Pro-Kontra Impor Beras

Selasa, 13 Desember 2022 - 11:40 WIB
Khudori (Foto: Ist)
Khudori

Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP)

IMPOR, seperti halnya ekspor, merupakan kegiatan ekonomi biasa. Keduanya merupakan aktivitas netral. Akan tetapi, di Indonesia aktivitas impor, apalagi impor pangan, seringkali jadi pelik dan rumit. Itu terjadi terutama pada komoditas yang kental muatan politik seperti beras.

Seperti umumnya di negara-negara Asia, di Indonesia beras adalah komoditas pemicu inflasi. Inflasi yang tinggi membuat kesejahteraan warga, terutama yang miskin, tergerus. Inflasi tinggi membuat jumlah kemiskinan bertambah. Inflasi juga menyebabkan naiknya suku bunga, yang ujungnya menghancurkan sektor riil.

Baca Juga: koran-sindo.com



Seperti diberitakan banyak media, Bulog memastikan mengimpor beras 200.000 ton dari izin yang dikantongi: 500.000 ton. Beras tiba di Indonesia Desember 2022 ini. Pro-kontra muncul di publik. Ini tak bisa dilepaskan dari posisi ekonomi dan politik beras. Partisipasi konsumsi beras di Indonesia saat ini hampir sempurna: semua perut warga dari Sabang sampai Serui tergantung pada beras.

Dari sisi gizi dan nutrisi, beras relatif unggul dari pangan lain. Seluruh bagian beras bisa dimakan, kandungan energinya 360 kalori per 100 gr, dan protein 6,8 gr per 100 gr. Pangsa beras pada konsumsi energi per kapita (intake) mencapai 54,3%, dan 40% sumber protein dipenuhi dari beras.

Dari sisi produsen, usaha tani padi melibatkan 13,155 juta rumah tangga, tertinggi di antara komoditas penting lainnya. Dalam struktur pengeluaran rumah tangga, beras mendominasi: rerata 24% dari total pengeluaran. Jika harga beras naik, jumlah warga miskin dipastikan bakal membengkak. Makanya, di Indonesia –dan sebagian besar negara di Asia—berkepentingan dengan beras, tidak saja sebagai komoditi upah (wage goods), tapi juga komoditas politik (political goods). Pendek kata, beras merupakan komoditas strategis karena menjadi penopang tripel ketahanan: pangan, ekonomi dan nasional.

Dalam konteks seperti ini mudah dipahami bila rencana mengimpor 0,5 juta ton beras saat ini memantik kontroversi. Pemerintah, seperti dijelaskan Kepala Badan Pangan Nasional (National Food Agency/NFA) Arief Prasetyo Adi, tak ingin mengambil risiko lantaran stok beras di gudang Bulog awal Desember 2022 tipis: sekitar 500.000 ton. Menggenjot pengadaan beras dari produksi domestik hanya akan menambah salah urus. Saat ini musim paceklik: produksi lebih rendah dari konsumsi. Mendorong Bulog masuk ke pasar dan bersaing dengan pelaku pasar lain bakal mengerek harga beras kian tinggi.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More