Bulog Melintas Zaman
Sabtu, 11 Juni 2022 - 09:16 WIB
Pada puncak krisis, pada 1998 kebijakan beras diubah drastis: impor dibebaskan, termasuk oleh swasta. Selain pencabutan monopoli impor Bulog, subsidi pupuk juga dicabut. Untuk konsumen dirakit program OPK: program beras bersubsidi dengan target khusus, yakni warga rentan. Ini menandai perubahan dari subsidi umum (lewat operasi pasar) menjadi subsidi tertarget (targeted subsidy).
Meskipun banyak catatan, program OPK yang dimulai pada 1998 dinilai (LSM, perguruan tinggi dll) berhasil. Akan tetapi, kritik bertubi-tubi datang dari IMF dan Bank Dunia, yang diundang Indonesia membantu menangani krisis ekonomi. Lewat kajian ahli Indonesia dan AS, diketahui program OPK amat baik, terutama dari sisi makroekonomi: lebih cost-effective, membantu rumah tangga rawan pangan, dan memperkuat ketahanan pangan. Hasil kajian ini disebar ke sejumlah menteri dan institusi, serta diyakini jadi dasar meneruskan OPK.
Di internal Bulog, OPK dianggap sebelah mata. Tapi OPK yang kemudian jadi program tahunan itu jadi penyelamat saat outlet beras Bulog untuk PNS/TNI/Polri ditiadakan dan KLBI (kredit berbunga rendah dari BI) dicabut pada akhir 1999. Outlet OPK yang besar bisa menggantikan outlet beras Bulog untuk PNS/TNI/Polri.
Masalah baru muncul: di lapangan beras OPK diperebutkan banyak warga. Periode 1999-2000 ada banyak hasil riset tentang OPK oleh LSM, perguruan tinggi, dll. Rekomendasinya, sasaran OPK belum menggambarkan program yang jelas dan manajemen, terutama monitoring-evaluasi, lemah. Maka mulai 2002 OPK diubah jadi Raskin: Beras untuk Masyarakat Miskin. Nama ini selain menggambarkan sasaran, harapannya warga tak berebut beras untuk warga miskin. Berbagai penyempurnaan ditempuh. Akan tetapi, selama 14 tahun (2002-2016) Raskin, masalah 6 tepat (sasaran, waktu, jumlah, kualitas, harga, dan administrasi) tak bisa dipenuhi. Evolusi Raskin, mulai dari jumlah anggaran, sasaran hingga aneka praktik di lapangan dilacak komplet.
Raskin yang merupakan outlet beras Bulog (rerata 2,7-3 juta ton/tahun) diubah jadi Bantuan Pangan Nontunai (BPNT)/Program Sembako setelah ada rekomendasi KPK (agar mendesain ulang Raskin), Bank Dunia menyarankan diubah ke nontunai, dan Presiden Jokowi memutuskan agar diubah jadi nontunai. Mulai 2017 dan selesai 2019, Raskin/Rastra selesai masa transisi.
Lewat BPNT/Program Sembako, penerima bantuan tak lagi dapat beras, tapi transfer duit. Duit bisa dibelikan aneka pangan (beras, telur, dll) di outlet yang ditunjuk. Berasnya tidak lagi dari Bulog. Perubahan ini membuat kebijakan perberasan terintegrasi (pengadaan di hulu, pengelolaan di tengah, dan penyaluran di hilir) selama puluhan tahun berubah drastis: terbuka di hilirnya.
Perubahan Raskin/Rastra jadi BPNT/Program Sembako membuat 6 tepat tak lagi jadi isu. Tapi Raskin/Rastra tak berdiri sendiri. Dia ada pasangannya: perlindungan produsen (petani) dan konsumen. Kala outlet Raskin/Rastra hilang, pengadaan/pengadaan beras domestik menurun drastis dan petani tak terlindungi. Kasus harga gabah kering panen di petani dan harga gabah kering giling di penggilingan jatuh di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) kian masif dua tahun terakhir (2020-2021). Beras Bulog menumpuk tak tersalur dan potensial turun mutu/rusak.
Penyediaan outlet penyaluran pengganti bernama Ketersediaan Pasokan dan Stabilisasi Harga (KPSH) atau operasi pasar justru merusak pasar. Karena menyalahi prinsip operasi pasar, juga kembali mengulangi kesalahan subsidi umum. Di sisi lain, Bulog masih diwajibkan menyerap beras domestik dengan anggaran bank berbunga komersial. Perubahan ini bukan saja membuat operasional Bulog oleng, ketahanan pangan juga terancam. Secara politik, pemerintah bisa dipersalahkan karena dari aturan (ada UU, PP, Perpres dll) kebijakan perberasan masih terintegrasi.
Di sisi lain, BPNT/Program Sembako juga bukan tanpa masalah: harga beras lebih tinggi dari pasar, KPM tak bebas memilih, ada juga keluhan kualitas. Diketahui juga tak semua daerah selalu memutakhirkan data terpadu kesejahteraan sosial. Dibandingkan saat Bulog masih terlibat penuh dalam Raskin/Rastra (sebelum 2016) dan setelah tidak terlibat sama sekali (2020-2021), ada kecenderungan beras makin banyak: GKP, GKG jatuh, disparitas harga antarawilayah dan antarmusim kian tipis, penggilingan padi dan pedagang banyak yang bangkrut dll.
