Hanya Satu IDI untuk Rakyat Indonesia
Kamis, 09 Juni 2022 - 14:26 WIB
Peserta rapat berpendapat bahwa pada era sebelum kemerdekaan, dokter-dokter pribumi belum sempat mendirikan organisasi profesi sendiri. Walau sebelumnya pernah ada Verinigin van Indonesische Artsen sebagai tempat dokter pribumi berkumpul namun tidak berlangsung lama, dibubarkan oleh pendudukan Jepang. Karena itu, peserta rapat menginginkan sebuah perkumpulan dokter baru yang aggotanya hanya terdiri dari para dokter pribumi saja. Mereka pun bersepakat membentuk Dokter Warga Negara Indonesia (WNI).
Dokter Bahder Djohan menuturkan kesannya pada rapat 30 Juli 1950 itu dalam Majalah Kedokteran Indonesia 1962 berikut ini. “Kalau bukan karena moral yang tinggi dan tanggung jawab yang penuh keinsyafan dan kesadaran yang tinggi dari pemuka kedua pihak, maka kemungkinan akan terjadi suatu perpecahan. Tetapi moral yang tinggi dari kedua mereka yang bertanggung jawab telah membawa penyelesaian yang mulia…”
Pelajaran yang dapat dipetik dari para pendiri IDI di atas adalah bila ingin mendirikan organisasi profesi dokter maka para pendirinya harus memiliki moral tinggi, tanggung jawab yang penuh keinsyafan, disertai kesadaran yang tinggi bahwa mereka akan mendirikan organisasi profesi yang luhur. Tanpa nilai luhur seperti yang dikatakan dr. Bahder Djohan di atas maka organisasi IDI tidak terbentuk. Andai pun lahir, tidak akan bertahan sampai sekarang. Sebab, pasti ditolak oleh para dokter serta tidak akan diterima masyarakat. Ibarat bunga, “layu sebelum berkembang.”
Keinsyafan dan moral tinggi para pendiri IDI perlu diteladani oleh Indonesia setelahnya. Moral etik profesi sudah melekat pada diri mereka masing-masing. Melalui kebiasaan berdialog secara demoktaris, moral etik individu berkembang menjadi moral etik komunitas, yang menjadi modal dasar untuk mendirikan dan mengembangkan organisasi profesi dokter yang baru.
Kembali pada rapat di Jalan Kramat 106. Dokter Seno Sastroamidjojo mengusulkan pembentukan panitia penyelenggara Muktamar Dokter WNI, diketua dr. Bahder Djohan. Panitia ditugaskan untuk menyelenggarakan Muktamar Dokter WNI, 22-25 September. Usulan itu disetujui oleh peserta yang lain. Tujuan muktamar ialah untuk mendirikan satu organisasi baru, yaitu perkumpulan dokter WNI, yang merupakan representasi dunia dokter dan dunia kedokteran Indonesia ke dalam dan ke luar negeri.
Langkah pertama yang dilakukan adalah mengirim undangan muktamar kepada seluruh dokter warga negara Indonesia, saat itu berjumlah 262 orang. Dilampiri draft Anggaran Dasar serta kuesioner berisi pertanyaan yang harus diisi. Pertama, apakah dalam prinsip setuju mendirikan perkumpulan dokter warga negara Indonesia? Kedua, apakah dalam prinsip setuju dengan draft atau rancangan Anggaran Dasar? Sebanyak 224 dokter yang membalas surat dan mengisi kuesioner.
Muktamar dihadiri 181 dokter WNI dan bersepakat membentuk organisasi profesi dokter warga negara Indonesia dengan nama Ikatan Dokter Indonesia.
Sebulan kemudian, tepat 24 Oktober 1950, dr. Soeharto yang mewakili panitia Dewan Pimpinan Pusat IDI, atas nama diri sendiri dan atan nama pengusus IDI lainnya, yakni dr. Sarwono Prawirohardjo, dr. Pirngadi, dr. Tang Eng Tie (alias dr. Arief Sukardi), Letkol dr. Aziz Saleh, serta dr. Hadrianus Sinaga, menghadap notaris R. Kardiman. Tujuannya untuk mencatatkan Ikatan Dokter Indonesia kepada notaris agar mendapatkan dasar hukum berdirinya perkumpulan dokter Indonesia dengan nama Ikatan Dokter Indonesia. Sejak berdirinya IDI maka sampai sekarang hanya IDI yang menjadi Ikatan untuk berkumpul profesi dokter di Indonesia.
