Nasib RUU HIP di Tangan Pimpinan DPR, Pengamat: Hindari Polarisasi
Rabu, 01 Juli 2020 - 09:40 WIB
JAKARTAR - Badan Legislasi (Baleg) DPR menegaskan kewenangan untuk mencabut Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) bukan lagi berada di Baleg karena sudah disahkan menjadi RUU usul inisiatif DPR dan suratnya pun sudah disampaikan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Sehingga, jika RUU HIP ini hendak dicabut dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) harus disepakati oleh Pimpinan DPR dan pimpinan fraksi dalam Rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR. (Baca juga: Baleg Sebut Nasib RUU HIP Tergantung Pimpinan DPR dan Fraksi)
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar berpendapat, seharusnya DPR baleg atau pimpinan DPR dan fraksi-fraksi partai di Senayan menyadari benar munculnya RUU HIP melahirkan polarisasi yang tajam di kalangat masyarakat. Maka itu, harus ada langkah konkret yang tak sebatas saling lempar tanggungjawab."Bahkan keinginan memeras-meras sila Pancasila adalah "tindakan politik" yang sengaja membutakan sejarah Indonesia," kata Fickar kepada SINDOnews, Rabu (1/7/2020).
Fickar mengatakan, Presiden pertama RI, Soekarno sebagai pemikir sekaligus memiliki ide memeras sila dalam Pancasila itu pemikiran kelompok, namun setelah Pancasila diambil alih menjadi bagian dari lahirnya eksistensi Indonesia, maka Pancasila berubah menjadi komitmen bersama yang juga mengorbankan kepentingan-kepentingan kelompok. (Baca juga: PGI: RUU HIP Harus Memandu Pengamalan, Bukan Mengorek Tafsir Pancasila)
Karena itu, lanjut Fickar, munculnya RUU HIP dengan dalih menginginkan terulangnya romantisme sejarah masa lalu justru akan membahayakan kepentingan bersama. Terlebih, polemik ini seolah memberi peluang kebangkitan isme-isme lain yang sudah dilarang. "Pasal 107 a dan seterusnya adalah sistem yuridis yang mengawal upaya-upaya perubahan Pancasila menjadi sebuah tindak pidana politik. Pimpinan DPR atau siapapun pengambil keputusan harus disadarkan RUU HIP terutama substansinya justru akan memecah belah bangsa," kata dia.
Sehingga, jika RUU HIP ini hendak dicabut dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) harus disepakati oleh Pimpinan DPR dan pimpinan fraksi dalam Rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR. (Baca juga: Baleg Sebut Nasib RUU HIP Tergantung Pimpinan DPR dan Fraksi)
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar berpendapat, seharusnya DPR baleg atau pimpinan DPR dan fraksi-fraksi partai di Senayan menyadari benar munculnya RUU HIP melahirkan polarisasi yang tajam di kalangat masyarakat. Maka itu, harus ada langkah konkret yang tak sebatas saling lempar tanggungjawab."Bahkan keinginan memeras-meras sila Pancasila adalah "tindakan politik" yang sengaja membutakan sejarah Indonesia," kata Fickar kepada SINDOnews, Rabu (1/7/2020).
Fickar mengatakan, Presiden pertama RI, Soekarno sebagai pemikir sekaligus memiliki ide memeras sila dalam Pancasila itu pemikiran kelompok, namun setelah Pancasila diambil alih menjadi bagian dari lahirnya eksistensi Indonesia, maka Pancasila berubah menjadi komitmen bersama yang juga mengorbankan kepentingan-kepentingan kelompok. (Baca juga: PGI: RUU HIP Harus Memandu Pengamalan, Bukan Mengorek Tafsir Pancasila)
Karena itu, lanjut Fickar, munculnya RUU HIP dengan dalih menginginkan terulangnya romantisme sejarah masa lalu justru akan membahayakan kepentingan bersama. Terlebih, polemik ini seolah memberi peluang kebangkitan isme-isme lain yang sudah dilarang. "Pasal 107 a dan seterusnya adalah sistem yuridis yang mengawal upaya-upaya perubahan Pancasila menjadi sebuah tindak pidana politik. Pimpinan DPR atau siapapun pengambil keputusan harus disadarkan RUU HIP terutama substansinya justru akan memecah belah bangsa," kata dia.
(cip)
tulis komentar anda