BPOM Diminta Kaji Mendalam Wacana Pelabelan BPA
Jum'at, 27 Mei 2022 - 00:46 WIB
Direktur Kebijakan Persaingan KPPU Marcellina Nuring menambahkan pemerintah seharusnya hadir mengatasi suatu masalah. Dia mencontohkan dalam kebijakan pelabelan BPA, BPOM seharusnya juga harus melihat sisi persaingan usahanya. Dalam hal ini, kebijakan itu harus bisa mencegah, membatasi, atau mendistorsi persaingan di dalam pasar.
"Jadi, di dalam pasal-pasal regulasinya, yang ada singgungannya di persaingan usaha harus bersifat equal treatment, tidak ada diskriminasi yang menjadi hambatan bagi pelaku usaha tertentu dan menguntungkan pelaku usaha lain," ujarnya.
Menurutnya, jika kebijakan itu tidak diskriminatif atau semua mendapatkan perlakuan yang sama, mungkin tidak akan menjadi masalah. "Salah satu pesan dari salah satu komisioner kami dalam melihat kebijakan pelabelan BPA ini adalah kesehatan masyarakat tidak bisa dipertentangkan dengan persaingan usaha. Jangan sampai kebijakan itu hanya baik buat industri tertentu, tapi merugikan yang lain," ujarnya.
Dia menambahkan suatu kebijakan yang diskriminatif berpotensi menyebabkan berkurangnya kemampuan produsen untuk bersaing. Dia menegaskan KPPU akan berusaha melakukan pencegahan di awal terhadap hadirnya kebijakan-kebijakan yang memfasilitasi terjadinya persaingan usaha.
"Kami membuat apa yang dinamakan dengan daftar periksa asesmen kebijakan persaingan usaha. Nah, ini mungkin nanti yang akan kami coba koordinasikan dan diskusikan dengan pihak BPOM jika memang wacana kebijakan pelabelan BPA ini berlanjut," katanya.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Ningrum Natasya Sirait meminta agar BPOM tidak hanya membuat kebijakan dengan melihat sisi kesehatan, tapi harus juga memperhatikan dampaknya terhadap potensi terjadinya persaingan usaha.
"Peraturan dalam konteks apa pun harus melalui uji daftar dampak kompetisi (competition check list), sehingga tidak menjadi hambatan artifisial (artificial barrier) yang membebani perusahaan dalam pasar persaingan yang akhirnya menjadi tanggungan masyarakat," katanya.
Di acara serupa, Pakar Polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ahmad Zainal Abidin menyampaikan kebijakan galon berbahan Polikarbonat dilabeli BPA itu sebuah kebohongan publik mengingat tidak mungkin galon guna ulang itu BPA free. Begitu juga jika galon PET dilabeli BPA free, menurut Zainal, itu suatu hal yang mungkin mengingat galon PET memang tidak dibuat dari PC yang berbahan BPA.
"Jadi saya melihat energi kita banyak habis hanya untuk membahas keributan wacana kebijakan pelabelan BPA yang tidak berbasis pada data ilmiah tapi data bodong, yang dipublikasikan secara luas," katanya. Baca juga: Hadapi Rencana Pelabelan BPA, Pengusaha Dituntut Lebih Inovatif
Sementara itu, Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM Rita Endang sebelumnya mengatakan, pihaknya menemukan sejumlah kecenderungan yang mengkhawatirkan pada migrasi bahan kimia Bisphenol A (BPA) pada kemasan air minum berbahan polikarbonat. Sebanyak 33% sampel pada sarana distribusi dan peredaraan serta 24% sampel berada pada rentang batas migrasi VPA 0,05 mg/kg yang ditetapkan Otoritas Keamaan Makanan Eropa (EFA), dan 0,6 mg/kg berdasarkan ketentuan di Indonesia.
"Jadi, di dalam pasal-pasal regulasinya, yang ada singgungannya di persaingan usaha harus bersifat equal treatment, tidak ada diskriminasi yang menjadi hambatan bagi pelaku usaha tertentu dan menguntungkan pelaku usaha lain," ujarnya.
Menurutnya, jika kebijakan itu tidak diskriminatif atau semua mendapatkan perlakuan yang sama, mungkin tidak akan menjadi masalah. "Salah satu pesan dari salah satu komisioner kami dalam melihat kebijakan pelabelan BPA ini adalah kesehatan masyarakat tidak bisa dipertentangkan dengan persaingan usaha. Jangan sampai kebijakan itu hanya baik buat industri tertentu, tapi merugikan yang lain," ujarnya.
Dia menambahkan suatu kebijakan yang diskriminatif berpotensi menyebabkan berkurangnya kemampuan produsen untuk bersaing. Dia menegaskan KPPU akan berusaha melakukan pencegahan di awal terhadap hadirnya kebijakan-kebijakan yang memfasilitasi terjadinya persaingan usaha.
"Kami membuat apa yang dinamakan dengan daftar periksa asesmen kebijakan persaingan usaha. Nah, ini mungkin nanti yang akan kami coba koordinasikan dan diskusikan dengan pihak BPOM jika memang wacana kebijakan pelabelan BPA ini berlanjut," katanya.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Ningrum Natasya Sirait meminta agar BPOM tidak hanya membuat kebijakan dengan melihat sisi kesehatan, tapi harus juga memperhatikan dampaknya terhadap potensi terjadinya persaingan usaha.
"Peraturan dalam konteks apa pun harus melalui uji daftar dampak kompetisi (competition check list), sehingga tidak menjadi hambatan artifisial (artificial barrier) yang membebani perusahaan dalam pasar persaingan yang akhirnya menjadi tanggungan masyarakat," katanya.
Di acara serupa, Pakar Polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ahmad Zainal Abidin menyampaikan kebijakan galon berbahan Polikarbonat dilabeli BPA itu sebuah kebohongan publik mengingat tidak mungkin galon guna ulang itu BPA free. Begitu juga jika galon PET dilabeli BPA free, menurut Zainal, itu suatu hal yang mungkin mengingat galon PET memang tidak dibuat dari PC yang berbahan BPA.
"Jadi saya melihat energi kita banyak habis hanya untuk membahas keributan wacana kebijakan pelabelan BPA yang tidak berbasis pada data ilmiah tapi data bodong, yang dipublikasikan secara luas," katanya. Baca juga: Hadapi Rencana Pelabelan BPA, Pengusaha Dituntut Lebih Inovatif
Sementara itu, Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM Rita Endang sebelumnya mengatakan, pihaknya menemukan sejumlah kecenderungan yang mengkhawatirkan pada migrasi bahan kimia Bisphenol A (BPA) pada kemasan air minum berbahan polikarbonat. Sebanyak 33% sampel pada sarana distribusi dan peredaraan serta 24% sampel berada pada rentang batas migrasi VPA 0,05 mg/kg yang ditetapkan Otoritas Keamaan Makanan Eropa (EFA), dan 0,6 mg/kg berdasarkan ketentuan di Indonesia.
Lihat Juga :
tulis komentar anda