Rokok: Mengingat Iklan, Mencatat Berita
Sabtu, 11 Juni 2022 - 08:23 WIB
Kita diajak melihat iklan Gudang Garam dimuat di majalah Matra edisi September 1994. Iklan memberi seruan bahwa rokok itu “selera pemberani”. Rokok bagi lelaki berani mencari tantangan dan membuktikan keperkasaan. Pilihan rokok menjamin mutu lelaki. Kita boleh mufakat atau meragu saja.
Seruan bertambah: “Pria Punya Selera”. Kata-kata itu milik Gudang Garam. Iklan merek Djarum Super mengajukan kata-kata: “Bukan Sembarang Pria!” Perbandingan kata-kata dari dua merek rokok kondang menghasilkan penjelasan: “Pria diharapkan mendapatkan legitimasi ‘kejantanan’ mereka lewat merek-merek rokok yang mereka pilih.” Kita tak menemukan penjelasan iseng penggunaan sebutan “pria”. Sebutan mungkin terasa mantap ketimbang “lelaki” atau “laki-laki”.
Kita bakal menemukan kaitan-kaitan erat iklan-iklan di majalah dengan membaca buku berukuran besar dengan sampul warna merah berjudul Tri Dasawarsa PT Gudang Garam (1988). Buku memuat sambutan-sambutan direktur dan para pejabat. Buku memuat foto-foto dan penjelasan resmi. Buku menjadi acuan bagi orang-orang mengamati iklan-iklan Gudang Garam di pelbagai majalah selama puluhan tahun. Buku penting meski tak digunakan dalam bahasan di Penebar Rayuan.
Di buku memuat dokumentasi masa 1990-an, iklan-iklan terpilih mendapat tafsiran-tafsiran singkat. Pembaca suka merokok mungkin khatam sebelum menghabiskan sebungkus rokok. Pengamatan atas iklan-iklan kadang terjelaskan dengan pengalaman masa remaja. Pembuat kliping membuka lagi masa lalu sambil menduga kebermaknaan iklan untuk publik masa 1990-an. Ia terpesona iklan-iklan Sampoerna Mild. Terpesona kata-kata. Sejak SD, ia sudah melihat iklan Sampoerna Mild bermain kata-kata: “bukan basa basi”, “gue berpikir karena itu gue tambah bingung”, “nanti juga lo paham.” Bermain kata-kata teringat publik untuk pemikiran, hiburan, atau ledekan.
Pembukaan masa lalu dengan iklan-iklan rokok ditambahi dengan mengingat berita-berita berurusan rokok dimuat di beragam majalah. Pembaca diajak mengingat para menteri di masa Orde Baru adalah perokok. Kita simak penjelasan: “Pada masa Orde Baru, foto menteri merokok tampil di media itu biasa saja. Media masih lazim memuat wawancara narasumber pejabat dengan pose sambil memegang sebatang rokok.” Di situ, ditampilkan contoh dua menteri: Sarwono Kusumaatmadja dan Moerdiono. Fuad Hassan tak tampak. Pada masa berbeda, kita susah menemukan adegan menteri merokok dalam acara publik atau saat menjadi narasumber di hadapan wartawan.
Kita diajak pula bertemu ulama. Semula, sosok itu suka merokok, selain suka menggubah puisi dan melukis. Berita mengenai KH A Mustofa Bisri (Gus Mus) berhenti merokok ditemukan dalam majalah Tempo, 13 Februari 2011. Keputusan berhenti tanpa mencari atau membuat alasan-alasan. Berhenti saja. Ia tak merasa aneh dengan berhenti merokok. Hari demi hari, Gus Mus tetap menulis dan melukis. Berita mengingatkan masa lalu sebagai perokok.
Kita membaca buku bukan untuk “bertengkar”. Perokok atau bukan perokok boleh membaca Penebar Rayuan. Buku berurusan iklan dan berita tak menghendaki terjadi sengketa klise gara-gara rokok. Kita membaca saja sambil mengenangkan majalah-majalah pernah mendokumentasi masa lalu. Kini, majalah cuma sedikit. Pembaca pun tak segetol masa lalu menikmati berita, kolom, dan iklan. Buku itu mengajak kita mengenang, tak mau kehilangan masa lalu. Begitu.
