Jaga Kesehatan Usia Muda
Senin, 06 Juli 2020 - 06:22 WIB
Cut menekankan perubahan gaya hidup harus dilakukan sedini mungkin sebagai investasi kesehatan masa depan. Pun dengan pengendalian faktor risiko juga harus dilakukan sedini mungkin. Masyarakat harus memiliki kesadaran kesehatan agar tahu kondisi badannya, agar semakin mudah diobati sehingga tidak terlambat.
“Jangan lupa deteksi dini, untuk orang sehat merasa dirinya tidak memiliki keluhan, belum tentu tetap sehat, lakukan screening minimal 6 bulan sampai setahun sekali,” katanya.
Dia juga mengatakan bahwa di masa pandemi ini, Kementerian Kesehatan memberikan fleksibilitas kepada penyandang PTM dengan memberikan kemudahan untuk mendapatkan obat untuk jangka waktu dua bulan ke depan guna mengurangi mobilitas mereka ke fasilitas pelayanan kesehatan.
Sebelumnya, Farrukh Qureshi dari WHO Indonesia mengungkapkan bahwa kasus PTM yang menerpa kalangan muda juga menjadi tren di negara berkembang. Penyebabnya, 80% faktor risiko disebabkan faktor gaya hidup seperti kurang aktivitas fisik, kurang konsumsi sayur dan buah, obesitas, merokok, dan konsumsi alkohol. "Faktor risiko ini merupakan faktor-faktor yang dapat dicegah dengan mengupayakan gaya hidup sehat," dalam International Symposium on Health Research di Prime Plaza Sanur, Bali, 29 November 2019.
Dia memaparkan, setiap tahun ada empat puluh juta orang meninggal akibat penyakit tidak menular, 15% di antaranya meninggal di usia 30-70 tahun. Dengan demikian, artinya tiap dua detik seseorang mati prematur akibat PTM. Hampir dua pertiga dari total kematian akibat penyakit tidak menular terkait dengan konsumsi rokok, konsumsi alkohol yang tidak sehat, diet yang tidak sehat, aktivitas fisik yang kurang, dan polusi udara.
Adapun representatif Aliansi Penyakit Tidak Menular Indonesia Ibnu Haykal sebelumnya mengungkapkan, PTM juga menghambat pertumbuhan ekonomi di tingkat global dan nasional dengan mempengaruhi produktivitas pekerja secara negatif dan mengalihkan sumber daya dari tujuan produktif ke pengobatan penyakit. PTM diperkirakan menyebabkan kerugian ekonomi global kumulatif USD47 triliun pada 2030, atau sekitar 75% dari PDB global 2010. (Baca juga: Turki Sukses Uji Coba Rudal Maritim Buatan Sendiri)
“Kurang dari lima tahun lagi Indonesia akan terdampak ancaman global PTM, namun hingga kini Indonesia belum memiliki regulasi yang benar-benar mampu yang melindungi masyarakat dari PTM," keluhnya.
Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, Vito Anggarino Damay, mengingatkan, PTM di usia muda menimbulkan beban keuangan berupa biaya rumah sakit dan biaya hidup. Dia menyebut, satu dari dua pasien kanker dinyatakan bangkrut. Kalau punya harta benda biasanya dijual.
Sementara itu, anggota Komisi IX DPR Anggia Ermarini menyebut promotif-preventif harus menjadi tumpuan dalam program kesehatan nasional. Karena itu, pihaknya meminta agar Kemenkes melakukan evaluasi seberapa besar perhatian negara, dalam hal ini Kemenkes untuk mengalokasikan program ini. "Di awal-awal kami raker dengan Pak Menteri memberikan perhatian tentang dua hal ini. Kita sedang tagih nih, program-program yang suratnya promotif-preventif," katanya.
Dalam pandangan Ketua Umum PP Fatayat NU ini, biaya promosi preventif ini yang sangat kurang di Indonesia. Sebagian besar anggaran dipakai untuk kuratif. Dia menandaskan, dalam setiap rapat dengan Kemenkes, Komisi IX selalu mengingatkan pentingnya revitalisasi puskesmas sebagai unit kesehatan terdekat dengan masyarakat. "Bikin program yang membuat masyarakat enggak usah sakit. Itu konsentrasinya. Ya kalau sakit harus diobati, tapi gerakan masyarakat yang sehat itu penting," tutur politikus yang memiliki latar belakang pendidikan Kesehatan Masyarakat dari Universitas Indonesia ini.
