Keberanian dan Kebencian Rakyat China yang Terpendam
Senin, 28 November 2022 - 15:01 WIB
Pada Minggu, 27 November 2022, demonstrasi terus meluas sampai di kota-kota besar seperti Wuhan, Chengdu, Shanghai, Beijing, dan Guangzhou. Mahasiswa di Universitas Tsinghua, Beijing pertama kali menyampaikan protes mereka untuk menentang sistem Partai Komunis, dengan slogan mereka "Tegakkan Demokrasi dan Supremasi Hukum, Hidupkan Kebebasan Berekspresi." Di Chengdu, para demonstran berteriak "Tidak menginginkan sistem presiden seumur hidup! China tidak menginginkan seorang kaisar", "Rakyat China menentang kediktatoran, menginginkan hak asasi manusia".
Para pengunjuk rasa di Shanghai langsung meneriakkan slogan-slogan seperti "Mogok kelas/kuliah, mogok kerja, dan singkirkan diktator Xi Jinping!" Rakyat China membutuhkan "Reformasi, bukan Revolusi Kebudayaan! Rakyat China membutuhkan pemungutan suara pemilu, dan bukan pemimpin yang ditunjuk." Slogan itu pernah diangkat oleh seorang pengunjuk rasa bernama "Peng Lifa" dengan menggantung spanduk di Jembatan Sitong di Beijing sebelum Kongres Nasional ke-20 Partai Komunis China, Peng kemudian ditahan oleh pihak berwenang pada hari itu. Pada tanggal 27 November 2022, di Wuhan, warga sipil berkumpul untuk berbaris di jalan-jalan, mereka melakukan long-march, mereka bergabung untuk meruntuhkan pagar besi yang didirikan oleh pihak berwenang. Pada malam hari, demonstrasi dibubarkan. Menurut video yang beredar di internet, terdengar suara tembakan di lokasi kejadian.
Demonstrasi memprotes kediktatoran Xi Jinping juga menyebar ke luar negeri. Pada tanggal 27 November 2022, pelajar keturunan Tionghoa atau Tionghoa lokal, Tionghoa perantauan dan pelajar internasional di Inggris, Belanda, Prancis, dan tempat-tempat lain berkumpul di Kedutaan China. Selain itu juga, mahasiswa atau pelajar juga berkumpul di sekolah dan daerah pusat setempat untuk mengekspresikan protes mereka terhadap otoritas Komunis China. Di Taipei, para mahasiswa dan demonstran juga berkumpul di Freedom Square atau Chiang Kai-shek Memorial Hall untuk menunjukkan solidaritas dengan melakukan demonstrasi seperti yang terjadi di China Daratan, dan para aktivis tua di Taipei merasa apa yang mereka lakukan sekarang sama seperti yang mereka lakukan pada Insiden 4 Juni 33 tahun yang lalu.
Demonstrasi kali ini merupakan protes terbesar di China daratan sejak Insiden 4 Juni 1989. Di bawah tirani Partai Komunis dengan alasan memberantas virus Covid-19, rakyat sipil telah bertahan selama tiga tahun dengan tingkat pengangguran yang berulang kali mencapai titik tertinggi, kebutuhan medis rakyat tak tercukupi, dan hak rakyat untuk bebas bermobilisasi telah dirampas oleh penguasa. Partai Komunis China dengan dalih melaksanakan undang-undang dan peraturan pencegahan epidemi telah melanggar hak asasi manusia, menyebabkan tragedi hilangnya nyawa manusia yang tak terhitung jumlahnya.
Hanya dalam beberapa hari, demonstrasi di China telah menyebar dari Xinjiang ke kota-kota besar di seluruh negeri, menciptakan persatuan antar demonstran yang saling mendukung. Hal ini tidak terbayangkan bisa terjadi di China sebelumnya, saat arus informasi dikontrol secara ketat. Para peserta aksi protes ini didominasi para pelajar muda, yang bisa memanfaatkan teknologi atau metode komunikasi yang rata-rata mereka gunakan melalui media di Telegram dan tentunya melalui "VPN” juga, karena mengingat Telegram dan WhatsApp adalah produk terlarang bagi Komunis China.
