Berdaulat Pangan dari Desa

Jum'at, 14 Oktober 2022 - 12:15 WIB
Khudori (Foto: Ist)
Khudori

Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP)

BUMI kini dihuni lebih 7,9 miliar kepala. Setiap malam ada 219.000 perut baru minta diisi makanan. Dunia terasa kian sesak. Kemajuan ilmu pengetahuan, pelayanan kesehatan, dan kualitas pangan membuat harapan hidup bisa lebih 85 tahun.

Di sisi lain, lahan pertanian kian sempit, degradasi lingkungan meluas, air kian terbatas, dan emisi gas rumah kaca yang tak terkendali membuat iklim/cuaca sulit diramal. Anomali iklim jadi fenomena keseharian, yang membuat produksi pangan tak mudah, bahkan bisa gagal.

Baca Juga: koran-sindo.com



Produksi pangan sejatinya cukup buat menyuapi 1,5 kali warga Bumi (Foodfirst, 2011). Pelbagai inovasi pertanian telah menepis pesimisme kaum Malthusian. Namun, pangan yang melimpah tak mengalir pada yang lapar, tapi (hanya) menuju yang berduit. Target Sustainable Development Goals nomor 1 dan 2, yakni mengakhiri kemiskinan dan kelaparan pada 2030, sepertinya bakal kembali gagal. Apalagi, dihadapkan pada krisis dan resesi, proteksionime dari negara-negara ekportir pangan kian menguat.

Langkah pembatasan ekspor dan tindakan proteksionis sebagai respons atas krisis seperti ini juga bukan hal baru. Saat krisis pangan 2007-2008 dan 2011, resep generik itu selalu diulang.

Dalam dua periode krisis itu, krisis pangan disulut oleh produksi yang turun dan daya beli warga yang rendah, yang kemudian diikuti ekspektasi penurunan suplai. Ketika pintu ekspor ditutup, pasar panik, dan harga-harga pangan meroket. Plus krisis energi dan spekulasi di pasar komoditas, krisis pangan kian dalam. Sialnya, krisis pangan selalu berimpit dengan krisis politik, yang tak jarang diikuti kejatuhan rezim.

Krisis pangan yang berulang, apalagi diiringi resesi ekonomi dan krisis BBM, membuat dunia rentan dalam ketidakpastian. Arsitektur politik global akan didominasi pangan. Pertarungan dalam memenuhi dan mengontrol ketersediaan pangan jadi penentu gerak bandul geopolitik global.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More