“Jangan lupa deteksi dini, untuk orang sehat merasa dirinya tidak memiliki keluhan, belum tentu tetap sehat, lakukan screening minimal 6 bulan sampai setahun sekali,” katanya.
Dia juga mengatakan bahwa di masa pandemi ini, Kementerian Kesehatan memberikan fleksibilitas kepada penyandang PTM dengan memberikan kemudahan untuk mendapatkan obat untuk jangka waktu dua bulan ke depan guna mengurangi mobilitas mereka ke fasilitas pelayanan kesehatan.
Sebelumnya, Farrukh Qureshi dari WHO Indonesia mengungkapkan bahwa kasus PTM yang menerpa kalangan muda juga menjadi tren di negara berkembang. Penyebabnya, 80% faktor risiko disebabkan faktor gaya hidup seperti kurang aktivitas fisik, kurang konsumsi sayur dan buah, obesitas, merokok, dan konsumsi alkohol. "Faktor risiko ini merupakan faktor-faktor yang dapat dicegah dengan mengupayakan gaya hidup sehat," dalam International Symposium on Health Research di Prime Plaza Sanur, Bali, 29 November 2019.
Dia memaparkan, setiap tahun ada empat puluh juta orang meninggal akibat penyakit tidak menular, 15% di antaranya meninggal di usia 30-70 tahun. Dengan demikian, artinya tiap dua detik seseorang mati prematur akibat PTM. Hampir dua pertiga dari total kematian akibat penyakit tidak menular terkait dengan konsumsi rokok, konsumsi alkohol yang tidak sehat, diet yang tidak sehat, aktivitas fisik yang kurang, dan polusi udara.
Adapun representatif Aliansi Penyakit Tidak Menular Indonesia Ibnu Haykal sebelumnya mengungkapkan, PTM juga menghambat pertumbuhan ekonomi di tingkat global dan nasional dengan mempengaruhi produktivitas pekerja secara negatif dan mengalihkan sumber daya dari tujuan produktif ke pengobatan penyakit. PTM diperkirakan menyebabkan kerugian ekonomi global kumulatif USD47 triliun pada 2030, atau sekitar 75% dari PDB global 2010. (Baca juga: Turki Sukses Uji Coba Rudal Maritim Buatan Sendiri)
“Kurang dari lima tahun lagi Indonesia akan terdampak ancaman global PTM, namun hingga kini Indonesia belum memiliki regulasi yang benar-benar mampu yang melindungi masyarakat dari PTM," keluhnya.
Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, Vito Anggarino Damay, mengingatkan, PTM di usia muda menimbulkan beban keuangan berupa biaya rumah sakit dan biaya hidup. Dia menyebut, satu dari dua pasien kanker dinyatakan bangkrut. Kalau punya harta benda biasanya dijual.
Sementara itu, anggota Komisi IX DPR Anggia Ermarini menyebut promotif-preventif harus menjadi tumpuan dalam program kesehatan nasional. Karena itu, pihaknya meminta agar Kemenkes melakukan evaluasi seberapa besar perhatian negara, dalam hal ini Kemenkes untuk mengalokasikan program ini. "Di awal-awal kami raker dengan Pak Menteri memberikan perhatian tentang dua hal ini. Kita sedang tagih nih, program-program yang suratnya promotif-preventif," katanya.
Dalam pandangan Ketua Umum PP Fatayat NU ini, biaya promosi preventif ini yang sangat kurang di Indonesia. Sebagian besar anggaran dipakai untuk kuratif. Dia menandaskan, dalam setiap rapat dengan Kemenkes, Komisi IX selalu mengingatkan pentingnya revitalisasi puskesmas sebagai unit kesehatan terdekat dengan masyarakat. "Bikin program yang membuat masyarakat enggak usah sakit. Itu konsentrasinya. Ya kalau sakit harus diobati, tapi gerakan masyarakat yang sehat itu penting," tutur politikus yang memiliki latar belakang pendidikan Kesehatan Masyarakat dari Universitas Indonesia ini.
tulis komentar anda