Mendorong Optimisme Menuju 2023
Senin, 05 Desember 2022 - 08:04 WIB
Kenaikan suku bunga sebesar 50 bps adalah hal yang tepat dan seharusnya tidak dihentikan dalam waktu dekat mengingat Bank sentral negara maju seperti Swiss, Eropa, Amerika Serikat (AS), hingga negara Asia seperti Korea Selatan telah mulai mengerek suku bunga sebelum pertengahan tahun. Pun The Fed telah mulai mengerek suku bunga acuan sejak Maret 2022. Sepanjang tahun ini, The Fed bahkan telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 375 bps menjadi 3,75-4,0%.
Kolaborasi sinergi yang solid antara kebijakan moneter dan fiskal menjadi kunci untuk mengatasi ancaman inflasi dan perlambatan ekonomi, ditengah ketidakpastian ekonomi global. Pengendalian inflasi yang tidak cukup dengan menaikkan suku bunga oleh Bank Indonesia saja, melainkan juga dengan mengintervensi dari sisi fiskal.
Pemerintah perlu memberikan stimulus fiskal untuk melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dapat memberikan bantalan sosial (bansos). Sebelumnya, pemerintah telah mengeluarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 500/4825/SJ tentang Penggunaan Belanja Tidak Terduga Dalam Rangka Pengendalian Inflasi Daerah untuk menjaga keterjangkauan harga dan daya beli masyarakat.
Selain itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan belanja wajib perlindungan sosial sebesar 2% dari Dana Transfer Umum yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH). Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.07/2022 tentang Belanja Wajib dalam Rangka Penanganan Dampak Inflasi Tahun Anggaran 2022 yang ditetapkan tanggal 5 September 2022, di mana total alokasi dana mencapai Rp2,17 triliun.
Sinergi, kebersamaan dan kolaborasi sangat diperlukan untuk keluar dari jerat inflasi dan stagflasi. Selain kerjasama antara fiskal dan moneter, faktanya kerjasama antarpemerintah – pusat dan daerah – pun mutlak diperlukan dalam menjaga pasokan dan kelancaran distribusi barang dan jasa. Melalui berbagai regulasi fiskal yang telah digulirkan diharapkan dapat mendorong daerah untuk mampu menjaga keterjangkauan harga, daya beli masyarakat, kelancaran distribusi dan transportasi sehingga masyarakat yang rentan terhadap dampak inflasi di masing-masing daerah dapat terjaga. Semoga.
Kolaborasi sinergi yang solid antara kebijakan moneter dan fiskal menjadi kunci untuk mengatasi ancaman inflasi dan perlambatan ekonomi, ditengah ketidakpastian ekonomi global. Pengendalian inflasi yang tidak cukup dengan menaikkan suku bunga oleh Bank Indonesia saja, melainkan juga dengan mengintervensi dari sisi fiskal.
Pemerintah perlu memberikan stimulus fiskal untuk melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dapat memberikan bantalan sosial (bansos). Sebelumnya, pemerintah telah mengeluarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 500/4825/SJ tentang Penggunaan Belanja Tidak Terduga Dalam Rangka Pengendalian Inflasi Daerah untuk menjaga keterjangkauan harga dan daya beli masyarakat.
Selain itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan belanja wajib perlindungan sosial sebesar 2% dari Dana Transfer Umum yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH). Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.07/2022 tentang Belanja Wajib dalam Rangka Penanganan Dampak Inflasi Tahun Anggaran 2022 yang ditetapkan tanggal 5 September 2022, di mana total alokasi dana mencapai Rp2,17 triliun.
Sinergi, kebersamaan dan kolaborasi sangat diperlukan untuk keluar dari jerat inflasi dan stagflasi. Selain kerjasama antara fiskal dan moneter, faktanya kerjasama antarpemerintah – pusat dan daerah – pun mutlak diperlukan dalam menjaga pasokan dan kelancaran distribusi barang dan jasa. Melalui berbagai regulasi fiskal yang telah digulirkan diharapkan dapat mendorong daerah untuk mampu menjaga keterjangkauan harga, daya beli masyarakat, kelancaran distribusi dan transportasi sehingga masyarakat yang rentan terhadap dampak inflasi di masing-masing daerah dapat terjaga. Semoga.
(ynt)
tulis komentar anda