Basri Menyapa Seri 4: Dialog Diri dan Lukisan Alfi
Sabtu, 04 Juli 2020 - 09:31 WIB
Yang ditawarkan adalah membaca ulang memori lansekap-lansekap sawah, gunung, sungai, air terjun, binatang dan pepohonan dan segala 'kosmos' yang akrab semasa era kolonial dan tema-tema yang digali oleh para pelukis zaman itu (awal abad 20).
Sebagai orang Sumatera Barat, Alfi dianugerahi intelektualitas dan kepekaan rasa dekat dengan alam, karya puisi, tuturan lisan para ninik-mamak serta seabrek tata ungkap metafor-metafor keseharian tradisi. Hal itu memperkaya gagasan, mempertanyakan kembali tatkala seni kontemporer tak menegasi hal-hal yang beraroma tradisional. Berbeda dengan era tatkala seni modern bersentuhan dengan dunia Barat yang meminggirkan 'seni lukis klasik' kita di awal abad 20 lalu.
Alfi dengan cara yang elok mengamini yang lokal. Ia membawa bahasa artistiknya berjalan diantara dua arah, berakar kuat kebawah dan menjulang meraih yang tiba-tiba hadir di atap abad ini.
Pada waktu lain, ia dengan artikulasi yang spesifik, sekaligus intim mengingatkan kita tentang eksistensi hidup manusia yang rapuh. Mahluk yang bersikeras memeluk keabadian. Ini bisa kita jumpai di karya- karya Alfi sekitar pertengahan sampai akhir 2000-an yang berlanjut sampai lima-sepuluh tahunan, dengan serial-nya tentang lukisan berobjek manusia-manusia yang berambisi dalam proses peremajaan.
Dalam saat-saat tertentu, Alfi memang rajin membincangkan yang non inderawiah, mahir menyentuh spiritualitas dengan hidup mengingat kematian. Manusia rapuh saat sama terus-menerus didesak mengoptimalkan kekuatannya memulihkan diri. Tapi maut tentu saja pasti tiba.
Itulah mengapa ia mengakrabi eksplorasi imej-imej raga transenden dan gambar-gambar tragik serupa tengkorak. Hal diatas, bisa juga diterjemahkan sebagai upaya Alfi mencari-cari gagasan baru, ide-ide tentang kelahiran ulangnya sebagai seniman secara terus menerus.
Dengan konteks globalisasi, Alfi dan lukisannya gigih mengorek masa lalu, menghubungkannya dengan pengalaman individual hari ini serta beririsan ingatan tentang Indonesia-Jakarta, Sumatera Barat, Yogjakarta, Berlin, New York sampai Singapura dan Malaysia, tempat-tempat yang sempat dikunjungi; dengan bingkai semacam sejarah personal pun komunal. Ia memampukan diri menghubungkan jarak batiniah menjadi terepresentasikan secara fisik.
Dalam sejarah, disepenjuru hitungan alaf, krisis mengakibatkan manusia terpapar derita dan mampu mengubahnya seketika. Demikian pula seniman, yang memang takdirnya membawa mereka suntuk menandai zaman beradaptasi pada realitas anyar. Alfi tahu benar pandemi mencipta krisis, dan beberapa tahun terakhir ia makin matang menuruni palung-palung pergulatan estetis tentang apa itu seni, lukisan dan dirinya sebagai subjek pencipta.
Ia perlahan menanggalkan yang diluar, kulit-kulit ari. Dalam relasi pengertian ini, malahan ia “selamat” di masa pandemi. Berkah yang tetiba menyapa. Sebagai subyek, ia mampu melepas perlahan otoritasnya sebagai pencipta namun setara dengan obyeknya, yakni lukisan yang memberinya 'kebebasan berbicara' pada penciptanya.
