RUU HIP Berpotensi Timbulkan Konflik Antarnorma
Rabu, 24 Juni 2020 - 12:03 WIB
JAKARTA - Rancangan Undang-Undang tentang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) terus mendapatkan kritik dari banyak pihak, termasuk dari lembaga pengkajian hukum.
Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Universitas Islam Negeri (UII) menilai RUU HIP ini berpotensi menumbulkan konflik antarnorma dan kerancuan saat diuji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena, Pancasila merupakan sumber dari segala sumber pembentukan hukum.
Direktur PSHK UII Allan Fatchan Gani mengatakan, dalam penjelasan umum RUU HIP menerangkan RUU HIP dibentuk untuk mengisi adanya kekosongan UU yang mengatur terkait haluan ideologi Pancasila untuk menjadi pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara. Serta menjadi pedoman untuk menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan pembangunan nasional dan peraturan perundang-undangan. “Permasalahan yang kemudian muncul adalah, tepatkah suatu norma hukum yang mengandung materi muatan Pancasila diatur lewat undang-undang?,” kata Allan dalam siaran persnya, Rabu (24/6/2020). (Baca juga: Tolak RUU HIP, Ribuan Anggota PA 212 Siap Geruduk DPR/MPR)
Allan menjelaskan, dalam teori hierarki peraturan perundang-undangan memberikan gambaran bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, di mana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai tidak dapat ditelusuri lebih lanjut. Jika dikaitkan dengan teori Hans Nawiasky yang ditegaskan oleh A. Hamid S Attamimi, Pancasila merupakan staatsfundamentalnorm yang berkedudukan sebagai norma hukum tertinggi dalam sebuah negara sehingga, menjadi sumber pembentukan konstitusi.
“Sedangkan, UU dapat digolongkan sebagai Formellgesetz yang berkedudukan sebagai norma yang lebih konkret, rinci, dapat langsung berlaku di masyarakat, serta memuat norma hukum yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari staatsgrundgesetz atau Undang-Undang Dasar (UUD) Ketentuan ini juga ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3),” paparnya. (Baca juga: Soal RUU HIP, SBY: Jangan Sampai Ada Ideological Clash dan Perpecahan Bangsa)
Kemudian, lanjut dia, penjabaran nilai-nilai Pancasila melalui RUU HIP berpotensi menimbulkan konflik antar norma baik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Hal ini karena, Pancasila memiliki kedudukan sebagai sumber segala sumber hukum negara, termasuk sumber bagi segala UU yang ada. Implikasinya, penjabaran nilai-nilai pancasila yang diatur lewat undang-undang juga menjadi pedoman bagi pembentukan UU yang lain.
“Permasalahan yang kemudian muncul adalah, bagaimana jika ada suatu undang-undang yang tidak sesuai dengan ketentuan penjabaran nilai-nilai Pancasila yang akan diatur dalam UU HIP? Penentuan terkait undang-undang mana yang digunakan akan menjadi masalah yang berpotensi terjadi. Hal ini karena tidak ada suatu lembaga otoritatif yang berwenang menentukan kedudukan suatu UU,” kata Allan. (Baca juga info grafis: Ini Isi RUU HIP yang Memicu Kontroversi dan Ditolak Ramai-Ramai)
Allan melanjutkan, RUU HIP bisa menimbulkan kerancuan saat di judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Karena, sistem hukum ketatanegaraan Indonesia menganut pola pengujian terpusat (centralized) yang meletakkan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 di MK sebagaimana Pasal 24C UUD 45, serta pengujian peraturan di bawah UU terhadap UUdi Mahkamah Agung (MA) sebagaimana Pasal 24A UUD 45.
“Artinya, RUU HIP jika nantinya disahkan menjadi UU berpotensi untuk dilakukan uji konstitutionalitas dan berpotensi juga bertentangan dengan UUD. Permasalahan yang kemudian muncul adalah, apakah UU HIP yang memuat penjabaran nilai-nilai pancasila dapat bertentangan dengan UUD? Padahal, pancasila memiliki kedudukan sebagai sumber dari segala sumber hukum, termasuk bagi UUD,” jelasnya.
Selain itu, dia menambahkan, Ketetapan MPR (TAP MPR) merupakan salah satu wujud peraturan perundang-undangan yang sah dan berlaku di Indonesia. Dalam Pasal 7 ayat (1) UU P3 mengatur bahwa TAP MPR memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibanding dengan UU atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Dan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme Leninisme tetap berlaku secara berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
“Oleh karena itu, dengan tidak dijadikannya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 sebagai dasar pembentukan RUU HIP jelas merupakan pengabaian hukum. Selain karena secara formil TAP MPR tersebut masih berlaku, substansinya juga relevan untuk ditegaskan dalam RUU HIP. Berdasarkan empat catatan di atas, maka PSHK FH UII memandang bahwa perlu dilakukan penghentian terhadap proses pembentukan RUU HIP sekaligus dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional,” tegasnya
Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Universitas Islam Negeri (UII) menilai RUU HIP ini berpotensi menumbulkan konflik antarnorma dan kerancuan saat diuji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena, Pancasila merupakan sumber dari segala sumber pembentukan hukum.
