Ustadz Abu dan Tauhid Pancasila
loading...
A
A
A
Syaiful Arif
Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila
Mantan pimpinan Jamaah Islamiyah (JI) , Abu Bakar Ba’asyir atau yang terkenal dengan sebutan Ustadz Abu telah menerima Pancasila. Penerimaan ini merupakan revisi atas pandangannya sendiri yang sejak dulu mengafirkan dasar negara ini. Pertaubatan Ustadz Abu ini menarik, dan selaras dengan prinsip dasar Pancasila yang bersifat religius.
Argumentasi Ustadz Abu dalam menerima Pancasila ialah karena sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan cerminan dari tauhid. Kesimpulan ini menurutnya ia dapatkan setelah mempelajari Pancasila lebih mendalam. Bagi Ustadz Abu, mana mungkin para ulama yang terlibat dalam perumusan Pancasila mau menerima dasar negara ini, jika dasar negara tersebut bersifat syirik? Fakta sebaliknya. Para ulama pendiri bangsa menerima Pancasila karena dalam dasar negara ini termuat nilai yang paling fundamental dalam Islam, yakni tauhid.
Bersifat Historis
Pemahaman terbaru Ustadz Abu ini memang tepat secara historis. Dalam kaitan ini, para ulama yang dimaksud Ustadz Abu ialah para tokoh Islam yang terlibat dalam perumusan Pancasila.
Sebagaimana diketahui, para tokoh itu ialah Kiai Wahid Hasyim (Nahdlatul Ulama), Ki Bagus Hadikusumo dan Mr Kasman Singodimedjo (Muhammadiyah), serta Teuku Muhammad Hasan (tokoh Aceh). Keempat tokoh Islam ini diajak melakukan rapat kecil oleh Bung Hatta pada tanggal 18 Agustus 1945 pagi hari, menjelang sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Tujuan lobi Bung Hatta ialah untuk membujuk para tokoh Islam tersebut agar berkenan mengganti sila “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, menjadi sila “Ketuhanan YME”.
Alhamdulillah, para tokoh Islam tersebut sepakat, sehingga “tujuh kata syariah” yang kontroversial yang membuat wilayah Indonesia Timur ingin memisahkan diri dari Indonesia, berhasil dihapus dan diganti dengan Ketuhanan YME. (Hatta, 1982:60). Dalam sidang PPKI, Hatta lalu melaporkan hal ini sehingga melahirkan rumusan final Pancasila sebagaimana kita miliki saat ini.
Dalam kaitan ini, argumentasi dari para tokoh Islam dalam menerima sila Ketuhanan YME, sama dengan argumentasi Ustadz Abu. Yakni, karena sila Ketuhanan YME mencerminkan tauhid. Melalui uraian tentangIslam dan Nasionalisme, Perspektif Maqashid al-Syari’ah,Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Prof. KH Yudian Wahyudi, PhD menafsiri momen penting ini.
Menurut Prof. Yudian, di masa kritis tersebut, para tokoh Islam, terutama Kiai Wahid Hasyim, menggunakan dua kaidah fikih. Pertama,darul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih(menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada mengejar kebaikan).
Artinya, menghindari pecahnya Indonesia akibat “tujuh kata” Piagam Jakarta, lebih diutamakan oleh Islam, daripada tetap mengusahakan tegaknya syariah dalam dasar negara. Kedua,mala yudraku kulluhu la yutraku kulluhu(apa yang tidak bisa didapatkan semua, jangan ditinggal semuanya). Artinya, ketika syariah gagal diterapkan dalam dasar negara, maka nilai-nilai Islam jangan terhapus semua dari dasar negara. (Wahyudi, 2010: 10).
Yang terjadi sebaliknya, nilai yang paling fundamental dari Islam, yakni tauhid, telah menggantikan syariah. Sedangkan tauhid (akidah) ialah sumber bagi syariah. Dengan demikian, meskipun redaksi syariah telah dihapus dalam dasar negara, namun substansi syariah masih terjaga, karena ia bersifatinherendi dalam tauhid (Ketuhanan YME).
Dalam hal ini, perlu diketahui bahwa sila Ketuhanan YME sejak awal diusulkan oleh pengusul Pancasila, yakni Soekarno pada pidato 1 Juni 1945. Dalam uraiannya, Soekarno menyatakan, “Prinsip kelima dari Indonesia merdeka adalah bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip ketuhanan… Hatiku akan berpesta raya jikalau Saudara-saudara menyepakati Indonesia merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa.” (Soekarno, 1947: 30).
