3 Tahun Jokowi-Ma'ruf: Kredibilitas Kebijakan Menjadi Kunci

Selasa, 18 Oktober 2022 - 14:46 WIB
Namun demikian, pemerintah harus tetap waspada mengingat tantangan ekonomi global tak ada habisnya. Dalam beberapa waktu terakhir, ketika kondisi ekonomi berangsur pulih dari terjangan pandemi, harga minyak global melonjak naik. Sebab ia menjadi kebutuhan utama manusia, kenaikan harganya tentu saja menjadi masalah pelik.

Bahkan, pada Maret 2022 harga minyak menyentuh US$127 per barel, harga tertinggi dalam 14 tahun terakhir. Tingginya harga minyak mentah tentu membawa kompleksitas tersendiri dalam perekonomian nasional, sehingga keputusan sulit harus diambil, yaitu penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM).

Tantangan lain datang dari tingginya inflasi. Mayoritas negara di dunia saat ini sedang menghadapi laju inflasi yang tinggi. Bahkan, beberapa negara maju, seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, dan kawasan Eropa, sedang mengalami salah satu periode inflasi tertinggi dalam sejarahnya. Dampak lanjutan dari tingginya laju inflasi tersebut adalah pengetatan kebijakan moneter.

The Fed, bank sentral AS, telah menaikkan suku bunga acuan hingga 300 bps sepanjang 2022 ini. Demikian pula dengan Bank of England yang menaikkan suku bunga acuan sebesar 200 bps pada periode yang sama. Setali tiga uang, sejumlah bank sentral lainnya juga menaikkan suku bunga acuan untuk mengendalikan laju inflasi.

Pengetatan kebijakan moneter global tersebut tentu telah berdampak pada perekonomian. Sejumlah indikator ekonomi terpantau mulai melambat. Aktivitas di sektor manufaktur global, penjualan ritel, dan consumer confidence kembali memasuki tren penurunan.

Di sektor keuangan, sejumlah negara menghadapi pelemahan nilai tukar signifikan terhadap Dolar AS. Berkaca pada situasi tersebut, sejumlah negara diperkirakan akan masuk ke periode resesi. Survei yang dilansir Bloomberg menunjukkan adanya probability cukup tinggi terjadi resesi di sejumlah negara maju, seperti AS, Inggris, dan Eropa. Bahkan, China yang selama ini cukup resilien terhadap krisis ekonomi juga mulai mengalami perlambatan.

Proyeksi yang sama juga dikeluarkan oleh International Monetary Fund (IMF) melalui World Economic Outlook(WEO) edisi Oktober 2022. Dalam laporan tersebut, IMF menyatakan bahwa risiko terjadinya resesi pada tahun 2023 mendatang semakin meningkat. Bahkan, negara-negara yang diproyeksikan akan jatuh ke jurang resesi semakin bertambah banyak dibanding laporan pada periode sebelumnya.

Sejumlah negara maju tercatat di daftar tersebut, antara lain AS, Jerman, Inggris, Prancis, Jepang, Rusia, dan Italia. Untuk Indonesia, IMF mempertahankan proyeksi ekonomi sebesar 5,3% pada 2022 dan sedikit memangkas pertumbuhan ekonomi 2023 menjadi 5%, jauh di atas pertumbuhan ekonomi global yang sebesar 2,7% pada 2023 mendatang.

Tantangan-tantangan tersebut mau tidak mau akan mewarnai periode akhir pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden. Untuk itu, beberapa respons kebijakan akan terus disiapkan untuk mengantisipasi risiko global yang semakin eskalatif. Sekaligus menyiapkan soft landing bagi Pemerintahan periode ini.

Kebijakan Fiskal: Waspada, Responsif, Optimis
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More