LBH Pers Sebut RKUHP Ancam Kerja Jurnalistik
Jum'at, 25 November 2022 - 20:25 WIB
JAKARTA - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menganggap sejumlah klausul dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) berpotensi merenggut kebebasan pers . Salah satunya Pasal 263 yang mengatur hukuman terkait penyebaran berita bohong.
"Nah jika pasal ini disahkan dan menjadi bagian dari KUHP baru, maka akan sangat mengancam kerja-kerja para jurnalis dalam membuat karya-karya jurnalistik," kata pengacara publik LBH Pers, Mulya Sarmono saat dihubungi, Jumat (25/11/2022).
Mulya merasa, frasa berita atau pemberitahuan dalam klausul itu multitafsir. Padahal, katanya, frasa berita itu merujuk pada informasi yang dioleh dan disiarkan oleh jurnalis. Atas dasar itu, ia merasa perlu adanya pembedaan terkait karya jurnalistik dan informasi yang berisi kebohongan.
"Kemudian harus dipahami bahwa domain karya jurnalistik ada pada Dewan Pers dan mekanisme lainnya dalam UU Pers," kata Mulya.
Sebagai informasi, frasa berita atau pemberitahuan tercantum dalam Pasal 263 ayat (1) dan (2).
"Setiap orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V," bunyi Pasal 263 ayat (1).
"Setiap Orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal patut diduga bahwa berita atau pemberitahuan tersebut adalah bohong yang dapat mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV," bunyi Pasal 263 ayat (2).
Baca juga: DPR Pastikan RKUHP ke Paripurna Sebelum Masuk Masa Reses
Mulya juga menyoroti Pasal 263 ayat (2) yang mengatur penyebaran informasi bohong. Menurutnya, dalam klausul itu tak ada ukuran untuk menilai suatu berita bohong. Selain itu, frasa informasi yang mengakibatkan kerusuhan juga dinilai tak ada ukurannya.
"Rumusan demikian sangatlah longgar dan multitafsir, bisa ditafsirkan secara subjektif, sehingga dampaknya bisa digunakan secara tidak terukur. Artinya, jurnalis akan dengan mudah dikriminalisasi karena pemberitaannya. Akibatnya pula, kemerdekaan pers akan sangat terancam apabila Pasal ini diberlakukan," kata Mulya.
Lihat Juga: Diharapkan Adaptif dengan Perkembangan Zaman, KPI Titipkan Pembahasan RUU Penyiaran ke DPR
"Nah jika pasal ini disahkan dan menjadi bagian dari KUHP baru, maka akan sangat mengancam kerja-kerja para jurnalis dalam membuat karya-karya jurnalistik," kata pengacara publik LBH Pers, Mulya Sarmono saat dihubungi, Jumat (25/11/2022).
Mulya merasa, frasa berita atau pemberitahuan dalam klausul itu multitafsir. Padahal, katanya, frasa berita itu merujuk pada informasi yang dioleh dan disiarkan oleh jurnalis. Atas dasar itu, ia merasa perlu adanya pembedaan terkait karya jurnalistik dan informasi yang berisi kebohongan.
"Kemudian harus dipahami bahwa domain karya jurnalistik ada pada Dewan Pers dan mekanisme lainnya dalam UU Pers," kata Mulya.
Sebagai informasi, frasa berita atau pemberitahuan tercantum dalam Pasal 263 ayat (1) dan (2).
"Setiap orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V," bunyi Pasal 263 ayat (1).
"Setiap Orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal patut diduga bahwa berita atau pemberitahuan tersebut adalah bohong yang dapat mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV," bunyi Pasal 263 ayat (2).
Baca juga: DPR Pastikan RKUHP ke Paripurna Sebelum Masuk Masa Reses
Mulya juga menyoroti Pasal 263 ayat (2) yang mengatur penyebaran informasi bohong. Menurutnya, dalam klausul itu tak ada ukuran untuk menilai suatu berita bohong. Selain itu, frasa informasi yang mengakibatkan kerusuhan juga dinilai tak ada ukurannya.
"Rumusan demikian sangatlah longgar dan multitafsir, bisa ditafsirkan secara subjektif, sehingga dampaknya bisa digunakan secara tidak terukur. Artinya, jurnalis akan dengan mudah dikriminalisasi karena pemberitaannya. Akibatnya pula, kemerdekaan pers akan sangat terancam apabila Pasal ini diberlakukan," kata Mulya.
Lihat Juga: Diharapkan Adaptif dengan Perkembangan Zaman, KPI Titipkan Pembahasan RUU Penyiaran ke DPR
(abd)
tulis komentar anda