Menarik di sini, karena Soekarno menggunakan kata “bertaqwa kepada Tuhan YME”. Artinya, sebagai Muslim, ia menggunakan terminologi keislaman dalam menjelaskan konsep iman kepada Tuhan. Meskipun ketaqwaan ini ia letakkan dalam pemahaman keislaman yang toleran pada satu sisi, serta prinsip ketuhanan universal pada saat bersamaan.
Artinya, pada satu sisi Soekarno mengusulkan ketaqwaan secara personal sebagai seorang Muslim. Namun pada saat bersamaan, ia juga mengusulkan sila Ketuhanan YME sebagai prinsip ketuhanan universal yang mewakili semua agama, dimana semua umat beragama leluasa menjalankan ibadah sesuai dengan agama masing-masing.
Pada awalnya, sila Ketuhanan YME tersebut Soekarno letakkan sebagai sila kelima dalam arti sebagai penyebab final (causa finalis) dari sila-sila lainnya. Lalu dalam rumusan Piagam Jakarta, sila ketuhanan diletakkan sebagai sila pertama, artinya sebagai sebab utama (causa prima) bagi sila-sila lainnya. Setelah sempat mengalami “syariatisasi”, sila ketuhanan tersebut akhirnya kembali pada konsep awal Soekarno, yakni Ketuhanan YME. Hanya saja terdapat pemikiran baru dari kelompok Islam pada 18 Agustus 1945, yakni menafsiri sila Ketuhanan YME tersebut dalam tradisi Islam, yakni tauhid.
Kerahmatan
Pertanyaannya, jika bagi umat Islam, sila Ketuhanan YME adalah cerminan dari tauhid, maka seperti apakah nilai tauhid yang termuat dalam Pancasila? Inilah yang perlu dipahami, agar pemahaman terhadap tauhid tidak eksklusif sehingga justru bertentangan dengan spirit Pancasila dan tauhid itu sendiri.
Dalam ajaran Islam, tauhid memang selaras dengan nilai-nilai Pancasila, yakni nilai ketuhanan yang mengejawantah ke dalam kehidupan manusia, demi kualitas kehidupan manusia yang bermartabat. Dalam tradisi tauhid, hal ini digambarkan melalui tiga fase penauhidan manusia kepada Tuhan.
Pertama,tauhid uluhiyahyang mengacu pada usaha hamba untuk mengesakan Allah SWT sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Kedua,tauhid rububiyahyang mengacu pada usaha hamba untuk menyembah Allah sebagai Penguasa, Pelindung dan Pendidik Semesta. Ketiga,tauhid rahamutiyahyang mengacu pada sifat dasar dari Allah SWT, yakni Dzat Yang Maha Pengasih (al-Rahman) dan Maha Penyayang (al-Rahim).
Tauhid rahamutiyahatau tauhid kerahmatan inilah yang menjadi sifat dasar dari Allah SWT, baik sebagai Tuhan (Ilah) maupun sebagai Pelindung (Rabb). Artinya, dalam memerankan ketuhanan dan perlindungan semesta, Tuhan menebarkan kasih sayang.Tauhid rahamutiyahini didasarkan pada berbagai ayat suci tentang Tuhan yang mewajibkan diri-Nya untuk menjadi Dzat Pengasih, seperti termaktub dalam Surah al-An’am: 54.
Prinsip tauhid kerahmatan ini juga tercermin dalam Pancasila. Hal ini disebabkan oleh keberadaan sila-sila kerahmatan, yakni pemuliaan martabat manusia (kemanusiaan), persatuan (kebangsaan), pemuliaan terhadap rakyat (kerakyatan) dan perintah berbagi kesejahteraan (keadilan sosial) yang merupakan turunan dari sila Ketuhanan YME. Ini berarti, tauhid di dalam Pancasila terejawantah ke dalam sila-sila kerahmatan tersebut.
Prinsip tauhid kerahmatan yang termuat dalam Pancasila inilah yang mesti dipahami, termasuk oleh Ustadz Abu dan kalangan yang konservatif dalam memahami agama, agar keberagamaannya bersifat lebih lembut.
