Ustadz Abu dan Tauhid Pancasila

Sabtu, 27 Agustus 2022 - 11:23 WIB
Dalam kaitan ini, argumentasi dari para tokoh Islam dalam menerima sila Ketuhanan YME, sama dengan argumentasi Ustadz Abu. Yakni, karena sila Ketuhanan YME mencerminkan tauhid. Melalui uraian tentangIslam dan Nasionalisme, Perspektif Maqashid al-Syari’ah,Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Prof. KH Yudian Wahyudi, PhD menafsiri momen penting ini.

Menurut Prof. Yudian, di masa kritis tersebut, para tokoh Islam, terutama Kiai Wahid Hasyim, menggunakan dua kaidah fikih. Pertama,darul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih(menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada mengejar kebaikan).

Artinya, menghindari pecahnya Indonesia akibat “tujuh kata” Piagam Jakarta, lebih diutamakan oleh Islam, daripada tetap mengusahakan tegaknya syariah dalam dasar negara. Kedua,mala yudraku kulluhu la yutraku kulluhu(apa yang tidak bisa didapatkan semua, jangan ditinggal semuanya). Artinya, ketika syariah gagal diterapkan dalam dasar negara, maka nilai-nilai Islam jangan terhapus semua dari dasar negara. (Wahyudi, 2010: 10).

Yang terjadi sebaliknya, nilai yang paling fundamental dari Islam, yakni tauhid, telah menggantikan syariah. Sedangkan tauhid (akidah) ialah sumber bagi syariah. Dengan demikian, meskipun redaksi syariah telah dihapus dalam dasar negara, namun substansi syariah masih terjaga, karena ia bersifatinherendi dalam tauhid (Ketuhanan YME).

Dalam hal ini, perlu diketahui bahwa sila Ketuhanan YME sejak awal diusulkan oleh pengusul Pancasila, yakni Soekarno pada pidato 1 Juni 1945. Dalam uraiannya, Soekarno menyatakan, “Prinsip kelima dari Indonesia merdeka adalah bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip ketuhanan… Hatiku akan berpesta raya jikalau Saudara-saudara menyepakati Indonesia merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa.” (Soekarno, 1947: 30).

Menarik di sini, karena Soekarno menggunakan kata “bertaqwa kepada Tuhan YME”. Artinya, sebagai Muslim, ia menggunakan terminologi keislaman dalam menjelaskan konsep iman kepada Tuhan. Meskipun ketaqwaan ini ia letakkan dalam pemahaman keislaman yang toleran pada satu sisi, serta prinsip ketuhanan universal pada saat bersamaan.

Artinya, pada satu sisi Soekarno mengusulkan ketaqwaan secara personal sebagai seorang Muslim. Namun pada saat bersamaan, ia juga mengusulkan sila Ketuhanan YME sebagai prinsip ketuhanan universal yang mewakili semua agama, dimana semua umat beragama leluasa menjalankan ibadah sesuai dengan agama masing-masing.

Pada awalnya, sila Ketuhanan YME tersebut Soekarno letakkan sebagai sila kelima dalam arti sebagai penyebab final (causa finalis) dari sila-sila lainnya. Lalu dalam rumusan Piagam Jakarta, sila ketuhanan diletakkan sebagai sila pertama, artinya sebagai sebab utama (causa prima) bagi sila-sila lainnya. Setelah sempat mengalami “syariatisasi”, sila ketuhanan tersebut akhirnya kembali pada konsep awal Soekarno, yakni Ketuhanan YME. Hanya saja terdapat pemikiran baru dari kelompok Islam pada 18 Agustus 1945, yakni menafsiri sila Ketuhanan YME tersebut dalam tradisi Islam, yakni tauhid.

Kerahmatan

Pertanyaannya, jika bagi umat Islam, sila Ketuhanan YME adalah cerminan dari tauhid, maka seperti apakah nilai tauhid yang termuat dalam Pancasila? Inilah yang perlu dipahami, agar pemahaman terhadap tauhid tidak eksklusif sehingga justru bertentangan dengan spirit Pancasila dan tauhid itu sendiri.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More