PLN Punya Utang Rp500 Triliun, PKS Desak BPK Audit Investigatif
Senin, 29 Juni 2020 - 14:26 WIB
JAKARTA - PT PLN (Persero) dikabarkan memiliki utang hingga Rp500 triliun. Nilai utang yang sangat fantastis itu dinilai tidak masuk akal dan membahayakan keberadaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut. Karena itu, anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit investigatif terhadap keuangan PLN .
"Dari hasil audit tersebut, baru dapat dibangun rekomendasi konstruktif dan sistematis untuk merancang strategi dan langkah penyehatan PLN ke depan. Tidak cukup sekadar dengan langkah instan setiap tahun, berupa permintaan suntikan dana kompensasi dari pemerintah," kata Mulyanto dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Senin (29/6/2020).
(Baca: Utang Bengkak Rp500 Triliun, Dirut: PLN Tidak Sehat)
Dalam kondisi keuangan yang tertekan seperti sekarang, PLN sebaiknya melaksanakan renegosiasi soal klausul TOP (take or pay) dengan pembangkit listrik swasta. TOP adalah kesanggupan PLN membeli berapapun jumlah listrik yang dihasilkan oleh pembangkit swasta untuk selanjutnya disalurkan kepada pelanggan.
Menurut dia, klasul itu sangat memberatkan dan bisa menjadi salah satu penyebab kacaunya keuangan PLN. Maka itu PLN perlu mengajak produsen listrik swasta membangun kesetiakawanan menanggung beban atas kondisi perlistrikan yang drop karena musibah nasional Covid-19.
Mulyanto mengatakan, PLN harus berani meminta penyesuaian kesepakatan kerjasama dengan produsen listrik swasta karena angka-angka asumsi dalam perjanjian tidak sesuai kenyataan. Dia melanjutkan, Asumsi pertumbuhan listrik yang semula diperkirakan tumbuh mencapai 7%, nyatanya tidak pernah beranjak lebih dari 5%.
"Demand listrik industri yang terus turun, karena deindustrialisasi dini, semakin anjlok karena Covid-19. Maka praktis, yang kemudian terjadi adalah surplus listrik terutama Jawa-Bali," kata wakil ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Bidang Industri dan Pembangunan ini.
(Baca: Politikus PKS: Butuh Tindakan Cepat dari Pemimpin, Bukan Sekadar Pidato)
Dia menilai perencanaan bisnis dan pengelolaan keuangan PLN kurang matang. Terbukti saat ini terjadi oversupply dan menekan keuangan PLN dari dua sisi: Pertama, sisi investasi yang tidak tepat dengan utang luar negeri yang berbasis dolar dan kedua, pembayaran atas perjanjian pembelian listrik swasta yang sebenarnya tidak diperlukan, namun harus dikeluarkan karena terkena penalti TOP.
Belum lagi, efisiensi dalam Biaya Pokok Pembangkitan (BPP) listrik PLN yang masih belum sukses, terbukti BPP dari pembangkit listrik PLN ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan BPP dari listrik swasta.
"Maka, memang seharusnya PLN mengerem implementasi skenario 35.000 MWe disesuaikan dengan pertumbuhan permintaan listrik. Proyek pembangunan investasi infrastruktur pembangkitan perlu dievaluasi ulang," pungkasnya.
"Dari hasil audit tersebut, baru dapat dibangun rekomendasi konstruktif dan sistematis untuk merancang strategi dan langkah penyehatan PLN ke depan. Tidak cukup sekadar dengan langkah instan setiap tahun, berupa permintaan suntikan dana kompensasi dari pemerintah," kata Mulyanto dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Senin (29/6/2020).
(Baca: Utang Bengkak Rp500 Triliun, Dirut: PLN Tidak Sehat)
Dalam kondisi keuangan yang tertekan seperti sekarang, PLN sebaiknya melaksanakan renegosiasi soal klausul TOP (take or pay) dengan pembangkit listrik swasta. TOP adalah kesanggupan PLN membeli berapapun jumlah listrik yang dihasilkan oleh pembangkit swasta untuk selanjutnya disalurkan kepada pelanggan.
Menurut dia, klasul itu sangat memberatkan dan bisa menjadi salah satu penyebab kacaunya keuangan PLN. Maka itu PLN perlu mengajak produsen listrik swasta membangun kesetiakawanan menanggung beban atas kondisi perlistrikan yang drop karena musibah nasional Covid-19.
Mulyanto mengatakan, PLN harus berani meminta penyesuaian kesepakatan kerjasama dengan produsen listrik swasta karena angka-angka asumsi dalam perjanjian tidak sesuai kenyataan. Dia melanjutkan, Asumsi pertumbuhan listrik yang semula diperkirakan tumbuh mencapai 7%, nyatanya tidak pernah beranjak lebih dari 5%.
"Demand listrik industri yang terus turun, karena deindustrialisasi dini, semakin anjlok karena Covid-19. Maka praktis, yang kemudian terjadi adalah surplus listrik terutama Jawa-Bali," kata wakil ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Bidang Industri dan Pembangunan ini.
(Baca: Politikus PKS: Butuh Tindakan Cepat dari Pemimpin, Bukan Sekadar Pidato)
Dia menilai perencanaan bisnis dan pengelolaan keuangan PLN kurang matang. Terbukti saat ini terjadi oversupply dan menekan keuangan PLN dari dua sisi: Pertama, sisi investasi yang tidak tepat dengan utang luar negeri yang berbasis dolar dan kedua, pembayaran atas perjanjian pembelian listrik swasta yang sebenarnya tidak diperlukan, namun harus dikeluarkan karena terkena penalti TOP.
Belum lagi, efisiensi dalam Biaya Pokok Pembangkitan (BPP) listrik PLN yang masih belum sukses, terbukti BPP dari pembangkit listrik PLN ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan BPP dari listrik swasta.
"Maka, memang seharusnya PLN mengerem implementasi skenario 35.000 MWe disesuaikan dengan pertumbuhan permintaan listrik. Proyek pembangunan investasi infrastruktur pembangkitan perlu dievaluasi ulang," pungkasnya.
(muh)
tulis komentar anda