Lihat Juga: Rektor Universitas Darunnajah-Imam Cultural Center New York Bahas Kondisi Umat Islam di AS
Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila
Mantan pimpinan Jamaah Islamiyah (JI) , Abu Bakar Ba’asyir atau yang terkenal dengan sebutan Ustadz Abu telah menerima Pancasila. Penerimaan ini merupakan revisi atas pandangannya sendiri yang sejak dulu mengafirkan dasar negara ini. Pertaubatan Ustadz Abu ini menarik, dan selaras dengan prinsip dasar Pancasila yang bersifat religius.
Argumentasi Ustadz Abu dalam menerima Pancasila ialah karena sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan cerminan dari tauhid. Kesimpulan ini menurutnya ia dapatkan setelah mempelajari Pancasila lebih mendalam. Bagi Ustadz Abu, mana mungkin para ulama yang terlibat dalam perumusan Pancasila mau menerima dasar negara ini, jika dasar negara tersebut bersifat syirik? Fakta sebaliknya. Para ulama pendiri bangsa menerima Pancasila karena dalam dasar negara ini termuat nilai yang paling fundamental dalam Islam, yakni tauhid.
Bersifat Historis
Pemahaman terbaru Ustadz Abu ini memang tepat secara historis. Dalam kaitan ini, para ulama yang dimaksud Ustadz Abu ialah para tokoh Islam yang terlibat dalam perumusan Pancasila.
Sebagaimana diketahui, para tokoh itu ialah Kiai Wahid Hasyim (Nahdlatul Ulama), Ki Bagus Hadikusumo dan Mr Kasman Singodimedjo (Muhammadiyah), serta Teuku Muhammad Hasan (tokoh Aceh). Keempat tokoh Islam ini diajak melakukan rapat kecil oleh Bung Hatta pada tanggal 18 Agustus 1945 pagi hari, menjelang sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Tujuan lobi Bung Hatta ialah untuk membujuk para tokoh Islam tersebut agar berkenan mengganti sila “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, menjadi sila “Ketuhanan YME”.
Alhamdulillah, para tokoh Islam tersebut sepakat, sehingga “tujuh kata syariah” yang kontroversial yang membuat wilayah Indonesia Timur ingin memisahkan diri dari Indonesia, berhasil dihapus dan diganti dengan Ketuhanan YME. (Hatta, 1982:60). Dalam sidang PPKI, Hatta lalu melaporkan hal ini sehingga melahirkan rumusan final Pancasila sebagaimana kita miliki saat ini.
Dalam kaitan ini, argumentasi dari para tokoh Islam dalam menerima sila Ketuhanan YME, sama dengan argumentasi Ustadz Abu. Yakni, karena sila Ketuhanan YME mencerminkan tauhid. Melalui uraian tentangIslam dan Nasionalisme, Perspektif Maqashid al-Syari’ah,Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Prof. KH Yudian Wahyudi, PhD menafsiri momen penting ini.
Menurut Prof. Yudian, di masa kritis tersebut, para tokoh Islam, terutama Kiai Wahid Hasyim, menggunakan dua kaidah fikih. Pertama,darul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih(menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada mengejar kebaikan).
Artinya, menghindari pecahnya Indonesia akibat “tujuh kata” Piagam Jakarta, lebih diutamakan oleh Islam, daripada tetap mengusahakan tegaknya syariah dalam dasar negara. Kedua,mala yudraku kulluhu la yutraku kulluhu(apa yang tidak bisa didapatkan semua, jangan ditinggal semuanya). Artinya, ketika syariah gagal diterapkan dalam dasar negara, maka nilai-nilai Islam jangan terhapus semua dari dasar negara. (Wahyudi, 2010: 10).
Yang terjadi sebaliknya, nilai yang paling fundamental dari Islam, yakni tauhid, telah menggantikan syariah. Sedangkan tauhid (akidah) ialah sumber bagi syariah. Dengan demikian, meskipun redaksi syariah telah dihapus dalam dasar negara, namun substansi syariah masih terjaga, karena ia bersifatinherendi dalam tauhid (Ketuhanan YME).
Dalam hal ini, perlu diketahui bahwa sila Ketuhanan YME sejak awal diusulkan oleh pengusul Pancasila, yakni Soekarno pada pidato 1 Juni 1945. Dalam uraiannya, Soekarno menyatakan, “Prinsip kelima dari Indonesia merdeka adalah bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip ketuhanan… Hatiku akan berpesta raya jikalau Saudara-saudara menyepakati Indonesia merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa.” (Soekarno, 1947: 30).
