Menag Yaqut di Forum R20: Indonesia Tidak Kaya tapi Sama Tangguh dengan Negara G20
Kamis, 03 November 2022 - 00:05 WIB
Kedua, Pancasila juga dikukuhkan sebagai wawasan politik atau dasar negara. Ini nampak dari konstruksi Soekarno yang secara eksplisit mengkomparasikan Pancasila secara setara dengan filsafat dan ideologi-ideologi lain seperti Marxisme, Liberalisme, dan San Min Chu’i.
Namun demikian, jelas Yaqut, Pancasila bukanlah suatu ideologi politik partikular yang tertutup dan sistematis-total sebagaimana Marxisme maupun Liberalisme. Presiden Soekarno sendiri lebih menekankan ’fungsi implisit’ Pancasila sebagai sign of unity untuk republik yang merdeka.
Dalam rumusan lain, Prof. Mohamad Hatta, mengatakan bahwa Pancasila mengandung dua fundamen yakni: fundamen moral (Sila Pertama dan Kedua) dan fundamen politik (Sila Ketiga, Keempat dan Kelima). Dengan itu apabila ditafsirkan dalam kerangka politik kewargaan, Negara Pancasila dapat dipahami sebagai negara yang mendorong rakyatnya hidup berdasarkan prinsip-prinsip moral (Berketuhanan dan Berkemanusiaan dan prinsip-prinsip politik (menjaga persatuan, berdemokrasi dan menjunjung keadilan sosial).
"Saya berkeyakinan bahwa prinsip-prinsip Pancasila bersifat by default dalam alam pikiran dan prilaku orang Indonesia. Ia menyediakan sarana restrospektif, yang dibutuhkan terutama di saat-saat orang Indonesia secara kolektif menghadapi persoalan-persoalan besar yang dihadirkan oleh sejarah dan zamannya," ujar Menag.
"Sejauh ia hidup dalam perilaku kewargaan, maka Pancasila akan lebih tumbuh justru melalui mekanisme laku, bukan melalui mekanisme eksplisitasi yang serba verbal," sambungnya.
Pengalaman Indonesia, di bawah Orde Baru, kata Menag menunjukkan bahwa eksploisitasi Pancasila yang berlebih-lebihan hanya membuat ia jauh dari hati sanubari rakyat. Sebaliknya, dorongan yang lebih nyata kepada solidaritas, kemanusiaan, rasa persatuan justru mendorong Pancasila merekah dalam tindakan.
"Pengalaman pandemi di Indonesia membuktikan ini secara gamblang; tanpa partisipasi sukarela rakyat, tanpa solidaritas dan rasa persatuan, tanpa kemanusiaan dan kehendak untuk adil, rasanya sulit Indonesia bisa mengatasi krisis demi krisis serta globalisasi pandemi dengan baik," tandasnya.
Menutup presentasinya, Menag menekankan bahwa hal-hal material memang bisa menopang kemajuan, namun harapan-harapan terbaik umat manusia pada akhirnya hanya bisa dijamin di dalam prinsip-prinsip bersama yang kokoh serta universal.
Namun demikian, jelas Yaqut, Pancasila bukanlah suatu ideologi politik partikular yang tertutup dan sistematis-total sebagaimana Marxisme maupun Liberalisme. Presiden Soekarno sendiri lebih menekankan ’fungsi implisit’ Pancasila sebagai sign of unity untuk republik yang merdeka.
Dalam rumusan lain, Prof. Mohamad Hatta, mengatakan bahwa Pancasila mengandung dua fundamen yakni: fundamen moral (Sila Pertama dan Kedua) dan fundamen politik (Sila Ketiga, Keempat dan Kelima). Dengan itu apabila ditafsirkan dalam kerangka politik kewargaan, Negara Pancasila dapat dipahami sebagai negara yang mendorong rakyatnya hidup berdasarkan prinsip-prinsip moral (Berketuhanan dan Berkemanusiaan dan prinsip-prinsip politik (menjaga persatuan, berdemokrasi dan menjunjung keadilan sosial).
"Saya berkeyakinan bahwa prinsip-prinsip Pancasila bersifat by default dalam alam pikiran dan prilaku orang Indonesia. Ia menyediakan sarana restrospektif, yang dibutuhkan terutama di saat-saat orang Indonesia secara kolektif menghadapi persoalan-persoalan besar yang dihadirkan oleh sejarah dan zamannya," ujar Menag.
"Sejauh ia hidup dalam perilaku kewargaan, maka Pancasila akan lebih tumbuh justru melalui mekanisme laku, bukan melalui mekanisme eksplisitasi yang serba verbal," sambungnya.
Pengalaman Indonesia, di bawah Orde Baru, kata Menag menunjukkan bahwa eksploisitasi Pancasila yang berlebih-lebihan hanya membuat ia jauh dari hati sanubari rakyat. Sebaliknya, dorongan yang lebih nyata kepada solidaritas, kemanusiaan, rasa persatuan justru mendorong Pancasila merekah dalam tindakan.
"Pengalaman pandemi di Indonesia membuktikan ini secara gamblang; tanpa partisipasi sukarela rakyat, tanpa solidaritas dan rasa persatuan, tanpa kemanusiaan dan kehendak untuk adil, rasanya sulit Indonesia bisa mengatasi krisis demi krisis serta globalisasi pandemi dengan baik," tandasnya.
Menutup presentasinya, Menag menekankan bahwa hal-hal material memang bisa menopang kemajuan, namun harapan-harapan terbaik umat manusia pada akhirnya hanya bisa dijamin di dalam prinsip-prinsip bersama yang kokoh serta universal.
(muh)
tulis komentar anda