R20, Upaya Melawan Politik Identitas Dunia Global

Kamis, 27 Oktober 2022 - 16:08 WIB
loading...
R20, Upaya Melawan Politik Identitas Dunia Global
Dosen Ilmu Sosial Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Ridwan. FOTO/DOK.PRIBADI
A A A
Ridwan
Dosen Ilmu Sosial Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII),
Pengurus Mata Garuda Indonesia 2022-2024

PERHELATAN Religion Twenty (R20), sebagai even tambahan yang resmi (official engagement) buat G20, di Bali 2-3 November 2022, semakin dekat. R20 bernilai strategis buat Indonesia dan dunia dalam mempromosikan moderatisme beragama, termasuk dalam perang melawan politik identitas yang menggejala.

Sebagai presidensi G 20, Indonesia melalui Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sepakat bekerja sama dengan Muslim World League (MWL) atau Rabithah Alam Islami untuk menyelenggarakan even tahunan pertama R20, yang akan dilanjutkan perhelatannya di India (2023) dan Brazil (2024). Acara akan menghadirkan 100 pemimpin agama dan sekte yang berpengaruh di dunia dan 200 tokoh agama, akademisi, tokoh pemerintahan, dan sejumlah undangan lainnya dari luar negeri dan Indonesia.

Kegiatan ini adalah sebuah kegiatan kolektif guna mewujudkan agama sebagai solusi global daripada sebagai sumber masalah. Memang, kegiatan ini adalah inisiatif KH Yahya Cholil Staquf setelah terpilih sebagai Ketua Umum PBNU. Namun, adalah tidak tepat jika diujarkan bahwa ini murni kegiatan NU. Secara organisasi, NU memang telah berperan dalam mempromosikan perdamaian di Indonesia dan dunia. Misalnya, pada 2021, Aliansi Injili Dunia (the World Evangelical Alliance), yang mewakili 600 juta Protestan di 143 negara, telah bergabung dengan NU dan Komunitas Imam W Deen Mohammed untuk menandatangani Pernyataan Masjid Bangsa di Washington, DC.

Di Indonesia, berbagai kegiatan perdamaian telah dihelat oleh NU, termasuk organisasi yang berafiliasi dengan NU dan organisasi informal NU seperti Lakpesdam, Gusdurian, Wahid Foundation, dan lain-lain. NU juga telah dan sedang bekerja sama dengan organisasi Islam lainnya seperti Muhammadiyah dan organisasi Katolik/Protestan dan organisasi agama lain dalam mempromosikan hidup damai di Indonesia. Sebagian besar organisasi keagamaan di Indonesia mendukung kegiatan ini. Selain itu, Gus Yahya telah lama terlibat dalam jaringan Dialog Antar Agama dunia, di mana sebagian pembicara dan peserta yang hadir juga bagian dari jaringan itu.

Kegiatan R20 ini terbagi dua, berupa konferensi dan diskusi intensif di Bali dan kunjungan serta merancang rencana tindak lanjut dan kunjungan ke Keraton Yogyakarta dan beberapa destinasi lain di Yogya. Konferensi melibatkan sejumlah pembicara yang sudah menyatakan kesediaan adalah Kiai Haji A Mustofa Bisri, mantan Ketua Dewan Tertinggi Nahdlatul Ulama; Uskup Thomas Schirrmacher, Sekretaris Jenderal Aliansi Injili Dunia; dan Profesor Mary Ann Glendon, Profesor Hukum di Harvard Law School dan mantan Duta Besar AS untuk Tahta Suci. Juga, lebih dari 200 pemimpin agama dan politik terkemuka dari Indonesia dan di seluruh dunia telah mengkonfirmasi partisipasi mereka di R20 (press release Panitia R20).

Sementara itu, konferensi R20 akan fokus pada isu-isu yang berangkat dari luka dan kepedihan agama dan bagaimana melakukan proses penyembuhan, rekonsiliasi, serta menawarkan agama sebagai solusi global dan lokal. Topik dan masalah utama yang akan dibahas di KTT R20 adalah: Kepedihan Agama secara Historis, Mengungkapkan Kebenaran, Rekonsiliasi dan Pengampunan; Mengidentifikasi dan Merangkul Nilai-nilai yang Dimiliki oleh Agama dan Peradaban Utama Dunia; Rekontekstualisasi Ajaran Agama yang Usang dan Bermasalah; Mengidentifikasi Nilai-nilai yang Perlu Kita Kembangkan untuk Memastikan Kerja Sama yang Damai; dan Ekologi Spiritual.

Saat ini dunia dan Indonesia telah memasuki sebuah era yang disebut post-Islamisme, meminjam istlah dari Asep Bayat. Secara sederhana, hemat penulis, Post Islamisme adalah sebuah kondisi di mana gerakan Islam (Islamisme) yang memperjuangkan aktivisme Islam dengan tujuan mendirikan negara Islam atau khilafah Islam tidak lagi menjadi dominan.
Lebih jauh, Post Islamisme adalah sebuah situasi di mana Islam sebagai gerakan politik mengalami pergeseran dalam perjuangan yang tidak lagi berpusat pada membangun tatanan negara Islam, tetapi bagaimana Islam sebagai kekuatan moral dan nilai yang memandu kehidupan bernegara dan sosial. Beberapa gerakan Islam garis keras telah terlibat dalam proses demokratisasi dan mengalami pelunakan aktivisme, jika dibaca dari teori inklusif moderatisme.

