Belajar dari Tragedi Hillsborough

Jum'at, 07 Oktober 2022 - 04:43 WIB
Subhan Setowara (Foto: Ist)
Subhan Setowara

Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, Lulusan University of Nottingham

The death of one man is a tragedy, the death of a million is a statistic” (Josef Stalin)

SEBAGAI pencinta sepak bola, saya sama sekali tak membayangkan bahwa kejadian serupa tragedi Hillsborough bakal terjadi di Indonesia, lebih-lebih di tempat di mana saya tinggal, Malang. Apalagi, dengan korban jiwa yang jauh lebih banyak. Sungguh tragis.

Priceonomics mencatat bahwa pertandingan sepak bola paling mematikan dalam sejarah, yaitu tragedi Estadio Nacional di Peru pada 1964 dengan 328 korban jiwa, diikuti bencana Accra Sports Stadium di Ghana pada 2001 dengan 126 korban jiwa, dan tragedi Hillsborough di Inggris pada 1989 dengan 97 korban jiwa.



Baca Juga: koran-sindo.com

Dari tiga bencana itu, tragedi Hillsborough patut menjadi catatan tersendiri, setidaknya karena tiga hal. Pertama, karena terjadi di kejuaraan kasta tertinggi dari salah satu negara yang menjadi kiblat sepak bola dunia, Inggris.

Kedua, perilaku suporter semula ditetapkan sebagai penyebab utama kejadian tersebut sebelum akhirnya direvisi 25 tahun kemudian. Ketiga, respons penanganan yang jauh lebih baik ketimbang tragedi di Peru dan Ghana, ditandai dengan perubahan signifikan dalam hal regulasi dan manajemen.

Dalam berbagai kasus itu, suporter senantiasa menjadi kelompok terentan, sekaligus paling aman untuk dikambinghitamkan. Dalam tragedi Hillsborough, setelah pertandingan antara Liverpool dan Nottingham Forest pada 15 April 1989, dilakukan investigasi mendalam hingga pada 1991 diputuskan vonis akhir yaitu kematian karena kecelakaan (accidental death). Kematian itu dipandang sebagai kelalaian suporter.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More