Alasan MK Prioritaskan Sidang Gugatan Perppu Corona
Senin, 27 April 2020 - 15:05 WIB
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar persidangan secara langsung terkait gugatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19. Pengujian digelar di Ruang Sidang Pleno MK, Selasa (28/4/2020).
Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh mengungkapkan alasan pembahasan beleid ini lebih diprioritaskan ketimbang gugatan undang-undang lainnya. Ia merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 terkait kewenangan Mahkamah untuk menguji Perppu. Namun di sisi lain, MK juga memberikan hak konstitusional kepada masyarakat pencari keadilan apabila merasa dirugikan dengan ditetapkannya Perppu.
"Mengingat masa berlaku Perppu terbatas, maka wajar apabila permohonan terkait pengujian Perppu No. 1 Tahun 2020 akan diprioritaskan," tutur Daniel seperti dikutip SINDOnews dari keterangan resmi melalui laman MK, Senin (27/4/2020).
Secara internal, lanjut Daniel, MK sedang mempersiapkan regulasi sidang jarak jauh, termasuk menyiapkan sarana dan prasarana supaya kaidah hukum acara tetap terpenuhi. ( ).
"Saya masih belajar menyesuaikan diri dalam setiap jenis dan sifat persidangan di MK yaitu sidang pendahuluan (panel), sidang pemeriksaan (pleno) dan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dan pengucapan putusan," ujar pria kelahiran 15 Desember 1964 tersebut.
Daniel mengatakan tengah memeriksa permohonan dan mendalami kembali draf putusan yang dipercayakan kepadanya. Mulai dari irah-irah putusan, identitas pihak, ringkasan permohonan, pertimbangan fakta yang terungkap di persidangan, pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan dan amar putusan, hingga struktur kalimat, tata bahasa dan teknik penulisan pada setiap alinea.
"Selama WFH, saya memeriksa dan mendalami substansi dari permohonan yang diajukan pemohon (para) pemohon, membaca berbagai literatur terkait, termasuk melakukan riset sendiri," ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 terkait Penanganan Pandemi Covid-19 di Indonesia. Perppu tersebut terbit dan berlaku mulai 31 Maret lalu.
Beleid itu menuai kontroversi dan digugat oleh sejumlah elemen masyarakat, seperti Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), mantan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais, dan Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin dalam register yang berbeda.
MAKI hanya meminta MK untuk membatalkan Pasal 27 Perppu 1/2020 karena bertentangan dengan UUD 1945 pada petitumnya. Mereka berpandangan pasal tersebut telah memberikan imunitas aparat pemerintahan dari tuntutan perdata dan pidana saat melaksanakan aturan. ( ).
"Pasal itu dinilai berpotensi menimbulkan superbody dan bertentangan dengan UUD 1945 bila dibandingkan presiden saja yang tak kebal terhadap hukum," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman.
Berbeda halnya dengan Amien Rais dkk. Salah satu gugatan dalam berkas permohonan yang telah diunggah ke situs MK, mereka menilai pasal 2 ayat 1 huruf a angka 1, 2, dan 3, Pasal 27 dan Pasal 28 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 dan harus dibatalkan MK.
Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh mengungkapkan alasan pembahasan beleid ini lebih diprioritaskan ketimbang gugatan undang-undang lainnya. Ia merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 terkait kewenangan Mahkamah untuk menguji Perppu. Namun di sisi lain, MK juga memberikan hak konstitusional kepada masyarakat pencari keadilan apabila merasa dirugikan dengan ditetapkannya Perppu.
"Mengingat masa berlaku Perppu terbatas, maka wajar apabila permohonan terkait pengujian Perppu No. 1 Tahun 2020 akan diprioritaskan," tutur Daniel seperti dikutip SINDOnews dari keterangan resmi melalui laman MK, Senin (27/4/2020).
Secara internal, lanjut Daniel, MK sedang mempersiapkan regulasi sidang jarak jauh, termasuk menyiapkan sarana dan prasarana supaya kaidah hukum acara tetap terpenuhi. ( ).
"Saya masih belajar menyesuaikan diri dalam setiap jenis dan sifat persidangan di MK yaitu sidang pendahuluan (panel), sidang pemeriksaan (pleno) dan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dan pengucapan putusan," ujar pria kelahiran 15 Desember 1964 tersebut.
Daniel mengatakan tengah memeriksa permohonan dan mendalami kembali draf putusan yang dipercayakan kepadanya. Mulai dari irah-irah putusan, identitas pihak, ringkasan permohonan, pertimbangan fakta yang terungkap di persidangan, pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan dan amar putusan, hingga struktur kalimat, tata bahasa dan teknik penulisan pada setiap alinea.
"Selama WFH, saya memeriksa dan mendalami substansi dari permohonan yang diajukan pemohon (para) pemohon, membaca berbagai literatur terkait, termasuk melakukan riset sendiri," ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 terkait Penanganan Pandemi Covid-19 di Indonesia. Perppu tersebut terbit dan berlaku mulai 31 Maret lalu.
Beleid itu menuai kontroversi dan digugat oleh sejumlah elemen masyarakat, seperti Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), mantan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais, dan Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin dalam register yang berbeda.
MAKI hanya meminta MK untuk membatalkan Pasal 27 Perppu 1/2020 karena bertentangan dengan UUD 1945 pada petitumnya. Mereka berpandangan pasal tersebut telah memberikan imunitas aparat pemerintahan dari tuntutan perdata dan pidana saat melaksanakan aturan. ( ).
"Pasal itu dinilai berpotensi menimbulkan superbody dan bertentangan dengan UUD 1945 bila dibandingkan presiden saja yang tak kebal terhadap hukum," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman.
Berbeda halnya dengan Amien Rais dkk. Salah satu gugatan dalam berkas permohonan yang telah diunggah ke situs MK, mereka menilai pasal 2 ayat 1 huruf a angka 1, 2, dan 3, Pasal 27 dan Pasal 28 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 dan harus dibatalkan MK.
(zik)
tulis komentar anda