Namun, situasi Post Islamisme adalah sebuah proses yang berlangsung terus dan dapat berubah kembali menjadi wajah Islamisme, jika melihat trajektori Islam di berbagai negara yang mengalami pasang surut. Penting dicatat bahwa kondisi setiap negara yang mengalami aktivisme Islam dan post-Islamisme berbeda satu sama lain dan ditentukan oleh dialektika antara gerakan Islam dan negara yang bersangkutan.

Meskipun, sebagian dunia Islam telah mengalami situasi Post-Islamisme, namun upaya untuk membangkitkan Islam sebagai ideologi tetap menyala. Gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, misalnya, yang telah dibuat cacat kepemimpinannya dan distigmatisasi dengan tuduhan terorisme oleh rezim yang berkuasa tetap menyalakan api Islamisme di negara-negara tempat beberapa pimpinannya menetap, setelah mereka eksodus akibat represi dari pemerintah Mesir.

Beberapa organisasi Islam, bahkan, menunjukkan daya tahan untuk tetap berdenyut di tengah represi negara. Mereka seolah bangkit dari kematian. Di Indonesia pembubaran beberapa ormas Islam seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI) melalui jalur hukum tidak sekaligus melemahkan perjuangan Islamisme ormas terlarang tersebut, meskipun gerakannya kembali sebagai gerakan bawah tanah dan berfokus pada rektutmen secara rahasia.

Dalam kondisi seperti ini, benih-benih Islamisme tetap ditanam meskipun tidak di atas tanah yang subur. Namun, ketika kesejahteraan tidak tercapai dan juga ketidakadilan merajalela, maka masyarakat biasa akan mudah terbius dengan janji-janji Islamisme karena kritisisme yang rendah. Pemimpin-pemimpin populis yang berjualan agama menjadi relevan dalam hal ini.

Menggejalannya konservatisme Islam di dunia muslim global, termasuk Indonesia, banyak dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang berkepentingan untuk menyalakan politik identitas, di mana mereka membangun ide, jargon, stigma dan labelisasi yang eksklusif terhadap golongan yang dianggap terpapar pemikiran liberal dan progresif. Permainan agama sebagai senjata untuk melemahkan rejim pada satu sisi, dan di sisi lain bertujuan memperkuat barisan sakit hati kepada pemerintah cukup marak di dunia untuk kepentingan mencapai kekuasaan.

Di sini agama telah dimanipulasi dan digunakan sebagai kendaraan untuk memecah belah masyarakat, sehingga wajah agama yang destruktif yang muncul dan akhirnya agama kehilangan vibrasi dan respons sosial untuk memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan. Akibatnya, agama menjadi terdakwa, padahal agama telah dimanipulasi melalui tafsir yang menistakan keluhuran agama.

Merespons fenomena global di atas, perhelatan R20 adalah bagian dari upaya untuk memperkuat penanaman nilai-nilai keagamaan yang bisa dikembangkan untuk membangun koeksistensi damai dalam masyarakat yang plural. Memang, pelaksanaan kegiatan ini juga terkendala dengan beberapa hal. Sebagian pihak skeptik dengan R20 karena dianggap sudah ada forum-forum serupa seperti Interfaith Forum G20, dan juga pelibatan negara India, yang di negara tersebut muslim masih mengalami diskriminasi dan dominasi agama atas interpretasi ajaran Hindu yang radikal.

Dengan kata lain, R20 memiliki keunikan karena topik pembicaraan yang disasar adalah problema agama yang selama ini tidak pernah dibicarakan secara terbuka sehingga diharapkan even ini melampaui upaya dialog tradisional, hanya saling memahami antar agama yang berbeda, namun mengarah pada perubahan social ke arah damai positif. Juga, penting dipahami bahwa R20 juga tidak menegasi kegiatan-kegiatan serupa, tetapi justru kehadirannya guna memperkuat dan memberi penekanan yang berbeda untuk tujuan yang sama agama sebagai solusi, termasuk memberangus upaya weaponisasi agama untuk politik identitas.

Pada akhirnya, perhelatan R20 diharapkan menjadi momentum agar agama kembali dilihat sebagai solusi global dan tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Mari kita sukseskan acara yang langka ini, karena baru terwujud kembali di tanah air 20 tahun mendatang lagi. Semoga R20 yang diinisiasi Indonesia bisa diwakafkan terus sebagai kegiatan tahunan G20 untuk mendorong moderatisme global, dan juga bisa mencegah agama sebagai senjata politik identitas di tanah air yang akan memasuki pesta rakyat Pemilu 2024.
(abd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1906 seconds (0.1#10.140)