Hukum Indonesia Dinilai Masih Bersifat Kelembagaan

Jum'at, 24 Juni 2022 - 15:09 WIB
loading...
Hukum Indonesia Dinilai...
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia Suparji Ahmad dalam orasi ilmiahnya di Kampus Universitas Al-Azhar Indonesia, Jakarta, Kamis (23/6/2022). Foto/ist
A A A
JAKARTA - Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia Suparji Ahmad menilai hukum di Indonesia masih bersifat kelembagaan dan hanya instrumental. Dia menambahkan, pada akhirnya hukum di Indonesia belum mampu mewujudkan keadilan yang sejati.

"Fenomena tebang pilih dinodai ketidakadilan bahwa ada yang menyatakan hukum dan keadilan seperti sudah bercerai," kata Prof Suparji Ahmad dalam orasi ilmiah pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia di Kampus Universitas Al-Azhar Indonesia, Jakarta, Kamis (23/6/2022).

Kontekstualisasi nilai keadilan sosial dalam sistem hukum Indonesia melalui pendekatan economic analisys of law menjadi tema orasi ilmiahnya. Suparji Ahmad mengambil tema itu berdasarkan beberapa fakta.





Pertama, dalam Al-quran sangat serius memperhatikan suatu keadilan yang memperolehnya bukan berdasarkan perasaan. Kedua, dalam Pancasila sebagai dasar negara mensyaratkan keadilan sosial harus diwujudkan secara nyata dalam konteks menjaga rasa kemanusiaan.

Ketiga, konstitusi mengamanatkan Indonesia sebagai negara hukum dalam rangka mewujudkan kesejahteraan. Keempat, PBB pada 26 November 2007 mendeklarasi bahwa 20 Februari dijadikan sebagai hari keadilan sosial sedunia, dengan tujuan mengajak untuk mengatasi masalah kemiskinan, pengucilan, ketidaksetaraan gender, pengangguran, hak asasi manusia, dan perlindungan sosial.

Kelima, sudah banyak ahli-ahli hukum yang menciptakan teori-teori tentang keadilan. Keenam, berdasarkan kenyataan sosiologis terjadi fenomena penegakan hukum yang mencederai rasa keadilan masyarakat.



Dirinya pun memberikan solusi permasalahan tersebut melalui pendekatan economic analisys of law, agar aturan hukum tidak tumpang tindih dan saling bertentangan. Menurutnya, para penyusun Undang-Undang (UU) maupun para penyusun kebijakan, harusnya berpikir keefektifitasan dan efisiensi.

Sehingga, proses hukum yang berjalan tidak sia-sia, harus dibatalkan, ditinjau ulang, dan revisi. Sebab, dia berpendapat bahwa hukum yang tidak efisien bakal menambah biaya transaksi.

“Biaya transaksi yang rendah dapat terjamin bila hukum berkualitas baik, peradilan dan birokrasi akan memiliki sarana yang baik seandainya aturan-aturannya juga baik,” kata Direktur Solusi dan Advokasi Institut (SA Institut) ini.

Dalam kesempatan itu, dia mengapresiasi langkah pemerintah untuk mendorong peningkatan ekonomi, kemudahan berbagai macam birokrasi maupun regulasi. Salah satunya dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang memungkinkan pembentukan perusahaan perseorangan.

Dengan demikian, usah mikro, kecil, dan menengah (UMKM) itu bisa eksis dan bisa bersaing. Dia juga mengapresiasi Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2022 Tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem.

“Terlepas dari apresiasi tersebut menunjukkan indikasi bahwa negara ini masih terjadi kemiskinan, kesenjangan sosial, ketidakadilan,” imbuhnya.

Dalam perspektif hukum, menurutnya, perlu adanya upaya sungguh-sungguh dan tidak sekadar jargon dalam memberantas mafia peradilan, sehingga peradilan berlangsung secara ekonomis. Dia mengatakan, mestinya penyidik, penuntut, dan hakim ketika memutuskan suatu perkara berpikir bagaimana biaya perkaranya, kondisi lapasnya, beban negara, dan sebagainya.

Pasalnya, banyak anggaran negara yang tersedot untuk mengatasi masalah hukum misalnya biaya makan di lapas dan sebagainya. Dalam konteks struktur hukum ini, dirinya berharap agar penegakan hukum ini berlangsung transparan, akuntabel, berkualitas, serta tidak memihak pada suatu pihak, tetapi berpihak pada kebenaran keadilan dan masyarakat.

“Penegak hukum ketika tindakan hukum harus perhatikan aspek ekonomi, harus berpikir keekonomian supaya negara ini tidak memiliki beban yang besar untuk menyelesaikan masalah hukum," imbuhnya.

Menurut Suparji, akan lebih baik misalnya uang-uang untuk sidang dan lapas untuk beasiswa sekolah, membangun jalan, dan sebagainya. “Ini harus menjadi sebuah kesadaran nyata bagi kalangan penegak hukum sehingga tidak sekadar menjalankan tugas dan kewenangan tanpa berpikir beban negara,” ungkapnya.

Dari sisi solusi perspektif budaya hukum, dirinya meminta agar penegakan hukum yang berlebihan atau hukum yang saling melapor dicegah. Hal tersebut, sambung dia, tidak lepas fenomena reformasi dengan era keterbukaan.

Di sisi lain, Suparji mengapresiasi adanya kesadaran hukum menyelesaikan melalui jalur hukum, tetapi jalur hukum akhirnya menjadi tempat untuk menyelesaikan yang mestinya budaya musyawarah atau memaafkan yang ditonjolkan.

“Saling lapor itu tadi, yang terpenting adalah bagaimana melakukan analisis efisiensi, analisis cost yang dikeluarkan,” tuturnya.

Suparji di akhir orasinya berpesan agar nilai-nilai ideologi Pancasila dan konstitusi ditegakkan. Sebab, menurut dia, hal tersebut merupakan bagian dari ibadah yang amanah.
(rca)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1203 seconds (0.1#10.140)