Menarik di sini, karena Soekarno menggunakan kata “bertaqwa kepada Tuhan YME”. Artinya, sebagai Muslim, ia menggunakan terminologi keislaman dalam menjelaskan konsep iman kepada Tuhan. Meskipun ketaqwaan ini ia letakkan dalam pemahaman keislaman yang toleran pada satu sisi, serta prinsip ketuhanan universal pada saat bersamaan.
Artinya, pada satu sisi Soekarno mengusulkan ketaqwaan secara personal sebagai seorang Muslim. Namun pada saat bersamaan, ia juga mengusulkan sila Ketuhanan YME sebagai prinsip ketuhanan universal yang mewakili semua agama, dimana semua umat beragama leluasa menjalankan ibadah sesuai dengan agama masing-masing.
Pada awalnya, sila Ketuhanan YME tersebut Soekarno letakkan sebagai sila kelima dalam arti sebagai penyebab final (causa finalis) dari sila-sila lainnya. Lalu dalam rumusan Piagam Jakarta, sila ketuhanan diletakkan sebagai sila pertama, artinya sebagai sebab utama (causa prima) bagi sila-sila lainnya. Setelah sempat mengalami “syariatisasi”, sila ketuhanan tersebut akhirnya kembali pada konsep awal Soekarno, yakni Ketuhanan YME. Hanya saja terdapat pemikiran baru dari kelompok Islam pada 18 Agustus 1945, yakni menafsiri sila Ketuhanan YME tersebut dalam tradisi Islam, yakni tauhid.
Kerahmatan
Pertanyaannya, jika bagi umat Islam, sila Ketuhanan YME adalah cerminan dari tauhid, maka seperti apakah nilai tauhid yang termuat dalam Pancasila? Inilah yang perlu dipahami, agar pemahaman terhadap tauhid tidak eksklusif sehingga justru bertentangan dengan spirit Pancasila dan tauhid itu sendiri.
Dalam ajaran Islam, tauhid memang selaras dengan nilai-nilai Pancasila, yakni nilai ketuhanan yang mengejawantah ke dalam kehidupan manusia, demi kualitas kehidupan manusia yang bermartabat. Dalam tradisi tauhid, hal ini digambarkan melalui tiga fase penauhidan manusia kepada Tuhan.
Pertama,tauhid uluhiyahyang mengacu pada usaha hamba untuk mengesakan Allah SWT sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Kedua,tauhid rububiyahyang mengacu pada usaha hamba untuk menyembah Allah sebagai Penguasa, Pelindung dan Pendidik Semesta. Ketiga,tauhid rahamutiyahyang mengacu pada sifat dasar dari Allah SWT, yakni Dzat Yang Maha Pengasih (al-Rahman) dan Maha Penyayang (al-Rahim).
Tauhid rahamutiyahatau tauhid kerahmatan inilah yang menjadi sifat dasar dari Allah SWT, baik sebagai Tuhan (Ilah) maupun sebagai Pelindung (Rabb). Artinya, dalam memerankan ketuhanan dan perlindungan semesta, Tuhan menebarkan kasih sayang.Tauhid rahamutiyahini didasarkan pada berbagai ayat suci tentang Tuhan yang mewajibkan diri-Nya untuk menjadi Dzat Pengasih, seperti termaktub dalam Surah al-An’am: 54.
Prinsip tauhid kerahmatan ini juga tercermin dalam Pancasila. Hal ini disebabkan oleh keberadaan sila-sila kerahmatan, yakni pemuliaan martabat manusia (kemanusiaan), persatuan (kebangsaan), pemuliaan terhadap rakyat (kerakyatan) dan perintah berbagi kesejahteraan (keadilan sosial) yang merupakan turunan dari sila Ketuhanan YME. Ini berarti, tauhid di dalam Pancasila terejawantah ke dalam sila-sila kerahmatan tersebut.
Prinsip tauhid kerahmatan yang termuat dalam Pancasila inilah yang mesti dipahami, termasuk oleh Ustadz Abu dan kalangan yang konservatif dalam memahami agama, agar keberagamaannya bersifat lebih lembut.
Lihat Juga: Rektor Universitas Darunnajah-Imam Cultural Center New York Bahas Kondisi Umat Islam di AS
(ynt)