Selama ini, ciri-ciri demonstrasi yang terjadi di wilayah China mulai menunjukkan demokrasi gaya barat. Pertama, “desentralisasi” kegiatan demonstrasi. Ini mulai terlihat dalam gerakan “anti ekstradisi” yang pecah di Hong Kong pada Juli 2019. Artinya, tidak ada penyelenggara khusus untuk demonstrasi, dan para pengunjuk rasa mengandalkan media sosial untuk berkomunikasi satu sama lain, saling mendukung, dan mengekspresikan tuntutan politik bersama mereka. Tidak ada penyelenggara yang jelas dalam protes ini di China.
Kedua, ketidakpuasan terhadap otokrasi PKC semakin menumpuk. Xi Jinping terpilih kembali sebagai Sekretaris Jenderal Komite Sentral dan Ketua Komisi Militer Pusat pada Kongres Nasional Partai Komunis China ke-20. Ini adalah masa jabatan ketiga kalinya untuk Xi. Xi Jinping juga akan terpilih kembali sebagai Presiden China setelah "dua sesinya" di tahun depan. Tindakan ini melanggar konvensi politik yang ditetapkan oleh Deng Xiaoping bahwa pemimpin tertinggi tidak dapat dipilih kembali untuk dua periode berturut-turut. Melalui protes ini, dapat dilihat bahwa orang-orang biasa di China telah menumpuk ketidakpuasan dan bahkan kebencian terhadap partai.
Ketiga, protes diprakarsai oleh mahasiswa muda dan melampaui batasan kelas, etnis, dan geografis, dan bahkan mendapatkan dukungan solidaritas dari luar negeri. Peristiwa itu dipicu oleh kebakaran di Xinjiang, dan para korban diyakini adalah warga Uighur. Namun, duka atas kejadian tersebut pecah di daratan China, dan mendapat tanggapan dari semua lapisan masyarakat, dan ini semua didorong oleh para pelajar muda. Sejak "kebijakan zero Covid" China telah merusak industri dan perdagangan, harapan generasi muda untuk "kebebasan".
Sampai saat ini, protes dan demonstrasi masih berlangsung di China. Artinya, kebangkitan dan kesadaran orang-orang China tentang demokrasi dan hak asasi manusia untuk menuju China yang lebih maju juga sedang berlangsung.
Para pengunjuk rasa di Shanghai langsung meneriakkan slogan-slogan seperti "Mogok kelas/kuliah, mogok kerja, dan singkirkan diktator Xi Jinping!" Rakyat China membutuhkan "Reformasi, bukan Revolusi Kebudayaan! Rakyat China membutuhkan pemungutan suara pemilu, dan bukan pemimpin yang ditunjuk." Slogan itu pernah diangkat oleh seorang pengunjuk rasa bernama "Peng Lifa" dengan menggantung spanduk di Jembatan Sitong di Beijing sebelum Kongres Nasional ke-20 Partai Komunis China, Peng kemudian ditahan oleh pihak berwenang pada hari itu. Pada tanggal 27 November 2022, di Wuhan, warga sipil berkumpul untuk berbaris di jalan-jalan, mereka melakukan long-march, mereka bergabung untuk meruntuhkan pagar besi yang didirikan oleh pihak berwenang. Pada malam hari, demonstrasi dibubarkan. Menurut video yang beredar di internet, terdengar suara tembakan di lokasi kejadian.
Demonstrasi memprotes kediktatoran Xi Jinping juga menyebar ke luar negeri. Pada tanggal 27 November 2022, pelajar keturunan Tionghoa atau Tionghoa lokal, Tionghoa perantauan dan pelajar internasional di Inggris, Belanda, Prancis, dan tempat-tempat lain berkumpul di Kedutaan China. Selain itu juga, mahasiswa atau pelajar juga berkumpul di sekolah dan daerah pusat setempat untuk mengekspresikan protes mereka terhadap otoritas Komunis China. Di Taipei, para mahasiswa dan demonstran juga berkumpul di Freedom Square atau Chiang Kai-shek Memorial Hall untuk menunjukkan solidaritas dengan melakukan demonstrasi seperti yang terjadi di China Daratan, dan para aktivis tua di Taipei merasa apa yang mereka lakukan sekarang sama seperti yang mereka lakukan pada Insiden 4 Juni 33 tahun yang lalu.
