FHUI: Pancasila Referensi Nilai Tertinggi Landasan Hukum di Indonesia
Jum'at, 28 Oktober 2022 - 00:23 WIB
“Anasir-anasir ini kerdil yang berpandangan gagasan dari luar negeri lebih baik dari kearifan lokal bangsa sendiri. Mereka tidak sadar bahwa nilai yang mereka bawa telah menggerogoti dan menggerus jati diri bangsa sebagai satu-satunya hak milik bangsa yang paling berharga,” ungkapnya.
Mantan Pangalima TNI ini menjelaskan, bagaimana hanya dalam empat tahun pascareformasi, UUD 1945 empat kali dilakukan amandemen. Aksi ini dinilai Try makin turut membuat sirna tujuan nasional untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi bangsa dan negara sesuai Pancasila. Era reformasi juga memang memberikan prakondisi untuk nilai asing bersentuhan lebih sering dengan ke dalam tubuh bangsa.
“Menghadapi situasi ini, ada dua pilihan: diam saja, kehilangan jati diri; atau bangkit untuk memperkuat kembali jati diri. Di sinilah arti penting pendidikan, dan penggemblengan generasi penerus bangsa menghadapi tantangan masa depan. Bagaimana dapat diisi wawasan kebangsaan, perjuangan, dan kebudayaan,” katanya.
Senada, Ketua DPD RI AA Lanyalla M. Mattalitti mengatakan. era reformasi, penghayatan Pancasila harus kembali diperkenalkan dengan metode yang terkini. “Menurut Ki Hajar Dewantara, anak-anak didik ini sangat perlu diajar ihwal kebangsaan dan nasionalisme,” kata Lanyalla yang juga menjadi pembicara kunci dalam seminar.
Usai para pembicara kunci memberi pemaparan, digelar pula diskusi panel dengan pembicara mantan anggota DPR dan MPR RI Yoseph Umarhadi, Peneliti Puskakum FHUI dan Dosen Tetap FHUI Bono Budi Priambodo, dan Yu Un Oppusunggu, serta pendiri dan Ketua Yayasan Tirta Amarta Paripurna Muhamad Iqbal.
Dalam diskusi panel tersebut, para pembicara sepakat soal pentingnya penghayatan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila masih sangat relevan dan tak lekang oleh zaman. Selain itu, turut pula dipaparkan hasil Survei Nasional terkait Pancasila yang dilakukan Puskakum FHUI.
Peneliti Puskakum FHUI dan dosen Tetap FHUI Kris Wijoyo Soepandji memaparkan hasil survei yang membedah apakah Pancasila masih diakui sebagai landasan kehidupan bermasyarakat di Indonesia, serta menjadi pedoman dalam menjaga kepribadian nasional. Dalam temuan survei, Kris memaparkan masyarakat memang makin minim frekuensinya untuk mendengar kata-kata Pancasila.
“Sebanyak 56% mayoritas responden hanya mendengar Pancasila pada bulan tertentu, seperti Hari Lahir Pancasila pada Juni, atau Hari Kemerdekaan Indonesia pada Agustus. Meski demikian, 90% responden menyatakan Pancasila masih sangat relevan sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara,” katanya.
Hal yang juga menarik dari survei ini adalah temuan yang menyampaikan sebanyak 98% lebih responden percaya pemimpin di Indonesia perlu memegang teguh nilai-nilai Pancasila. Masyarakat sangat mendambakan pemimpin Indonesia yang mampu merefleksikan berbagai kebijakan dan prosesnya sesuai dengan nilai- nilai Pancasila melalui peraturan yang mengedepankan keadilan dan mengutamakan kepentingan rakyat. Hal ini tentunya berkaitan erat dengan tidak lepasnya posisi para pembuat kebijakan dari berbagai pengaruh dan tekanan eksternal.
