhubungan dengan laga di lapangan bola.

Hal demikian menunjukkan bahwa ide pemakaian ban lengan LGBTQI+ dan minum alkohol bukan hanya tentang memakaikan sebentuk tanda pada kostum sepak bola, namun lebih dari itu hal tersebut adalah bentuk intervensi ide pada negara monarki Islam Qatar dari pemikiran liberal Barat. Sederhananya, cara-cara Barat dalam menekan Qatar dan negara Islam dalam ajang Piala Dunia adalah bentuk orientalisme lama dengan didandani ulang untuk konsumsi publik saat ini.

Dalam esainya, AngloArabia: Why Gulf Wealth Matters to Britain (2022), David Wearing, pengamat politik di University of Sussex, mengatakan bahwa banyak wacana seputar Piala Dunia saat ini didorong oleh “karikatur rasis” secara murni maupun maknawi, sikap culas dan narsis, serta lupa melihat kesalahan dan kekurangan diri sendiri.

Menjelang perhelatan Piala Dunia digelar, Le Canard Enchaine, sebuah media di Prancis, mengunggah karikatur pemain Qatar yang digambarkan sebagai sekumpulan teroris yang tengah menenteng senapan mesin dan senjata tajam. Di Inggris, sebuah survei independen menunjukkan bahwa 62% warga Inggris setuju pembatalan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia hanya karena penolakan Qatar atas kampanye LQBTQI+ dan nilai liberal lainnya.

Narasi yang dibangun tentang Qatar dan Islam saat pelaksanaan Piala Dunia dibuat dengan menempatkan Barat yang tercerahkan, berseberangan dengan Timur Tengah yang tidak beradab dan tidak dapat diperbaiki. Budaya Timur Tengah dan Islam diposisikan sebagai budaya rendah yang tidak sebanding dengan budaya dan peradaban Barat yang, dalam klaim mereka sendiri, luhur dan adiluhung.

Peringatan Wearing mengingatkan munculnya istilah Qatarphobia hampir dua dekade lalu oleh Mehdi Hasan. Istilah Qatarphobia memulai dan menandai kehebohan dan pandangan miring pada Qatar selaku tuan rumah Piala Dunia 2022. Mehdi Hasan, jurnalis terkemuka Timur Tengah, mengatakan bahwa pandangan negatif sengaja diembuskan Barat pada Qatar dengan mengedepankan isu sportwashing, greenwashing, pelanggaran HAM pada para pekerja, dan kebebasan minum minuman alkolohol serta ekspresi LBTQI+, dengan representasi lebih jauh pada Timur Tengah dan Islam.

Indikasi tersebut makin kentara terlihat saat Piala Dunia digelar. Rencana beberapa negara Eropa dengan ekspresi pembelaan terhadap LGBTQI+ dan minum alkohol seperti ingin mengajari Qatar bagaimana bersikap terhadap kebebasan berekspresi dengan standar moral yang dibuat dan diyakini mereka. Pada titik ini, olahraga memasuki era sebagai wahana promosi kebebasan laku LGBTQI+ dan semacamnya.

Palestina
Qatar dan Iran menjadi perhatian tersendiri dalam gelaran Piala Dunia. Meski berbeda tekanan dan arah politik (di medan pertempuran politik dan militer di Suriah, Qatar adalah pendukung Ikhwanul Muslimin, sementara Iran adalah lawan politik dan militer IM), Qatar dan Iran sama- sama mendukung Palestina. Dalam berbagai kesempatan, Iran dan Qatar adalah negara yang paling keras bersuara menentang Israel.

Oleh karena itu, bisa dikatakan Qatar dan Iran berada di garis terdepan dalam konsistensi menyuarakan problem Palestina melawan Israel. Di tengah penindasan Israel atas rakyat dan kedaulatan Palestina, pembelaan dua negara ini adalah oase di antara kenyataan pahit makin mesranya negara-negara petrodollar Arab dengan Israel.

Bersamaan dengan momen Piala Dunia, Israel terus melakukan penggusuran dan ekspansi masif warganya ke wilayah pendudukan mereka di Palestina. Serangkaian pembunuhan keji Israel terhadap warga Palestina di Hebron dan Jenin dalam beberapa hari ini terasa menjadi aktivitas biasa akibat dinginnya tanggapan media Barat.

Dalam relasi demikian, tekanan dan kenyinyiran media Barat pada Qatar sesungguhnya dapat dilihat sebagai bagian dari desakan terhadap keberpihakan Qatar pada Palestina. Mengambil risiko anggapan politisasi olahraga, Qatar menempatkan bendera Palestina dan imej digitalnya pada berbagai Gedung di Doha.

Terang, hal ini membuat media Barat pro Israel gerah dan berang. Meski demikian, Qatar menimbang perlawanan terhadap politik apartheid dan kesewenang-wenangan Israel, ditambah cuek dan arogansi media Barat, lebih penting ketimbang risiko politisasi olahraga.

Sementara itu, warga Arab juga menunjukkan dukungan pada Palestina dengan melakukan penolakan terhadap tawaran wawancara jurnalis Israel. Penolakan masyarakat Arab untuk memberikan respons terhadap konfirmasi jurnalis Israel menunjukkan sikap yang jelas: terdapat jurang dan perbedaan yang nyata antara keputusan pemerintah dan apa yang berlangsung di jalanan sebagai aspirasi warga.

Penolakan berbagai kalangan terhadap jurnalis Israel adalah juga cara warga Arab untuk menunjukkan bahwa Palestina tetap berada dalam hati dan benak masyarakat Arab, meski aparatus pemerintahan beberapa negara Arab menormalisasi hubungan dengan Israel.

Palestina adalah titik didih masalah Timur Tengah namun mampu menyatukan sentimen persatuan Arab, setidaknya dalam diri para suporter sepak bola.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1872 seconds (0.1#10.140)