Wabah Covid-19 memang momen istimewa menekuri (mengisolasi) sejauh mana seseorang pergi dan akhirnya sedemikian dekat ia sebenarnya berpulang. Tafakur dalam seni memberi dua arah pencerahan: menguatkan yang lemah sembari memeluk potensi yang bersemayam sejak lama: penerimaan total akan hidup.
Sebagai orang Sumatera Barat, Alfi dianugerahi intelektualitas dan kepekaan rasa dekat dengan alam, karya puisi, tuturan lisan para ninik-mamak serta seabrek tata ungkap metafor-metafor keseharian tradisi. Hal itu memperkaya gagasan, mempertanyakan kembali tatkala seni kontemporer tak menegasi hal-hal yang beraroma tradisional. Berbeda dengan era tatkala seni modern bersentuhan dengan dunia Barat yang meminggirkan 'seni lukis klasik' kita di awal abad 20 lalu.
Alfi dengan cara yang elok mengamini yang lokal. Ia membawa bahasa artistiknya berjalan diantara dua arah, berakar kuat kebawah dan menjulang meraih yang tiba-tiba hadir di atap abad ini.
Pada waktu lain, ia dengan artikulasi yang spesifik, sekaligus intim mengingatkan kita tentang eksistensi hidup manusia yang rapuh. Mahluk yang bersikeras memeluk keabadian. Ini bisa kita jumpai di karya- karya Alfi sekitar pertengahan sampai akhir 2000-an yang berlanjut sampai lima-sepuluh tahunan, dengan serial-nya tentang lukisan berobjek manusia-manusia yang berambisi dalam proses peremajaan.
Dalam saat-saat tertentu, Alfi memang rajin membincangkan yang non inderawiah, mahir menyentuh spiritualitas dengan hidup mengingat kematian. Manusia rapuh saat sama terus-menerus didesak mengoptimalkan kekuatannya memulihkan diri. Tapi maut tentu saja pasti tiba.
Itulah mengapa ia mengakrabi eksplorasi imej-imej raga transenden dan gambar-gambar tragik serupa tengkorak. Hal diatas, bisa juga diterjemahkan sebagai upaya Alfi mencari-cari gagasan baru, ide-ide tentang kelahiran ulangnya sebagai seniman secara terus menerus.
Dengan konteks globalisasi, Alfi dan lukisannya gigih mengorek masa lalu, menghubungkannya dengan pengalaman individual hari ini serta beririsan ingatan tentang Indonesia-Jakarta, Sumatera Barat, Yogjakarta, Berlin, New York sampai Singapura dan Malaysia, tempat-tempat yang sempat dikunjungi; dengan bingkai semacam sejarah personal pun komunal. Ia memampukan diri menghubungkan jarak batiniah menjadi terepresentasikan secara fisik.
Dalam sejarah, disepenjuru hitungan alaf, krisis mengakibatkan manusia terpapar derita dan mampu mengubahnya seketika. Demikian pula seniman, yang memang takdirnya membawa mereka suntuk menandai zaman beradaptasi pada realitas anyar. Alfi tahu benar pandemi mencipta krisis, dan beberapa tahun terakhir ia makin matang menuruni palung-palung pergulatan estetis tentang apa itu seni, lukisan dan dirinya sebagai subjek pencipta.
Ia perlahan menanggalkan yang diluar, kulit-kulit ari. Dalam relasi pengertian ini, malahan ia “selamat” di masa pandemi. Berkah yang tetiba menyapa. Sebagai subyek, ia mampu melepas perlahan otoritasnya sebagai pencipta namun setara dengan obyeknya, yakni lukisan yang memberinya 'kebebasan berbicara' pada penciptanya.
Wabah Covid-19 memang momen istimewa menekuri (mengisolasi) sejauh mana seseorang pergi dan akhirnya sedemikian dekat ia sebenarnya berpulang. Tafakur dalam seni memberi dua arah pencerahan: menguatkan yang lemah sembari memeluk potensi yang bersemayam sejak lama: penerimaan total akan hidup.
tulis komentar anda