Hukum Indonesia Dinilai Masih Bersifat Kelembagaan
Jum'at, 24 Juni 2022 - 15:09 WIB
Sehingga, proses hukum yang berjalan tidak sia-sia, harus dibatalkan, ditinjau ulang, dan revisi. Sebab, dia berpendapat bahwa hukum yang tidak efisien bakal menambah biaya transaksi.
“Biaya transaksi yang rendah dapat terjamin bila hukum berkualitas baik, peradilan dan birokrasi akan memiliki sarana yang baik seandainya aturan-aturannya juga baik,” kata Direktur Solusi dan Advokasi Institut (SA Institut) ini.
Dalam kesempatan itu, dia mengapresiasi langkah pemerintah untuk mendorong peningkatan ekonomi, kemudahan berbagai macam birokrasi maupun regulasi. Salah satunya dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang memungkinkan pembentukan perusahaan perseorangan.
Dengan demikian, usah mikro, kecil, dan menengah (UMKM) itu bisa eksis dan bisa bersaing. Dia juga mengapresiasi Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2022 Tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem.
“Terlepas dari apresiasi tersebut menunjukkan indikasi bahwa negara ini masih terjadi kemiskinan, kesenjangan sosial, ketidakadilan,” imbuhnya.
Dalam perspektif hukum, menurutnya, perlu adanya upaya sungguh-sungguh dan tidak sekadar jargon dalam memberantas mafia peradilan, sehingga peradilan berlangsung secara ekonomis. Dia mengatakan, mestinya penyidik, penuntut, dan hakim ketika memutuskan suatu perkara berpikir bagaimana biaya perkaranya, kondisi lapasnya, beban negara, dan sebagainya.
Pasalnya, banyak anggaran negara yang tersedot untuk mengatasi masalah hukum misalnya biaya makan di lapas dan sebagainya. Dalam konteks struktur hukum ini, dirinya berharap agar penegakan hukum ini berlangsung transparan, akuntabel, berkualitas, serta tidak memihak pada suatu pihak, tetapi berpihak pada kebenaran keadilan dan masyarakat.
“Penegak hukum ketika tindakan hukum harus perhatikan aspek ekonomi, harus berpikir keekonomian supaya negara ini tidak memiliki beban yang besar untuk menyelesaikan masalah hukum," imbuhnya.
Menurut Suparji, akan lebih baik misalnya uang-uang untuk sidang dan lapas untuk beasiswa sekolah, membangun jalan, dan sebagainya. “Ini harus menjadi sebuah kesadaran nyata bagi kalangan penegak hukum sehingga tidak sekadar menjalankan tugas dan kewenangan tanpa berpikir beban negara,” ungkapnya.
Dari sisi solusi perspektif budaya hukum, dirinya meminta agar penegakan hukum yang berlebihan atau hukum yang saling melapor dicegah. Hal tersebut, sambung dia, tidak lepas fenomena reformasi dengan era keterbukaan.
“Biaya transaksi yang rendah dapat terjamin bila hukum berkualitas baik, peradilan dan birokrasi akan memiliki sarana yang baik seandainya aturan-aturannya juga baik,” kata Direktur Solusi dan Advokasi Institut (SA Institut) ini.
Dalam kesempatan itu, dia mengapresiasi langkah pemerintah untuk mendorong peningkatan ekonomi, kemudahan berbagai macam birokrasi maupun regulasi. Salah satunya dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang memungkinkan pembentukan perusahaan perseorangan.
Dengan demikian, usah mikro, kecil, dan menengah (UMKM) itu bisa eksis dan bisa bersaing. Dia juga mengapresiasi Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2022 Tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem.
“Terlepas dari apresiasi tersebut menunjukkan indikasi bahwa negara ini masih terjadi kemiskinan, kesenjangan sosial, ketidakadilan,” imbuhnya.
Dalam perspektif hukum, menurutnya, perlu adanya upaya sungguh-sungguh dan tidak sekadar jargon dalam memberantas mafia peradilan, sehingga peradilan berlangsung secara ekonomis. Dia mengatakan, mestinya penyidik, penuntut, dan hakim ketika memutuskan suatu perkara berpikir bagaimana biaya perkaranya, kondisi lapasnya, beban negara, dan sebagainya.
Pasalnya, banyak anggaran negara yang tersedot untuk mengatasi masalah hukum misalnya biaya makan di lapas dan sebagainya. Dalam konteks struktur hukum ini, dirinya berharap agar penegakan hukum ini berlangsung transparan, akuntabel, berkualitas, serta tidak memihak pada suatu pihak, tetapi berpihak pada kebenaran keadilan dan masyarakat.
“Penegak hukum ketika tindakan hukum harus perhatikan aspek ekonomi, harus berpikir keekonomian supaya negara ini tidak memiliki beban yang besar untuk menyelesaikan masalah hukum," imbuhnya.
Menurut Suparji, akan lebih baik misalnya uang-uang untuk sidang dan lapas untuk beasiswa sekolah, membangun jalan, dan sebagainya. “Ini harus menjadi sebuah kesadaran nyata bagi kalangan penegak hukum sehingga tidak sekadar menjalankan tugas dan kewenangan tanpa berpikir beban negara,” ungkapnya.
Dari sisi solusi perspektif budaya hukum, dirinya meminta agar penegakan hukum yang berlebihan atau hukum yang saling melapor dicegah. Hal tersebut, sambung dia, tidak lepas fenomena reformasi dengan era keterbukaan.
tulis komentar anda