Dicatat: Nama dan Puisi
Senin, 08 Agustus 2022 - 09:42 WIB
Kini, di hadapan kita ada buku berjudul Anicca. Nama tercantum di buku: Liswindio Apendicaesar. Nama mungkin belum akrab bagi para pembaca puisi di seantero Indonesia. Nama belum tenar tapi tak boleh disepelekan. Ia menantikan ada ulasan dan penempatan dalam arus perpuisian Indonesia mutakhir meski tak ada lagi HB Jassin, Ajip Rosidi, dan Linus Suryadi Ag. Ia berhak ditaruh dalam keramaian puisi di Indonesia abad XXI, tapi “disepikan” gara-gara jumlah resensi dan kritik selalu sedikit.
Liswindio menulis puisi berjudul “Ehipassika”. Kita membaca dengan ketenangan: Setelah menempuh delapan puluh delapan ribu jalan/ pertapaan, Brahma Sahampati akhirnya menemukan Buddha/ dan membunuhnya./ Setelahnya, ia tak lagi harus beranjali memohon darma,/ dan debu di matanya sendiri akhirnya bersih/ oleh darah yang mengucur dari air mata Tathagata. Kita rampung membaca dan bingung. Kesederhanaan terbaca tapi ketokohan dan penggunaan diksi “asing” mengantar kita membuka buku-buku atau mencari jawab dari orang lain. Si penggubah puisi tak bermaksud merepotkan.
Di situ, ada puisi-puisi mengenai (ajaran) Buddha dan pengalaman berkaitan dengan Buddha. “Kumpulan puisi ini adalah rangkuman perjalanan saya mengenal dan mempelajari Dhamma,” tulis Liswindio. Kita mungkin terkejut dan takjub sambil membuka lagi lembaran-lembaran perpuisian masa lalu. Sejak awal abad XX, Kwee Tek Hoay rajin menggubah cerita dan drama. Ia menerbitkan ratusan buku. Ia diakui pemuka dalam sastra peranakan Tionghoa. Ia pun menekuni beragam agama, ditulis menjadi buku-buku kecil. Ia termasuk menulis tentang Buddha meski tak memberi panggilan untuk menggubah puisi-puisi mengenai Buddha.
Pada situasi dan pengalaman berbeda, Sanusi Pane turut dalam arus sastra masa 1930-an dengan menghadirkan diksi dan imajinasi mengenai Hindu. Ia berkiblat ke Timur, sadar dengan agama-agama atau lokalitas untuk digubah dalam puisi dan cerita. Kecenderungan itu terbaca di “pinggiran”, setelah penambahan jumlah pengarang dengan gubahan-gubahan sering bernafaskan Islam dan Nasrani.
Gejolak itu diramaikan dengan esai-esai dan beragam seminar pada masa 1970-an dan 1980-an. Goenawan Mohamad mencatat itu “sastra-keagamaan” dengan sekian konsekuensi belum tentu religius. Pada pencatatan dan pengamatan mendalam, YB Mangunwijaya menghasilkan esai-esai terbukukan dengan judul Sastra dan Religiositas.
Di perpuisian, kita bisa membaca lagi buku berjudul Biksu Tak Berjubah (2004) gubahan Sitor Situmorang. Kunjungan ke Candi Borobudur dan sekian pura di Bali memungkinkan Sitor Situmorang menggubah puisi-puisi berselerakan religiositas. Di situ, kita membaca dengan diksi dan citarasa Buddha dan Hindu.
Pada 2003, Sitor Situmorang menulis: Sempurna rupa/ Dalam wujud Borobudur/ Sarat hikmah/ penghayatan jatidiri/ Alam baka/ dalam rupa/ Roh dalam alamraya/ Ilham-mengilhami dalam puja. Pada saat kita membaca puisi-puisi gubaha Liswindio bakal teralami hal-hal melampaui dari puisi-puisi dipersembahkan Sitor Situmorang. Pengalaman terlalu berbeda dan kefasihan berbahasa tampak menguat dalam puisi-puisi Liswindio.
Pada halaman-halaman berbeda, Liswindio menuliskan ketokohan dan perjalanan. Ia tak berkutat dalam keterbatasan untuk memberi puisi-puisi agar terbaca umat sastra di Indonesia. Ia belum ingin dalam kekhasan atau ketetapan. Buku puisi awal mungkin pengenalan atas ketekunan, kemauan, dan “perjanjian” dalam ketabahan berpuisi.
Kita menikmati puisi digubah pada 2020 berjudul “Jarak Doa”. Liswindio sadar berada dalam gerbong belakang setelah para penggubah puisi di Indonesia memberi ribuan puisi bertema doa. Orang-orang selalu teringat doa dalam puisi-puisi gubahan Chairil Anwar, Rendra, Subagio Sastrowardoyo, Sapardi Djoko Damono, Emha Ainun Nadjib, dan Joko Pinurbo. Liswindio pun bersahaja dalam pengisahan manusia dan doa: Manusia terjebak di dalam doa orangtuanya dan rasa takut/ anak-anak akan kehilangan, sedang hidup terus memintal jarak/ sejauh kata-kata yang tak lagi dapat menghibur gelisah.