Demonstrasi kali ini merupakan protes terbesar di China daratan sejak Insiden 4 Juni 1989. Di bawah tirani Partai Komunis dengan alasan memberantas virus Covid-19, rakyat sipil telah bertahan selama tiga tahun dengan tingkat pengangguran yang berulang kali mencapai titik tertinggi, kebutuhan medis rakyat tak tercukupi, dan hak rakyat untuk bebas bermobilisasi telah dirampas oleh penguasa. Partai Komunis China dengan dalih melaksanakan undang-undang dan peraturan pencegahan epidemi telah melanggar hak asasi manusia, menyebabkan tragedi hilangnya nyawa manusia yang tak terhitung jumlahnya.
Hanya dalam beberapa hari, demonstrasi di China telah menyebar dari Xinjiang ke kota-kota besar di seluruh negeri, menciptakan persatuan antar demonstran yang saling mendukung. Hal ini tidak terbayangkan bisa terjadi di China sebelumnya, saat arus informasi dikontrol secara ketat. Para peserta aksi protes ini didominasi para pelajar muda, yang bisa memanfaatkan teknologi atau metode komunikasi yang rata-rata mereka gunakan melalui media di Telegram dan tentunya melalui "VPN” juga, karena mengingat Telegram dan WhatsApp adalah produk terlarang bagi Komunis China.
Selama ini, ciri-ciri demonstrasi yang terjadi di wilayah China mulai menunjukkan demokrasi gaya barat. Pertama, “desentralisasi” kegiatan demonstrasi. Ini mulai terlihat dalam gerakan “anti ekstradisi” yang pecah di Hong Kong pada Juli 2019. Artinya, tidak ada penyelenggara khusus untuk demonstrasi, dan para pengunjuk rasa mengandalkan media sosial untuk berkomunikasi satu sama lain, saling mendukung, dan mengekspresikan tuntutan politik bersama mereka. Tidak ada penyelenggara yang jelas dalam protes ini di China.
Kedua, ketidakpuasan terhadap otokrasi PKC semakin menumpuk. Xi Jinping terpilih kembali sebagai Sekretaris Jenderal Komite Sentral dan Ketua Komisi Militer Pusat pada Kongres Nasional Partai Komunis China ke-20. Ini adalah masa jabatan ketiga kalinya untuk Xi. Xi Jinping juga akan terpilih kembali sebagai Presiden China setelah "dua sesinya" di tahun depan. Tindakan ini melanggar konvensi politik yang ditetapkan oleh Deng Xiaoping bahwa pemimpin tertinggi tidak dapat dipilih kembali untuk dua periode berturut-turut. Melalui protes ini, dapat dilihat bahwa orang-orang biasa di China telah menumpuk ketidakpuasan dan bahkan kebencian terhadap partai.
Ketiga, protes diprakarsai oleh mahasiswa muda dan melampaui batasan kelas, etnis, dan geografis, dan bahkan mendapatkan dukungan solidaritas dari luar negeri. Peristiwa itu dipicu oleh kebakaran di Xinjiang, dan para korban diyakini adalah warga Uighur. Namun, duka atas kejadian tersebut pecah di daratan China, dan mendapat tanggapan dari semua lapisan masyarakat, dan ini semua didorong oleh para pelajar muda. Sejak "kebijakan zero Covid" China telah merusak industri dan perdagangan, harapan generasi muda untuk "kebebasan".
Sampai saat ini, protes dan demonstrasi masih berlangsung di China. Artinya, kebangkitan dan kesadaran orang-orang China tentang demokrasi dan hak asasi manusia untuk menuju China yang lebih maju juga sedang berlangsung.
(zik)
tulis komentar anda