Soal Reshuffle, Rasional tapi Jangan Emosional

Selasa, 30 Juni 2020 - 07:00 WIB
Dalam perspektif pemerintahan yang efektif, reshuffle adalah keniscayaan. Ilustrasi/SINDOnews
LUAPAN kemarahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada para pembantunya di Kabinet Kerja hingga mengancam akan mencopot mereka membuat kita terperangah. Kejengkelan seorang pemimpin negeri yang disebarkan via saluran YouTube resmi Sekretariat Presiden, Minggu (28/6) itu menyadarkan kepada publik bahwa kondisi pemerintahan sejatinya sedang tidak baik-baik saja.

Di saat seseorang, termasuk Presiden Jokowi, yang dalam perspektif komunikasi atau psikologi mengalami cognitive dissonance, tak berlebihan jika dihadapkan pada situasi yang tidak pasti. Harapan dan program Jokowi banyak yang tidak bisa menjadi kenyataan. Di tengah ketidakstabilan kognisi itu, kerap kali unsur emosional bermunculan. Tak salah kiranya, sebagai manusia biasa, Presiden Jokowi dalam channel itu tampak bingung, resah, marah, jengkel, dan sebagainya.

Presiden Jokowi sebenarnya juga tidak sendiri mengalami kegundahan itu. Mayoritas rakyat Indonesia yang memberikan amanah besar kepadanya juga tengah dihadapkan perasaan-perasaan serupa. Di tengah pandemi ini banyak sekali rakyat mendengar, melihat, dan merasakan kebijakan nan membingungkan. Alih-alih memberikan ketenangan dan kemudahan, beberapa regulasi yang dibuat pembantu Jokowi itu justru saling bertentangan, bertabrakan, dan cenderung mementingkan kelompok atau sektor tertentu.

Semua pantas marah. Semua pantas jengkel. Apalagi di lapangan, kebijakan tersebut seolah macan ompong. Kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), misalnya, tampak hanya aturan-aturan di atas kertas. Di lapangan tampak menjadi formalitas. Kebijakan yang tak mampu menjangkar (anchoring ) publik inilah bisa jadi sebab-musabab PSBB tak pernah efektif. Di berbagai daerah, kebijakan itu diperpanjang dan diperpanjang terus hingga kapan tanpa ada kepastian.



Sekali lagi, kegeraman Jokowi adalah manusiawi. Kemarahan ini setidaknya berhasil mengusik dan melecut kinerja pembantunya untuk lebih bekerja keras di saat pandemi Covid-19. Di sisi lain, kejengkelan yang dipublikasikan ini menjadi bentuk kapabilitas simbolik yang tepat untuk mencitrakan bahwa Presiden benar-benar bekerja serius, terutama dalam mengawasi kabinet yang muaranya untuk keselamatan dan kesejahteraan rakyat.

Sebagai presiden, Jokowi juga berhak melakukan evaluasi. Pun jika harus melakukan perombakan atau reshuffle kabinet. Dalam perspektif pemerintahan yang efektif, reshuffle adalah keniscayaan. Selain diizinkan secara konstitusi, reshuffle dimaknai sebagai ikhtiar baru untuk menata jalannya pemerintah agar makin kondusif. Ikhtiar-ikhtiar itu harus berpijak pada kepentingan publik, bukan semata politis atau ekonomis.

Reshuffle juga harus benar-benar berbasis evaluasi yang objektif. Jangan sampai reshuffle didasari ketidaksukaan secara pribadi Presiden terhadap menterinya, kepala badan, atau lembaga. Kesadaran dan pijakan ini penting. Sebab di tengah pandemi ini sejatinya semua dihadapkan kondisi yang tak siap dan penuh misteri. Situasi inilah yang membuat kerawanan di ranah kognisi. Tak berlebihan, kebijakan-kebijakan yang lahir berulang kali bertabrakan, bertentangan, dan sebagainya. Wajar pula, karena tanpa bekal mitigasi yang mumpuni, semua masih meraba-raba. Pun, bisa jadi situasi sama tengah dialami Presiden.

Kinerja sejumlah anggota kabinet yang masih di bawah performa adalah fakta. Kelemahan ini jangan sampai berlarut-larut karena rakyat yang akan merasakan dan mungkin menjadi korban. Namun, low performance ini harus dirunut betul. Benarkah kesalahan itu ditimpakan kepada menteri? Jika soal anggaran yang mampat, misalnya, benarkah aliran dana dari bendahara negara lancar. Benarkah aturan teknis pencairan sudah memberikan kemudahan?

Bukankah pula para menteri itu memiliki menteri koordinator (menko) masing-masing? Sudahkah menko menata dan mengawal betul program, dengan tak sibuk mengurus proyek politis? Sudahkah mereka menerjemahkan dengan betul arahan Presiden?

Sederet pertanyaan-pertanyaan itu harus dijawab dengan rasional. Sebab jika itu diabaikan, sangat mungkin Presiden akan larut dalam sisi emosional dalam reshuffle kelak. Kalau itu terjadi, para menteri bisa menjadi korban dan memicu masalah baru di lain waktu.
(ras)
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More