Mengapa Hanya Satu IDI?
Dokter Bahder Djohan menuturkan kesannya pada rapat 30 Juli 1950 itu dalam Majalah Kedokteran Indonesia 1962 berikut ini. “Kalau bukan karena moral yang tinggi dan tanggung jawab yang penuh keinsyafan dan kesadaran yang tinggi dari pemuka kedua pihak, maka kemungkinan akan terjadi suatu perpecahan. Tetapi moral yang tinggi dari kedua mereka yang bertanggung jawab telah membawa penyelesaian yang mulia…”
Pelajaran yang dapat dipetik dari para pendiri IDI di atas adalah bila ingin mendirikan organisasi profesi dokter maka para pendirinya harus memiliki moral tinggi, tanggung jawab yang penuh keinsyafan, disertai kesadaran yang tinggi bahwa mereka akan mendirikan organisasi profesi yang luhur. Tanpa nilai luhur seperti yang dikatakan dr. Bahder Djohan di atas maka organisasi IDI tidak terbentuk. Andai pun lahir, tidak akan bertahan sampai sekarang. Sebab, pasti ditolak oleh para dokter serta tidak akan diterima masyarakat. Ibarat bunga, “layu sebelum berkembang.”
Keinsyafan dan moral tinggi para pendiri IDI perlu diteladani oleh Indonesia setelahnya. Moral etik profesi sudah melekat pada diri mereka masing-masing. Melalui kebiasaan berdialog secara demoktaris, moral etik individu berkembang menjadi moral etik komunitas, yang menjadi modal dasar untuk mendirikan dan mengembangkan organisasi profesi dokter yang baru.
Kembali pada rapat di Jalan Kramat 106. Dokter Seno Sastroamidjojo mengusulkan pembentukan panitia penyelenggara Muktamar Dokter WNI, diketua dr. Bahder Djohan. Panitia ditugaskan untuk menyelenggarakan Muktamar Dokter WNI, 22-25 September. Usulan itu disetujui oleh peserta yang lain. Tujuan muktamar ialah untuk mendirikan satu organisasi baru, yaitu perkumpulan dokter WNI, yang merupakan representasi dunia dokter dan dunia kedokteran Indonesia ke dalam dan ke luar negeri.
Langkah pertama yang dilakukan adalah mengirim undangan muktamar kepada seluruh dokter warga negara Indonesia, saat itu berjumlah 262 orang. Dilampiri draft Anggaran Dasar serta kuesioner berisi pertanyaan yang harus diisi. Pertama, apakah dalam prinsip setuju mendirikan perkumpulan dokter warga negara Indonesia? Kedua, apakah dalam prinsip setuju dengan draft atau rancangan Anggaran Dasar? Sebanyak 224 dokter yang membalas surat dan mengisi kuesioner.
Muktamar dihadiri 181 dokter WNI dan bersepakat membentuk organisasi profesi dokter warga negara Indonesia dengan nama Ikatan Dokter Indonesia.
Sebulan kemudian, tepat 24 Oktober 1950, dr. Soeharto yang mewakili panitia Dewan Pimpinan Pusat IDI, atas nama diri sendiri dan atan nama pengusus IDI lainnya, yakni dr. Sarwono Prawirohardjo, dr. Pirngadi, dr. Tang Eng Tie (alias dr. Arief Sukardi), Letkol dr. Aziz Saleh, serta dr. Hadrianus Sinaga, menghadap notaris R. Kardiman. Tujuannya untuk mencatatkan Ikatan Dokter Indonesia kepada notaris agar mendapatkan dasar hukum berdirinya perkumpulan dokter Indonesia dengan nama Ikatan Dokter Indonesia. Sejak berdirinya IDI maka sampai sekarang hanya IDI yang menjadi Ikatan untuk berkumpul profesi dokter di Indonesia.
Mengapa Hanya Satu IDI?
tulis komentar anda