Pemilu 2024 dan Potensi Konflik

Senin, 12 Desember 2022 - 12:40 WIB
Dalam ruang lingkup daerah bisa dilihat sensitivitas negatif dalam politik praktis yang bisa menyulut konflik fisik di masyarakat.

Pada lingkup politik nasional polarisasi berkepanjangan terjadi sampai saat ini. Situasi perang siber sejak Pemilu 2014, Pilkada DKI 2017 hingga Pemilu 2019 masih berlanjut. Polarisasi ini berkembang hingga ke aspek interaksi publik. Termasuk pada penilaian program pemerintah maupun pemerintah daerah yang juga bergantung pada kubu masing-masing, hingga perang argumen yang di luar nalar. Akibat konflik siber ini, tensi masyarakat selalu tinggi. Terutama di dunia maya. Saling serang dan sebaran ujaran kebencian sering muncul dalam interaksi di media sosial.

Pola konflik siber yang berkepanjangan dan rentan memicu disintegrasi nasional menjadi salah satu konflik yang bersifat destruktif. Konflik ini menyimpan dan menyebarkan kebencian dan dendam di antara kelompok yang berseberangan pilihan politik. Tentu situasi ini menjadi kendala dalam membangun dan menjaga integrasi nasional. Bahkan kebencian dan dendam yang tersimpan tersebut menjadi bahaya laten yang setiap saat apabila ada pemicu bisa menimbulkan konflik yang lebih besar. Masyarakat beraktifitas dalam situasi penuh ketegangan dan was-was.

Konflik sosial termasuk konflik siber tidak selamanya bersifat destruktif. Konflik dalam takaran tertentu dapat menjadi salah satu proses mendewasakan masyarakat. Prasyaratnya adalah pengendalian konflik tersebut. Untuk mencapai konflik siber yang konstruktif perlu langkah-langkah strategis dalam mengelolanya. Pemilu dan pilkada serentak 2024 menjadi momentum pembuktian apakah konflik siber yang menimbulkan polarisasi masyarakat saat ini akan menjadi konstruktif atau malah berkembang menjadi destruktif dan berdampak pada disintegrasi nasional.

Berpolitik Damai dan Positif

Pemilu dan pilkada merupakan pesta demokrasi yang idealnya disambut dengan gegap gempita. Dulu sering terdengar mars pemilu yang salah satu liriknya akrab di telinga generasi 90-an, “pemilihan umum telah memanggil kita, seluruh rakyat menyambut gembira”. Potongan lirik tersebut menunjukkan pemilu sebagai sebuah ajang rakyat yang seharusnya disambut dengan suka cita.

Namun, nampaknya penyambutan gembira akan datangnya pemilu tersebut menjadi situasi langka dalam beberapa dekade ini. Menjelang pemilu kini selalu disambut dengan ketegangan dan tensi masyarakat yang tinggi. Bahkan usai pelaksanaannya pun masih menyebabkan ketegangan berkepanjangan.

Pemilu merupakan ajang suksesi kepemimpinan nasional dan lokal sekaligus merupakan sarana edukasi politik dan demokrasi bagi masyarakat. Kesuksesan penyelenggaraan setiap tahapan pemilu yang baik, jujur dan adil menjadi sarana edukasi bagi setiap generasi. Hasilnya pun akan memiliki legitimasi tinggi dari masyarakat serta menghindarkan masyarakat dari konflik politik.

Di sinilah letak esensi pemilu sebagai ajang demokrasi prosedural dan substansial. Tentu untuk mencapainya perlu kerja keras dari berbagai pihak terutama penyelenggara dan pengawas pemilu, elit dan partai politik, penegak hukum, kontestan pemilu dan pilkada, dan lain-lain.

Upaya menciptakan pemilu damai harus dimulai dengan menciptakan kompetisi atau kontestasi yang sehat. Di sini elite politik dan partai politik yang berkompetisi memiliki peran yang sangat vital. Tak jarang konflik di akar rumput merupakan resonansi dari cara kompetisi di antara elite politik yang tidak membangun.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More