Media Massa Harus Pikirkan Efek Pemberitaan
Selasa, 23 Juni 2020 - 17:38 WIB
JAKARTA - Peran media massa di antaranya lembaga kontrol sosial dan pemersatu bangsa. Oleh karena itu, awak media diminta juga harus berpikir secara objektif bagaimana efek dari publikasi berita yang telah dibuat.
"Media massa yang hari ini menjadi rumah tempat sumber ilmu itu juga berpikir secara objektif bagaimana efek dari publikasi itu sendiri. Jangan nanti karena publikasi, masyarakat tidak punya panduan dalam mengambil keputusan. Akhirnya apa? muncul lah yang saya katakan tadi adalah rasisme," tutur Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Islam Riau (UIR), Syahrul Akmal Latief.
Syahrul Akmal berbicara itu dalam webinar daring SINDO Goes to Campus bertajuk Peran Media Meredam Diskriminasi Sosial, Selasa (23/6/2020).
Dia mengatakan, rasisme adalah cara pandang melihat perbedaan sebagai musuh. "Apakah berbeda cara pandang, beda cara melihat, itu bagian dari musuh. Kalau ini dibesar-besarkan kita tidak punya kawan, sehingga jadi musuh," katanya.
Jika itu terjadi, kata dia, negara akan melahirkan masyarakat yang bermusuhan dan sulit untuk dimediasi. "Yang banyak itu kan provokator. Jadi kita ingin pemerintah betul-betul menjadikan ideologi bangsa ini sebagai utuh dari kebangsaan ini, mulai dari tingkat SD sampai ke perguruan tinggi. Ini berbahaya sekali untuk negara bersifat heterogen," tuturnya.
Oleh karena itu, kata dia, mahasiswa mesti menjadi pengendali demokrasi, bukan menjadi tempat kepentingan. "Kalau akademisi atau mahasiswa tidak lagi berpikir objektif seperti ini, kan kita tahu, yang maha itu kan ada dua, Maha Esa dan mahasiswa," ujarnya. ( )
Kalangan akademisi, kata dia, harus menjadi harapan terbesar oleh masyarakat untuk menetralisasi lapangan, termasuk dosen-dosennya.
"Kita lihat saja ketika dia masuk ke ranah politik akademisi, step by step dia menjadi masuk menjadi korban atau pelaku dari penyimpangan kah, korupsi kah namanya," ujarnya.
Pihaknya pun ingin mensterilisasi doktrin-doktrin demokrasi itu secara idealis bangsa. "Maka saya tadi katakan ya negara harus berpikir secara maksimum untuk menanamkan idealis bangsa itu dari sejak lahir sampai perguruan tinggi. Karena kita lihat kalau ideologi ini digugat, tidak ada jalan lain, negara ini hancur," tuturnya.
"Media massa yang hari ini menjadi rumah tempat sumber ilmu itu juga berpikir secara objektif bagaimana efek dari publikasi itu sendiri. Jangan nanti karena publikasi, masyarakat tidak punya panduan dalam mengambil keputusan. Akhirnya apa? muncul lah yang saya katakan tadi adalah rasisme," tutur Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Islam Riau (UIR), Syahrul Akmal Latief.
Syahrul Akmal berbicara itu dalam webinar daring SINDO Goes to Campus bertajuk Peran Media Meredam Diskriminasi Sosial, Selasa (23/6/2020).
Dia mengatakan, rasisme adalah cara pandang melihat perbedaan sebagai musuh. "Apakah berbeda cara pandang, beda cara melihat, itu bagian dari musuh. Kalau ini dibesar-besarkan kita tidak punya kawan, sehingga jadi musuh," katanya.
Jika itu terjadi, kata dia, negara akan melahirkan masyarakat yang bermusuhan dan sulit untuk dimediasi. "Yang banyak itu kan provokator. Jadi kita ingin pemerintah betul-betul menjadikan ideologi bangsa ini sebagai utuh dari kebangsaan ini, mulai dari tingkat SD sampai ke perguruan tinggi. Ini berbahaya sekali untuk negara bersifat heterogen," tuturnya.
Oleh karena itu, kata dia, mahasiswa mesti menjadi pengendali demokrasi, bukan menjadi tempat kepentingan. "Kalau akademisi atau mahasiswa tidak lagi berpikir objektif seperti ini, kan kita tahu, yang maha itu kan ada dua, Maha Esa dan mahasiswa," ujarnya. ( )
Kalangan akademisi, kata dia, harus menjadi harapan terbesar oleh masyarakat untuk menetralisasi lapangan, termasuk dosen-dosennya.
"Kita lihat saja ketika dia masuk ke ranah politik akademisi, step by step dia menjadi masuk menjadi korban atau pelaku dari penyimpangan kah, korupsi kah namanya," ujarnya.
Pihaknya pun ingin mensterilisasi doktrin-doktrin demokrasi itu secara idealis bangsa. "Maka saya tadi katakan ya negara harus berpikir secara maksimum untuk menanamkan idealis bangsa itu dari sejak lahir sampai perguruan tinggi. Karena kita lihat kalau ideologi ini digugat, tidak ada jalan lain, negara ini hancur," tuturnya.
(dam)
tulis komentar anda