Judul : Penebar Rayuan: Iklan Rokok di Majalah Tahun 1990-an
Penulis : Widyanuari Eko Putra
Penerbit : Beruang Cipta Lestari
Seruan bertambah: “Pria Punya Selera”. Kata-kata itu milik Gudang Garam. Iklan merek Djarum Super mengajukan kata-kata: “Bukan Sembarang Pria!” Perbandingan kata-kata dari dua merek rokok kondang menghasilkan penjelasan: “Pria diharapkan mendapatkan legitimasi ‘kejantanan’ mereka lewat merek-merek rokok yang mereka pilih.” Kita tak menemukan penjelasan iseng penggunaan sebutan “pria”. Sebutan mungkin terasa mantap ketimbang “lelaki” atau “laki-laki”.
Kita bakal menemukan kaitan-kaitan erat iklan-iklan di majalah dengan membaca buku berukuran besar dengan sampul warna merah berjudul Tri Dasawarsa PT Gudang Garam (1988). Buku memuat sambutan-sambutan direktur dan para pejabat. Buku memuat foto-foto dan penjelasan resmi. Buku menjadi acuan bagi orang-orang mengamati iklan-iklan Gudang Garam di pelbagai majalah selama puluhan tahun. Buku penting meski tak digunakan dalam bahasan di Penebar Rayuan.
Di buku memuat dokumentasi masa 1990-an, iklan-iklan terpilih mendapat tafsiran-tafsiran singkat. Pembaca suka merokok mungkin khatam sebelum menghabiskan sebungkus rokok. Pengamatan atas iklan-iklan kadang terjelaskan dengan pengalaman masa remaja. Pembuat kliping membuka lagi masa lalu sambil menduga kebermaknaan iklan untuk publik masa 1990-an. Ia terpesona iklan-iklan Sampoerna Mild. Terpesona kata-kata. Sejak SD, ia sudah melihat iklan Sampoerna Mild bermain kata-kata: “bukan basa basi”, “gue berpikir karena itu gue tambah bingung”, “nanti juga lo paham.” Bermain kata-kata teringat publik untuk pemikiran, hiburan, atau ledekan.
Pembukaan masa lalu dengan iklan-iklan rokok ditambahi dengan mengingat berita-berita berurusan rokok dimuat di beragam majalah. Pembaca diajak mengingat para menteri di masa Orde Baru adalah perokok. Kita simak penjelasan: “Pada masa Orde Baru, foto menteri merokok tampil di media itu biasa saja. Media masih lazim memuat wawancara narasumber pejabat dengan pose sambil memegang sebatang rokok.” Di situ, ditampilkan contoh dua menteri: Sarwono Kusumaatmadja dan Moerdiono. Fuad Hassan tak tampak. Pada masa berbeda, kita susah menemukan adegan menteri merokok dalam acara publik atau saat menjadi narasumber di hadapan wartawan.
Kita diajak pula bertemu ulama. Semula, sosok itu suka merokok, selain suka menggubah puisi dan melukis. Berita mengenai KH A Mustofa Bisri (Gus Mus) berhenti merokok ditemukan dalam majalah Tempo, 13 Februari 2011. Keputusan berhenti tanpa mencari atau membuat alasan-alasan. Berhenti saja. Ia tak merasa aneh dengan berhenti merokok. Hari demi hari, Gus Mus tetap menulis dan melukis. Berita mengingatkan masa lalu sebagai perokok.
Kita membaca buku bukan untuk “bertengkar”. Perokok atau bukan perokok boleh membaca Penebar Rayuan. Buku berurusan iklan dan berita tak menghendaki terjadi sengketa klise gara-gara rokok. Kita membaca saja sambil mengenangkan majalah-majalah pernah mendokumentasi masa lalu. Kini, majalah cuma sedikit. Pembaca pun tak segetol masa lalu menikmati berita, kolom, dan iklan. Buku itu mengajak kita mengenang, tak mau kehilangan masa lalu. Begitu.
Judul : Penebar Rayuan: Iklan Rokok di Majalah Tahun 1990-an
Penulis : Widyanuari Eko Putra
Penerbit : Beruang Cipta Lestari
tulis komentar anda