Tantangan Besar Industri Migas
Kamis, 24 November 2022 - 11:42 WIB
INDUSTRI hulu minyak dan gas bumi (migas) menghadapi tantangan besar seiring dengan transformasi global menuju transisi energi bersih untuk mengurangi emisi CO2.
Laporan Emission Gap oleh United Nations Environment Programme (UNEP), emisi total pada tahun 2021 sebesar 52,8 gigaton CO2, dengan emisi energi fosil, termasuk migas menyumbang 37,9 gigaton CO2 atau hampir 72%.
Karena itu, untuk mendorong transisi energi dan menggunakan sumber daya yang lebih hijau, lembaga pendanaan dunia berhenti untuk membiayai proyek eksplorasi dan eksploitasi migas baru dan memilih untuk mendanai proyek energi baru dan terbarukan.
Baca Juga: koran-sindo.com
Terlebih Pemerintah Indonesia telah menetapkan target net zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat. Dalam proses transisi energi tersebut, peran sektor migas sangat penting, yakni sebagai jembatan proses transisi. Penggunaan minyak di masa depan diperkirakan terus dikurangi. Energi gas menjadi salah satu yang diandalkan sebelum masyarakat benar-benar beralih menggunakan EBT.
Namun proses transisi tersebut tak begitu mudah. Selain butuh anggaran yang sangat besar, kesiapan masyarakat untuk mau beralih menggunakan EBT yang lebih mahal menjadi salah satu kuncinya. Ongkos energi yang akan dikeluarkan oleh masyarakat sudah pasti akan lebih besar daripada dengan menggunakan energi fosil yang sejatinya saat ini juga sudah mahal. Sebagai contoh, kendaraan listrik yang digadang-gadang sebagai salah satu upaya untuk mendorong transformasi gaya hidup bersih, harganya pun masih sangat mahal.
Belum lagi ketersediaan infrastruktur yang terbatas, juga biaya pengembangan infrastruktur yang sangat mahal sehingga sampai saat ini pembangunan infrastruktur seperti stasiun pengisian kendaraan listrik umum, tak banyak yang dibangun.
Kondisi industri migas nasional seperti buah simalakama. Jika tidak melakukan pengembangan atau eksplorasi lapangan migas baru, kebutuhan energi domestik akan dipenuhi dari ekspor. Namun jika agresif melakukan pengembangan, tak akan mencapai skala keekonomian mengingat diperlukan waktu hingga 10 tahun untuk melakukan pengembangan lapangan migas hingga fase produksi.
Sejatinya, dalam dua dekade mendatang masih ada peluang bagi industri migas nasional untuk bertumbuh. Hal itu lantaran permintaan migas tetap tumbuh terutama di wilayah berkembang seperti India, Afrika, dan Asia di mana pertumbuhan ekonomi, industrialisasi, dan kendaraan akan melonjak secara signifikan.
Laporan Emission Gap oleh United Nations Environment Programme (UNEP), emisi total pada tahun 2021 sebesar 52,8 gigaton CO2, dengan emisi energi fosil, termasuk migas menyumbang 37,9 gigaton CO2 atau hampir 72%.
Karena itu, untuk mendorong transisi energi dan menggunakan sumber daya yang lebih hijau, lembaga pendanaan dunia berhenti untuk membiayai proyek eksplorasi dan eksploitasi migas baru dan memilih untuk mendanai proyek energi baru dan terbarukan.
Baca Juga: koran-sindo.com
Terlebih Pemerintah Indonesia telah menetapkan target net zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat. Dalam proses transisi energi tersebut, peran sektor migas sangat penting, yakni sebagai jembatan proses transisi. Penggunaan minyak di masa depan diperkirakan terus dikurangi. Energi gas menjadi salah satu yang diandalkan sebelum masyarakat benar-benar beralih menggunakan EBT.
Namun proses transisi tersebut tak begitu mudah. Selain butuh anggaran yang sangat besar, kesiapan masyarakat untuk mau beralih menggunakan EBT yang lebih mahal menjadi salah satu kuncinya. Ongkos energi yang akan dikeluarkan oleh masyarakat sudah pasti akan lebih besar daripada dengan menggunakan energi fosil yang sejatinya saat ini juga sudah mahal. Sebagai contoh, kendaraan listrik yang digadang-gadang sebagai salah satu upaya untuk mendorong transformasi gaya hidup bersih, harganya pun masih sangat mahal.
Belum lagi ketersediaan infrastruktur yang terbatas, juga biaya pengembangan infrastruktur yang sangat mahal sehingga sampai saat ini pembangunan infrastruktur seperti stasiun pengisian kendaraan listrik umum, tak banyak yang dibangun.
Kondisi industri migas nasional seperti buah simalakama. Jika tidak melakukan pengembangan atau eksplorasi lapangan migas baru, kebutuhan energi domestik akan dipenuhi dari ekspor. Namun jika agresif melakukan pengembangan, tak akan mencapai skala keekonomian mengingat diperlukan waktu hingga 10 tahun untuk melakukan pengembangan lapangan migas hingga fase produksi.
Sejatinya, dalam dua dekade mendatang masih ada peluang bagi industri migas nasional untuk bertumbuh. Hal itu lantaran permintaan migas tetap tumbuh terutama di wilayah berkembang seperti India, Afrika, dan Asia di mana pertumbuhan ekonomi, industrialisasi, dan kendaraan akan melonjak secara signifikan.
Lihat Juga :
tulis komentar anda