Antara Floyd, Sambo, dan Pasien Rumah Sakit

Kamis, 01 September 2022 - 07:06 WIB
Beberapa hari lalu, RS Jiwa Solo kebakaran. Dua orang tewas dan dua lainnnya menderita luka bakar berat. Dua nyawa melayang dalam insiden tersebut. Ini juga seharusnya berita penting. Tapi tidak ada kehebohan di media. Berita kebakaran tidak terekspose luas. Tengggelam oleh berita polisi membunuh polisi.

Selain kematian akibat insiden, rumah sakit memang menjadi tempat “lumrah” lepasnya nyawa manusia. Setiap hari, ratusan orang mati dirumah sakit. Tapi tidak ada kehebohan. Tidak ada berita bombastis. Paling yang menemani dan menjadi saksi peregangan nyawa pasien adalah keluarga, dokter dan perawat. Tidak ada liputan televisi. Setelah mati, what next? Case closed. Nobody care. Dunia kembali berjalan sebagaimana mestinya.

Mengapa satu nyawa yang melayang pada kasus Floyd dan Brigadir J bisa memantik kehebohan luar biasa, sementara kematian demi kematian yang terjadi di rumah sakit tidak banyak dilirik, terutama oleh media massa?

Semua sepakat bahwa nyawa adalah ultimate possesion of human. Milik manusia yang sangat berharga. Nyawa membedakan seorang bergerak atau tidak, hidup atau tidak, bermanfaat atau tidak. Makanya, nyawa menjadi indikator amat krusial dalam setiap aspek kehidupan. Kalau prinsip ini yang dipegang, kehilangan banyak nyawa tentu lebih devastating dari kehilangan satu nyawa.

Namun fakta di kehidupan riil berbeda. Nyawa memang tetap penting bagi masyarakat. Tapi yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana kisah nyawa itu melayang. Apakah mengandung kausa luar biasa atau biasa-biasa saja. Kalau kausa dan proses melayangnya nyawa tidak lukratif alias biasa-biasa saja, masyarakat tidak menganggapnya berita penting. Makanya, ratusan nyawa melayang di rumah sakit tidak menjadi headline. Apalagi masyarakat tahu kalau rumah sakit memang tempatnya orang sakit dan salah satu ending sakit adalah kematian. Jadi nyawa melayang dianggap elemen natural progression of diseases. Sebuah elemen perjalanan natural penyakit. Bila ini sesuatu yang natural, mengapa mesti heboh-heboh?

Lain kalau proses melayangnya nyawa mengandung kisah luar biasa. Mengandung plot-plot cerita yang bisa mengobok-obok sisi psikologis manusia. Memiliki alur cerita yang menimbulkan misteri, mengandung motif yang mengutak-atik ranah berpikir manusia, atau mengandung deviasi signifikan dari kewajaran. Semakin lebar sisi misteri, motif dan deviasinya, semakin menggungah ranah psikologis manusia untuk terus ingin tahu. Mereka merasa terikut dalam kisah dan membangun self-opinion dan self-imagination terkait kasus. Aspek kognitifnya tertantang. Ada keterlibatan psikologis yang hebat. Seolah menonton sinetron berseri yang belum bisa ditebak endingnya.

Mereka tersihir; selaksa berhadapan dengan kisah-kisah Sherlock Holmes. Makanya jangan heran ada yang tidak beranjak dari televisi berjam-jam setiap hari saat kisah Floyd dan Brigadir J merebak. Masyarakat tidak terlalu galau oleh berapa jumlah nyawa yang melayang, tetapi tersihir oleh motif, proses dan alur cerita melayangnya nyawa. Lebih antusias mengikuti plot demi plot dalam kasus daripada ending kasus.

Masyarakat tampaknya mempraktikkan sebuah prinsip indah : travel is about the journey, not the destination. Dalam perjalanan, yang krusial bukanlah tujuan tetapi proses perjalanan itu sendiri.

Baca Juga: koran-sindo.com
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
(bmm)
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More