Wakil Ketua MPR Dorong Indonesia Ikut Berperan Damaikan Rusia-Ukraina
Kamis, 26 Mei 2022 - 00:12 WIB
Pengamat Militer dan Pertahanan Keamanan, Connie Rahakundini Bakrie berpendapat 91 hari krisis Rusia-Ukraina saat ini sudah menjadi multilateral war. Krisis Rusia-Ukraina adalah perang yang berbeda dari perang pada umumnya.
Connie menilai, untuk menghadapi kondisi ini, Indonesia harus konsisten dengan Gerakan Non-Blok-nya untuk berupaya menghentikan perang. Negara-negara yang tergabung dalam Gerakan Non-Blok, tegas Connie, harus berani mengakhiri diskriminasi terhadap Rusia dan sejumlah negara di Asia dan Afrika dalam bentuk sanksi dari negara adidaya.
"Untuk menciptakan perdamaian dunia salah satunya adalah dengan menciptakan regional ballance of power di sejumlah kawasan," ujarnya.
Guru Besar Universitas Pertahanan (Unhan), Anak Agung Banyu Perwita menilai kondisi saat ini terjadi chaos dalam tatanan geopolitik. Banyu berpendapat, jangan sampai kekuatan geopolitik dunia hanya dipengaruhi dua kutub kekuasan. Untuk stabilitas dunia, akan lebih baik multipolar kekuasaan.
Menurut Banyu, harus ada reentepretasi baru dari kondisi geopolitik hari ini. Sebab, geopolitik itu dinamis dan sangat berpengaruh terhadap politik, ekonomi, dan teknologi di sejumlah negara.
Direktur Eksekutif INADIS, Ple Priatna berpendapat ada tiga pintu diplomasi bagi Indonesia yang bisa diupayakan untuk mendamaikan konflik Rusia-Ukraina yaitu jalur G20, ASEAN dan Gerakan Non-Blok. Ia menilai PBB telah gagal menjalankan manajemen krisis multilateral dalam konflik Rusia-Ukraina, karena hingga saat ini PBB tidak mampu memberi solusi perdamaian dunia.
Dalam krisis Rusia-Ukraina, Priatna berpendapat, posisi Amerika Serikat dan negara-negara Barat adalah free rider yang menjadi bagian dari peperangan, bukan bagian yang mengupayakan jalan keluar untuk perdamaian.
Aktivis Komite Persahabatan Rakyat Indonesia-Rusia, Joko Purwanto menilai krisis Rusia-Ukraina merupakan dampak dari upaya ekspansi NATO ke Eropa Timur yang sudah berlangsung lama. Menurutnya, ada sejumlah kesepakatan di masa lalu antara Rusia dan sejumlah negara NATO agar tidak melanjutkan ekspansi ke Eropa Timur. Namun, ujarnya, kesepakatan itu dilanggar.
"Bantuan sejumlah negara NATO dan Amerika Serikat dalam bentuk persenjataan justru menjauhkan langkah-langkah perdamaian dalam konflik ini," ujarnya.
Ketua Program SKSG-UI, Henny Saptatia berpendapat dalam mengupayakan suatu perdamaian seharusnya diikuti dengan upaya yang benar-benar untuk mewujudkan perdamaian. Bila Indonesia akan mengupayakan perdamaian lewat jalur Gerakan Non-Blok, ujar Henny, harus benar-benar pada posisi netral dalam proses mewujudkan perdamaian.
Connie menilai, untuk menghadapi kondisi ini, Indonesia harus konsisten dengan Gerakan Non-Blok-nya untuk berupaya menghentikan perang. Negara-negara yang tergabung dalam Gerakan Non-Blok, tegas Connie, harus berani mengakhiri diskriminasi terhadap Rusia dan sejumlah negara di Asia dan Afrika dalam bentuk sanksi dari negara adidaya.
"Untuk menciptakan perdamaian dunia salah satunya adalah dengan menciptakan regional ballance of power di sejumlah kawasan," ujarnya.
Guru Besar Universitas Pertahanan (Unhan), Anak Agung Banyu Perwita menilai kondisi saat ini terjadi chaos dalam tatanan geopolitik. Banyu berpendapat, jangan sampai kekuatan geopolitik dunia hanya dipengaruhi dua kutub kekuasan. Untuk stabilitas dunia, akan lebih baik multipolar kekuasaan.
Menurut Banyu, harus ada reentepretasi baru dari kondisi geopolitik hari ini. Sebab, geopolitik itu dinamis dan sangat berpengaruh terhadap politik, ekonomi, dan teknologi di sejumlah negara.
Direktur Eksekutif INADIS, Ple Priatna berpendapat ada tiga pintu diplomasi bagi Indonesia yang bisa diupayakan untuk mendamaikan konflik Rusia-Ukraina yaitu jalur G20, ASEAN dan Gerakan Non-Blok. Ia menilai PBB telah gagal menjalankan manajemen krisis multilateral dalam konflik Rusia-Ukraina, karena hingga saat ini PBB tidak mampu memberi solusi perdamaian dunia.
Dalam krisis Rusia-Ukraina, Priatna berpendapat, posisi Amerika Serikat dan negara-negara Barat adalah free rider yang menjadi bagian dari peperangan, bukan bagian yang mengupayakan jalan keluar untuk perdamaian.
Aktivis Komite Persahabatan Rakyat Indonesia-Rusia, Joko Purwanto menilai krisis Rusia-Ukraina merupakan dampak dari upaya ekspansi NATO ke Eropa Timur yang sudah berlangsung lama. Menurutnya, ada sejumlah kesepakatan di masa lalu antara Rusia dan sejumlah negara NATO agar tidak melanjutkan ekspansi ke Eropa Timur. Namun, ujarnya, kesepakatan itu dilanggar.
"Bantuan sejumlah negara NATO dan Amerika Serikat dalam bentuk persenjataan justru menjauhkan langkah-langkah perdamaian dalam konflik ini," ujarnya.
Ketua Program SKSG-UI, Henny Saptatia berpendapat dalam mengupayakan suatu perdamaian seharusnya diikuti dengan upaya yang benar-benar untuk mewujudkan perdamaian. Bila Indonesia akan mengupayakan perdamaian lewat jalur Gerakan Non-Blok, ujar Henny, harus benar-benar pada posisi netral dalam proses mewujudkan perdamaian.
Lihat Juga :
tulis komentar anda