Pada 1974, Slamet Sukirnanto berseru: “… saya akan menyampaikan sebuah karikatur yang menggambarkan betapa makin tidak sehatnya ruang kehidupan sastra Indonesia – khususnya kehidupan puisi Indonesia, yang menurut pengamatan saya selama ini – mengalami semacam polusi dan bahkan manipulasi-manipulasi sehingga menyebabkan sesak tidak sehat, tidak jelas dan sekaliannya brengsek!” Ia memberi kemarahan dan lelucon. Perpuisian di Indonesia memang berat dan “brengsek”, sejak pergolakan dengan “pengadilan” masa 1970-an sampai sekarang.
Liswindio menulis puisi berjudul “Ehipassika”. Kita membaca dengan ketenangan: Setelah menempuh delapan puluh delapan ribu jalan/ pertapaan, Brahma Sahampati akhirnya menemukan Buddha/ dan membunuhnya./ Setelahnya, ia tak lagi harus beranjali memohon darma,/ dan debu di matanya sendiri akhirnya bersih/ oleh darah yang mengucur dari air mata Tathagata. Kita rampung membaca dan bingung. Kesederhanaan terbaca tapi ketokohan dan penggunaan diksi “asing” mengantar kita membuka buku-buku atau mencari jawab dari orang lain. Si penggubah puisi tak bermaksud merepotkan.
Di situ, ada puisi-puisi mengenai (ajaran) Buddha dan pengalaman berkaitan dengan Buddha. “Kumpulan puisi ini adalah rangkuman perjalanan saya mengenal dan mempelajari Dhamma,” tulis Liswindio. Kita mungkin terkejut dan takjub sambil membuka lagi lembaran-lembaran perpuisian masa lalu. Sejak awal abad XX, Kwee Tek Hoay rajin menggubah cerita dan drama. Ia menerbitkan ratusan buku. Ia diakui pemuka dalam sastra peranakan Tionghoa. Ia pun menekuni beragam agama, ditulis menjadi buku-buku kecil. Ia termasuk menulis tentang Buddha meski tak memberi panggilan untuk menggubah puisi-puisi mengenai Buddha.
Pada situasi dan pengalaman berbeda, Sanusi Pane turut dalam arus sastra masa 1930-an dengan menghadirkan diksi dan imajinasi mengenai Hindu. Ia berkiblat ke Timur, sadar dengan agama-agama atau lokalitas untuk digubah dalam puisi dan cerita. Kecenderungan itu terbaca di “pinggiran”, setelah penambahan jumlah pengarang dengan gubahan-gubahan sering bernafaskan Islam dan Nasrani.
Gejolak itu diramaikan dengan esai-esai dan beragam seminar pada masa 1970-an dan 1980-an. Goenawan Mohamad mencatat itu “sastra-keagamaan” dengan sekian konsekuensi belum tentu religius. Pada pencatatan dan pengamatan mendalam, YB Mangunwijaya menghasilkan esai-esai terbukukan dengan judul Sastra dan Religiositas.
Di perpuisian, kita bisa membaca lagi buku berjudul Biksu Tak Berjubah (2004) gubahan Sitor Situmorang. Kunjungan ke Candi Borobudur dan sekian pura di Bali memungkinkan Sitor Situmorang menggubah puisi-puisi berselerakan religiositas. Di situ, kita membaca dengan diksi dan citarasa Buddha dan Hindu.
Pada 2003, Sitor Situmorang menulis: Sempurna rupa/ Dalam wujud Borobudur/ Sarat hikmah/ penghayatan jatidiri/ Alam baka/ dalam rupa/ Roh dalam alamraya/ Ilham-mengilhami dalam puja. Pada saat kita membaca puisi-puisi gubaha Liswindio bakal teralami hal-hal melampaui dari puisi-puisi dipersembahkan Sitor Situmorang. Pengalaman terlalu berbeda dan kefasihan berbahasa tampak menguat dalam puisi-puisi Liswindio.
Pada halaman-halaman berbeda, Liswindio menuliskan ketokohan dan perjalanan. Ia tak berkutat dalam keterbatasan untuk memberi puisi-puisi agar terbaca umat sastra di Indonesia. Ia belum ingin dalam kekhasan atau ketetapan. Buku puisi awal mungkin pengenalan atas ketekunan, kemauan, dan “perjanjian” dalam ketabahan berpuisi.
Kita menikmati puisi digubah pada 2020 berjudul “Jarak Doa”. Liswindio sadar berada dalam gerbong belakang setelah para penggubah puisi di Indonesia memberi ribuan puisi bertema doa. Orang-orang selalu teringat doa dalam puisi-puisi gubahan Chairil Anwar, Rendra, Subagio Sastrowardoyo, Sapardi Djoko Damono, Emha Ainun Nadjib, dan Joko Pinurbo. Liswindio pun bersahaja dalam pengisahan manusia dan doa: Manusia terjebak di dalam doa orangtuanya dan rasa takut/ anak-anak akan kehilangan, sedang hidup terus memintal jarak/ sejauh kata-kata yang tak lagi dapat menghibur gelisah.
Pada 1974, Slamet Sukirnanto berseru: “… saya akan menyampaikan sebuah karikatur yang menggambarkan betapa makin tidak sehatnya ruang kehidupan sastra Indonesia – khususnya kehidupan puisi Indonesia, yang menurut pengamatan saya selama ini – mengalami semacam polusi dan bahkan manipulasi-manipulasi sehingga menyebabkan sesak tidak sehat, tidak jelas dan sekaliannya brengsek!” Ia memberi kemarahan dan lelucon. Perpuisian di Indonesia memang berat dan “brengsek”, sejak pergolakan dengan “pengadilan” masa 1970-an sampai sekarang.
tulis komentar anda