Bab ini merekomendasikan perlunya kembali mengintegrasikan kebijakan perberasan: hulu-tengah-hilir. Ada dua pilihan: membiayai semua anggaran pengadaan dalam rangka pengamanan HPP dan penggantian disposal stock yang terjadi. Atau kedua, mengintegrasikan kembali kebijakan perberasan dengan cara mengembalikan outlet beras Bulog untuk program BPNT/Program Sembako.
Meskipun banyak catatan, program OPK yang dimulai pada 1998 dinilai (LSM, perguruan tinggi dll) berhasil. Akan tetapi, kritik bertubi-tubi datang dari IMF dan Bank Dunia, yang diundang Indonesia membantu menangani krisis ekonomi. Lewat kajian ahli Indonesia dan AS, diketahui program OPK amat baik, terutama dari sisi makroekonomi: lebih cost-effective, membantu rumah tangga rawan pangan, dan memperkuat ketahanan pangan. Hasil kajian ini disebar ke sejumlah menteri dan institusi, serta diyakini jadi dasar meneruskan OPK.
Di internal Bulog, OPK dianggap sebelah mata. Tapi OPK yang kemudian jadi program tahunan itu jadi penyelamat saat outlet beras Bulog untuk PNS/TNI/Polri ditiadakan dan KLBI (kredit berbunga rendah dari BI) dicabut pada akhir 1999. Outlet OPK yang besar bisa menggantikan outlet beras Bulog untuk PNS/TNI/Polri.
Masalah baru muncul: di lapangan beras OPK diperebutkan banyak warga. Periode 1999-2000 ada banyak hasil riset tentang OPK oleh LSM, perguruan tinggi, dll. Rekomendasinya, sasaran OPK belum menggambarkan program yang jelas dan manajemen, terutama monitoring-evaluasi, lemah. Maka mulai 2002 OPK diubah jadi Raskin: Beras untuk Masyarakat Miskin. Nama ini selain menggambarkan sasaran, harapannya warga tak berebut beras untuk warga miskin. Berbagai penyempurnaan ditempuh. Akan tetapi, selama 14 tahun (2002-2016) Raskin, masalah 6 tepat (sasaran, waktu, jumlah, kualitas, harga, dan administrasi) tak bisa dipenuhi. Evolusi Raskin, mulai dari jumlah anggaran, sasaran hingga aneka praktik di lapangan dilacak komplet.
Raskin yang merupakan outlet beras Bulog (rerata 2,7-3 juta ton/tahun) diubah jadi Bantuan Pangan Nontunai (BPNT)/Program Sembako setelah ada rekomendasi KPK (agar mendesain ulang Raskin), Bank Dunia menyarankan diubah ke nontunai, dan Presiden Jokowi memutuskan agar diubah jadi nontunai. Mulai 2017 dan selesai 2019, Raskin/Rastra selesai masa transisi.
Lewat BPNT/Program Sembako, penerima bantuan tak lagi dapat beras, tapi transfer duit. Duit bisa dibelikan aneka pangan (beras, telur, dll) di outlet yang ditunjuk. Berasnya tidak lagi dari Bulog. Perubahan ini membuat kebijakan perberasan terintegrasi (pengadaan di hulu, pengelolaan di tengah, dan penyaluran di hilir) selama puluhan tahun berubah drastis: terbuka di hilirnya.
Perubahan Raskin/Rastra jadi BPNT/Program Sembako membuat 6 tepat tak lagi jadi isu. Tapi Raskin/Rastra tak berdiri sendiri. Dia ada pasangannya: perlindungan produsen (petani) dan konsumen. Kala outlet Raskin/Rastra hilang, pengadaan/pengadaan beras domestik menurun drastis dan petani tak terlindungi. Kasus harga gabah kering panen di petani dan harga gabah kering giling di penggilingan jatuh di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) kian masif dua tahun terakhir (2020-2021). Beras Bulog menumpuk tak tersalur dan potensial turun mutu/rusak.
Penyediaan outlet penyaluran pengganti bernama Ketersediaan Pasokan dan Stabilisasi Harga (KPSH) atau operasi pasar justru merusak pasar. Karena menyalahi prinsip operasi pasar, juga kembali mengulangi kesalahan subsidi umum. Di sisi lain, Bulog masih diwajibkan menyerap beras domestik dengan anggaran bank berbunga komersial. Perubahan ini bukan saja membuat operasional Bulog oleng, ketahanan pangan juga terancam. Secara politik, pemerintah bisa dipersalahkan karena dari aturan (ada UU, PP, Perpres dll) kebijakan perberasan masih terintegrasi.
Di sisi lain, BPNT/Program Sembako juga bukan tanpa masalah: harga beras lebih tinggi dari pasar, KPM tak bebas memilih, ada juga keluhan kualitas. Diketahui juga tak semua daerah selalu memutakhirkan data terpadu kesejahteraan sosial. Dibandingkan saat Bulog masih terlibat penuh dalam Raskin/Rastra (sebelum 2016) dan setelah tidak terlibat sama sekali (2020-2021), ada kecenderungan beras makin banyak: GKP, GKG jatuh, disparitas harga antarawilayah dan antarmusim kian tipis, penggilingan padi dan pedagang banyak yang bangkrut dll.
Bab ini merekomendasikan perlunya kembali mengintegrasikan kebijakan perberasan: hulu-tengah-hilir. Ada dua pilihan: membiayai semua anggaran pengadaan dalam rangka pengamanan HPP dan penggantian disposal stock yang terjadi. Atau kedua, mengintegrasikan kembali kebijakan perberasan dengan cara mengembalikan outlet beras Bulog untuk program BPNT/Program Sembako.
tulis komentar anda