Direktur PSHK UII Allan Fatchan Gani mengatakan, dalam penjelasan umum RUU HIP menerangkan RUU HIP dibentuk untuk mengisi adanya kekosongan UU yang mengatur terkait haluan ideologi Pancasila untuk menjadi pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara. Serta menjadi pedoman untuk menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan pembangunan nasional dan peraturan perundang-undangan. “Permasalahan yang kemudian muncul adalah, tepatkah suatu norma hukum yang mengandung materi muatan Pancasila diatur lewat undang-undang?,” kata Allan dalam siaran persnya, Rabu (24/6/2020). (Baca juga: Tolak RUU HIP, Ribuan Anggota PA 212 Siap Geruduk DPR/MPR)
Allan menjelaskan, dalam teori hierarki peraturan perundang-undangan memberikan gambaran bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, di mana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai tidak dapat ditelusuri lebih lanjut. Jika dikaitkan dengan teori Hans Nawiasky yang ditegaskan oleh A. Hamid S Attamimi, Pancasila merupakan staatsfundamentalnorm yang berkedudukan sebagai norma hukum tertinggi dalam sebuah negara sehingga, menjadi sumber pembentukan konstitusi.
“Sedangkan, UU dapat digolongkan sebagai Formellgesetz yang berkedudukan sebagai norma yang lebih konkret, rinci, dapat langsung berlaku di masyarakat, serta memuat norma hukum yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari staatsgrundgesetz atau Undang-Undang Dasar (UUD) Ketentuan ini juga ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3),” paparnya. (Baca juga: Soal RUU HIP, SBY: Jangan Sampai Ada Ideological Clash dan Perpecahan Bangsa)
Kemudian, lanjut dia, penjabaran nilai-nilai Pancasila melalui RUU HIP berpotensi menimbulkan konflik antar norma baik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Hal ini karena, Pancasila memiliki kedudukan sebagai sumber segala sumber hukum negara, termasuk sumber bagi segala UU yang ada. Implikasinya, penjabaran nilai-nilai pancasila yang diatur lewat undang-undang juga menjadi pedoman bagi pembentukan UU yang lain.
“Permasalahan yang kemudian muncul adalah, bagaimana jika ada suatu undang-undang yang tidak sesuai dengan ketentuan penjabaran nilai-nilai Pancasila yang akan diatur dalam UU HIP? Penentuan terkait undang-undang mana yang digunakan akan menjadi masalah yang berpotensi terjadi. Hal ini karena tidak ada suatu lembaga otoritatif yang berwenang menentukan kedudukan suatu UU,” kata Allan. (Baca juga info grafis: Ini Isi RUU HIP yang Memicu Kontroversi dan Ditolak Ramai-Ramai)
Allan melanjutkan, RUU HIP bisa menimbulkan kerancuan saat di judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Karena, sistem hukum ketatanegaraan Indonesia menganut pola pengujian terpusat (centralized) yang meletakkan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 di MK sebagaimana Pasal 24C UUD 45, serta pengujian peraturan di bawah UU terhadap UUdi Mahkamah Agung (MA) sebagaimana Pasal 24A UUD 45.
“Artinya, RUU HIP jika nantinya disahkan menjadi UU berpotensi untuk dilakukan uji konstitutionalitas dan berpotensi juga bertentangan dengan UUD. Permasalahan yang kemudian muncul adalah, apakah UU HIP yang memuat penjabaran nilai-nilai pancasila dapat bertentangan dengan UUD? Padahal, pancasila memiliki kedudukan sebagai sumber dari segala sumber hukum, termasuk bagi UUD,” jelasnya.
Selain itu, dia menambahkan, Ketetapan MPR (TAP MPR) merupakan salah satu wujud peraturan perundang-undangan yang sah dan berlaku di Indonesia. Dalam Pasal 7 ayat (1) UU P3 mengatur bahwa TAP MPR memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibanding dengan UU atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Dan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme Leninisme tetap berlaku secara berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
“Oleh karena itu, dengan tidak dijadikannya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 sebagai dasar pembentukan RUU HIP jelas merupakan pengabaian hukum. Selain karena secara formil TAP MPR tersebut masih berlaku, substansinya juga relevan untuk ditegaskan dalam RUU HIP. Berdasarkan empat catatan di atas, maka PSHK FH UII memandang bahwa perlu dilakukan penghentian terhadap proses pembentukan RUU HIP sekaligus dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional,” tegasnya
(cip)
tulis komentar anda