Komaruddin Hidayat dan Burung Terbang

Rabu, 01 Juli 2020 - 20:54 WIB
Iman (yang) Emansipatoris dan Iman (yang) Tak Kreatif

Menurut KH, saat ini kaum Muslim terutama di Indonesia kesulitan beradaptasi dengan perkembangan zaman yang sangat cepat. Mereka tidak berdaya karena secara ekonomi lemah, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi payah, pendidikan terbelakang, sementara kekuasaan negara dan lembaga-lembaga dunia seolah-olah tidak berpihak kepada mereka. Alhasil, sebagian mereka menunjukkan sikap reaktif reaksioner yang terkadang tampak berlebihan sebagai wujud kegagapan dalam merespons. Sebagai mayoritas, umat Islam Indonesia tampaknya mengalami inferioritas dalam pergulatan bersama orang lain. Dalam istilah psikologi, nuansa batin ini disebut sebagai inferiority complex. Di Indonesia, karena kondisi kejiwaan tersebut dialami oleh mayoritas, kita bisa menyebutnya sebagai inferiority complex of majority.

Umat Islam Indonesia sebagai mayoritas di negeri ini mengalami kondisi psikologis merasa inperior, lemah, lebih rendah, subordinat atau kalah dibanding pihak lain. Karena itu, tampak sekali umat Islam sangat reaksioner dalam menanggapi banyak persoalan dan diskursus di ruang publik. Sebagai konpensasinya, mereka membangun rasa percaya diri dengan cara berkerumun, bergerombol, dan mengandalkan massa untuk menunjukkan jargon mayoritas. Paguyuban atau gerombolan umat Islam semakin menjamur terutama saat memasuki musim politik. Seolah-olah muslim Indonesia membutuhkan kolektivitas untuk berhadapan dengan kekuatan dominan. Umat Islam tampak cepat tersinggung, marah, dan takut, misalnya ketika agamanya tersindir atau dikritik. Padahal, umat Islam percaya bahwa agamanya yang paling otentik dan paling sempurna. Kondisi semacam ini sebenarnya sangat mengherankan, karena dengan kepercayaan seperti itu, mereka seharusnya tak perlu merasa terancam. Keadaan merasa terancam, cepat marah, atau sebaliknya, memuji berlebihan seorang tokoh atau budaya lain sebenarnya menunjukkan kondisi iman dan batinnya yang rapuh dan tidak percaya diri.

Kondisi kejiwaan inferior ini pada gilirannya melahirkan paham keagamaan yang konservatif dan radikal. Karena gagap menghadapi modernitas, umat Islam berupaya mencari selimut ketenangan dengan memuja kegemilangan masa lampau pada masa Nabi Muhammad, dan masa khilafah. Ideologi politik khilafah kemudian terus dikampanyekan. Masa-masa kejayaan Islam itu diulang-ulang hanya sebagai penenang batin. Pasalnya, umat Islam belum siap terlibat dalam pengayaan peradaban dunia, terutama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemunduran di berbagai bidang ini membuat umat Islam mengalami demoralisasi dahsyat. Inilah iman yang tak berdaya, yakni ketika iman tak berhasil memberi efek pada pengayaan peradaban dan kehidupan pemeluknya. Inferioritas dan paham keagamaan yang rapuh, jumud, dan penuh teror adalah implikasi dari iman yang tak berdaya itu. Pada masa lampau, ketika unggul dalam peradabannnya, sikap umat Islam adalah sikap umat yang unggul. Umat Islam tidak pernah kehilangan jati dirinya, punya kepercayaan diri, bebas dari rasa takut dan terancam, serta tidak pernah khawatir dari golongan lain. Tapi, konteks dan tantangan masa lampau tidak sama dengan masa kini. Saat ini kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bisa dihadapi hanya dengan konsep khilafah atau jargon-jargon kegemilangan masa lalu umat Islam. Saat ini konteksnya sudah jauh berbeda dengan masa lalu.

