R20, Upaya Melawan Politik Identitas Dunia Global

Kamis, 27 Oktober 2022 - 16:08 WIB
Saat ini dunia dan Indonesia telah memasuki sebuah era yang disebut post-Islamisme, meminjam istlah dari Asep Bayat. Secara sederhana, hemat penulis, Post Islamisme adalah sebuah kondisi di mana gerakan Islam (Islamisme) yang memperjuangkan aktivisme Islam dengan tujuan mendirikan negara Islam atau khilafah Islam tidak lagi menjadi dominan.

Lebih jauh, Post Islamisme adalah sebuah situasi di mana Islam sebagai gerakan politik mengalami pergeseran dalam perjuangan yang tidak lagi berpusat pada membangun tatanan negara Islam, tetapi bagaimana Islam sebagai kekuatan moral dan nilai yang memandu kehidupan bernegara dan sosial. Beberapa gerakan Islam garis keras telah terlibat dalam proses demokratisasi dan mengalami pelunakan aktivisme, jika dibaca dari teori inklusif moderatisme.

Namun, situasi Post Islamisme adalah sebuah proses yang berlangsung terus dan dapat berubah kembali menjadi wajah Islamisme, jika melihat trajektori Islam di berbagai negara yang mengalami pasang surut. Penting dicatat bahwa kondisi setiap negara yang mengalami aktivisme Islam dan post-Islamisme berbeda satu sama lain dan ditentukan oleh dialektika antara gerakan Islam dan negara yang bersangkutan.

Meskipun, sebagian dunia Islam telah mengalami situasi Post-Islamisme, namun upaya untuk membangkitkan Islam sebagai ideologi tetap menyala. Gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, misalnya, yang telah dibuat cacat kepemimpinannya dan distigmatisasi dengan tuduhan terorisme oleh rezim yang berkuasa tetap menyalakan api Islamisme di negara-negara tempat beberapa pimpinannya menetap, setelah mereka eksodus akibat represi dari pemerintah Mesir.

Beberapa organisasi Islam, bahkan, menunjukkan daya tahan untuk tetap berdenyut di tengah represi negara. Mereka seolah bangkit dari kematian. Di Indonesia pembubaran beberapa ormas Islam seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI) melalui jalur hukum tidak sekaligus melemahkan perjuangan Islamisme ormas terlarang tersebut, meskipun gerakannya kembali sebagai gerakan bawah tanah dan berfokus pada rektutmen secara rahasia.

Dalam kondisi seperti ini, benih-benih Islamisme tetap ditanam meskipun tidak di atas tanah yang subur. Namun, ketika kesejahteraan tidak tercapai dan juga ketidakadilan merajalela, maka masyarakat biasa akan mudah terbius dengan janji-janji Islamisme karena kritisisme yang rendah. Pemimpin-pemimpin populis yang berjualan agama menjadi relevan dalam hal ini.

Menggejalannya konservatisme Islam di dunia muslim global, termasuk Indonesia, banyak dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang berkepentingan untuk menyalakan politik identitas, di mana mereka membangun ide, jargon, stigma dan labelisasi yang eksklusif terhadap golongan yang dianggap terpapar pemikiran liberal dan progresif. Permainan agama sebagai senjata untuk melemahkan rejim pada satu sisi, dan di sisi lain bertujuan memperkuat barisan sakit hati kepada pemerintah cukup marak di dunia untuk kepentingan mencapai kekuasaan.

Di sini agama telah dimanipulasi dan digunakan sebagai kendaraan untuk memecah belah masyarakat, sehingga wajah agama yang destruktif yang muncul dan akhirnya agama kehilangan vibrasi dan respons sosial untuk memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan. Akibatnya, agama menjadi terdakwa, padahal agama telah dimanipulasi melalui tafsir yang menistakan keluhuran agama.

Merespons fenomena global di atas, perhelatan R20 adalah bagian dari upaya untuk memperkuat penanaman nilai-nilai keagamaan yang bisa dikembangkan untuk membangun koeksistensi damai dalam masyarakat yang plural. Memang, pelaksanaan kegiatan ini juga terkendala dengan beberapa hal. Sebagian pihak skeptik dengan R20 karena dianggap sudah ada forum-forum serupa seperti Interfaith Forum G20, dan juga pelibatan negara India, yang di negara tersebut muslim masih mengalami diskriminasi dan dominasi agama atas interpretasi ajaran Hindu yang radikal.

Dengan kata lain, R20 memiliki keunikan karena topik pembicaraan yang disasar adalah problema agama yang selama ini tidak pernah dibicarakan secara terbuka sehingga diharapkan even ini melampaui upaya dialog tradisional, hanya saling memahami antar agama yang berbeda, namun mengarah pada perubahan social ke arah damai positif. Juga, penting dipahami bahwa R20 juga tidak menegasi kegiatan-kegiatan serupa, tetapi justru kehadirannya guna memperkuat dan memberi penekanan yang berbeda untuk tujuan yang sama agama sebagai solusi, termasuk memberangus upaya weaponisasi agama untuk politik identitas.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More