“Lebih daripada itu masyarakat tetap mendambakan pemimpin yang mampu mengambil sikap yang bijaksana dalam proses pengambilan keputusan- keputusannya. Harapan mayoritas masyarakat terhadap pemimpin yang Pancasilais juga dikonfirmasi melalui temuan yang menyebutkan bahwa sebanyak 90% responden menolak adanya intervensi asing terhadap kebijakan pemerintah Indonesia,” papar Kris.
Mantan Pangalima TNI ini menjelaskan, bagaimana hanya dalam empat tahun pascareformasi, UUD 1945 empat kali dilakukan amandemen. Aksi ini dinilai Try makin turut membuat sirna tujuan nasional untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi bangsa dan negara sesuai Pancasila. Era reformasi juga memang memberikan prakondisi untuk nilai asing bersentuhan lebih sering dengan ke dalam tubuh bangsa.
“Menghadapi situasi ini, ada dua pilihan: diam saja, kehilangan jati diri; atau bangkit untuk memperkuat kembali jati diri. Di sinilah arti penting pendidikan, dan penggemblengan generasi penerus bangsa menghadapi tantangan masa depan. Bagaimana dapat diisi wawasan kebangsaan, perjuangan, dan kebudayaan,” katanya.
Senada, Ketua DPD RI AA Lanyalla M. Mattalitti mengatakan. era reformasi, penghayatan Pancasila harus kembali diperkenalkan dengan metode yang terkini. “Menurut Ki Hajar Dewantara, anak-anak didik ini sangat perlu diajar ihwal kebangsaan dan nasionalisme,” kata Lanyalla yang juga menjadi pembicara kunci dalam seminar.
Usai para pembicara kunci memberi pemaparan, digelar pula diskusi panel dengan pembicara mantan anggota DPR dan MPR RI Yoseph Umarhadi, Peneliti Puskakum FHUI dan Dosen Tetap FHUI Bono Budi Priambodo, dan Yu Un Oppusunggu, serta pendiri dan Ketua Yayasan Tirta Amarta Paripurna Muhamad Iqbal.
Dalam diskusi panel tersebut, para pembicara sepakat soal pentingnya penghayatan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila masih sangat relevan dan tak lekang oleh zaman. Selain itu, turut pula dipaparkan hasil Survei Nasional terkait Pancasila yang dilakukan Puskakum FHUI.
Peneliti Puskakum FHUI dan dosen Tetap FHUI Kris Wijoyo Soepandji memaparkan hasil survei yang membedah apakah Pancasila masih diakui sebagai landasan kehidupan bermasyarakat di Indonesia, serta menjadi pedoman dalam menjaga kepribadian nasional. Dalam temuan survei, Kris memaparkan masyarakat memang makin minim frekuensinya untuk mendengar kata-kata Pancasila.
“Sebanyak 56% mayoritas responden hanya mendengar Pancasila pada bulan tertentu, seperti Hari Lahir Pancasila pada Juni, atau Hari Kemerdekaan Indonesia pada Agustus. Meski demikian, 90% responden menyatakan Pancasila masih sangat relevan sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara,” katanya.
Hal yang juga menarik dari survei ini adalah temuan yang menyampaikan sebanyak 98% lebih responden percaya pemimpin di Indonesia perlu memegang teguh nilai-nilai Pancasila. Masyarakat sangat mendambakan pemimpin Indonesia yang mampu merefleksikan berbagai kebijakan dan prosesnya sesuai dengan nilai- nilai Pancasila melalui peraturan yang mengedepankan keadilan dan mengutamakan kepentingan rakyat. Hal ini tentunya berkaitan erat dengan tidak lepasnya posisi para pembuat kebijakan dari berbagai pengaruh dan tekanan eksternal.
“Lebih daripada itu masyarakat tetap mendambakan pemimpin yang mampu mengambil sikap yang bijaksana dalam proses pengambilan keputusan- keputusannya. Harapan mayoritas masyarakat terhadap pemimpin yang Pancasilais juga dikonfirmasi melalui temuan yang menyebutkan bahwa sebanyak 90% responden menolak adanya intervensi asing terhadap kebijakan pemerintah Indonesia,” papar Kris.
Lihat Juga :
tulis komentar anda