Menurut KH, untuk keluar dari sikap mental inferiority complex, kaum muslim Indonesia harus mengembangkan iman yang emansipatoris, iman yang kreatif, iman yang rasional. Model iman ini terdiri atas dua hal pokok. Pertama, keyakinan bahwa Islam adalah agama yang sangat maju dan progresif. Tesis Robert N. Bellah masih relevan untuk diingat. Tesis itu menjelaskan bahwa ajaran Islam sangat maju, bahkan terlalu maju untuk ukuran zamannya. Sehingga di bawah Nabi Muhammad, masyarakat Arab berhasil membuat lompatan jauh. Tetapi menurut Bellah, aspek ini tidak didukung oleh prasarana yang memadai pada masanya, sehingga setelah Nabi Muhammad wafat, masyarakat Arab kembali kepada organisasi sosial pra-Islam. Dari sisi pemikiran sosial, Nabi Muhammad sudah menciptakan piagam Madinah yang mengandung pokok-pokok pikiran yang sangat mengagumkan. Gagasan-gagasan modern tentang penghormatan terhadap pluralisme, hak asasi manusia, kebebasan beragama, kemerdekaan hubungan ekonomi antar golongan, serta kaidah-kaidah bernegara justru sudah termuat dalam dokumen tersebut yang tak pernah dikenal sebelumnya. Semangat dokumen ini, sekali lagi spiritnya--- kini harus direkonstruksi dalam konteks dunia modern yang sangat kompleks. Kedua, seperti analisis Bellah di atas, umat Islam sekarang harus kreatif menciptakan pranata-pranata sosial baru seperti lembaga pendidikan, penelitian, keuangan, hukum, birokrasi pemerintahan, hingga kekuatan militer, tapi dalam konteks dunia modern, bukan dalam bentuk khilafah seperti masa lalu. Jadi, menggunakan daya nalar, mengambil spirit ajaran Nabi Muhammad yang sangat modern, dan membuat pranata-pranata sosial yang kreatif itulah tawaran umat Islam modern sebagai wujud dari iman yang emansipatoris.

Harus Terlibat dalam Dunia Global

KH menyadari betul bahwa kaum Muslim harus terlibat ikut mengembangkan peradaban pada tingkat global. Umat Islam harus mendunia, begitu kira-kira. Ketika menjadi Rektor, langkah pertama yang harus dibuat adalah mengubah logo UIN, dari model lama ke model baru yang melambangkan dunia (globe). Ini harus dibaca sebagai “upaya simbolik” bahwa Lembaga Pendidikan tinggi Islam Indonesia memang harus “mendunia”. Upaya mengubah logo itu awalnya mengundang polemik dan pro-kontra. KH dituduh, oleh sebagian pengkritiknya, telah menghilangkan kata “Al-Quran al-Karim” dari logo yang lama. Upaya KH dianggap artifisial. Tetapi dengan kesabaran dan ketekunan menjelaskan, akhirnya KH berhasil meyakinkan para Gurubesar dan sivitas akademika UIN Jakarta bahwa tak ada yang hilang dari “Islam” UIN Jakarta. Justru Islam adalah ruhnya. Langkah berikutnya, KH dengan bersemangat mendorong dosen-dosen untuk kuliah di luar negeri, mengikuti workshop, short course, seminar dan konferensi-konferensi tingkat dunia agar UIN Jakarta dikenal. Saya merasa beruntung dengan program-program itu, dan bisa berkeliling ke banyak negara di Eropa dan Asia untuk kegiatan akademik.

Kini KH dan timnya, sedari awal, menggagas pendirian Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Malaysia dan Pakistan saja sudah lama memiliki universitas Islam internasional, mengapa Indonesia, dengan penduduk Muslim terbesar dunia, tidak mampu membuat hal yang sama? “Ini juga menyangkut harga diri bangsa”, begitu kira-kira KH menyampaikan kegundahannya di tengah banyak kritik tertuju atas proyek ambisius UIII itu. Sarana dan pra-sarana sudah siap. Sebentar lagi Universitas Islam Internasional Indonesia itu segera beroperasi. Dan KH, cendekiawan Muslim Indonesia, yang selalu tampil segar, perlente dan seorang “mubaligh” dengan intonasi suaranya yang khas, sudah meletakkan “ruh” dan “sayap”nya agar Islam Indonesia terbang mendunia.
(ras)
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More