Wakil Ketua MPR Dorong Indonesia Ikut Berperan Damaikan Rusia-Ukraina

Kamis, 26 Mei 2022 - 00:12 WIB
loading...
Wakil Ketua MPR Dorong Indonesia Ikut Berperan Damaikan Rusia-Ukraina
Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat (kiri atas) saat membuka diskusi daring bertema Menuju Perdamaian Rusia-Ukraina yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (25/5/2022). Foto: Ist
A A A
JAKARTA - Konflik antara Rusia dan Ukraina harus dilihat dari sisi krisis yang berdampak pada kemanusiaan. Oleh karena itu, Indonesia harus mampu berperan dalam menciptakan perdamaian , seperti yang diamanatkan konstitusi.

"Pada alinea pertama UUD 1945 mengamanatkan kepada kita untuk ikut menciptakan perdamaian dunia dengan mencegah penjajahan dengan mengedepankan aspek kemanusiaan," kata Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema 'Menuju Perdamaian Rusia-Ukraina' yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (25/5/2022).



Menurut Lestari, krisis Rusia-Ukraina harus segera diakhiri karena dampaknya sangat mempengaruhi tatanan di sejumlah sektor di dunia. Belum tuntas dampak pandemi Covid-19, sejumlah krisis yang mengikuti perang Rusia-Ukraina memberi tekanan tersendiri dalam upaya negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, untuk bangkit.

Ancaman terhadap kemanusiaan dalam krisis Rusia-Ukraina, harus sesegera mungkin diakhiri dengan menggalang dukungan negara-negara di dunia. Rerie, sapaan akrab Lestari, berharap Indonesia dapat melakukan langkah dan sikap yang tepat dalam ikut serta mengatasi konflik Rusia-Ukraina menuju perdamaian.

Nara sumber lain, Anggota Komisi I DPR Muhammad Farhan menilai krisis Rusia-Ukraina berdampak pada banyak sektor, seperti ekonomi terkait sumber daya alam dan ketersediaan komoditas. Menurut Farhan, sanksi terhadap Rusia dari sejumlah negara dunia akan mempengaruhi keseimbangan ketersediaan komoditas di dunia. Sanksi tersebut, jelas Farhan, justru mendorong Rusia untuk menguasai Ukraina.

Farhan berpendapat, demi menciptakan perdamaian dunia, Indonesia harus condong terhadap salah satu pihak dalam konflik tersebut. Di sisi lain, upaya perdamaian dalam krisis Rusia-Ukraina bisa dicapai bila Ukraina menyerah dan memberikan kemerdekaan kepada sejumlah negara bagiannya.

"Bila Indonesia tetap bersikap nonblok, ujar Farhan, krisis Rusia-Ukraina akan terus dalam status quo," katanya.



Pengamat Militer dan Pertahanan Keamanan, Connie Rahakundini Bakrie berpendapat 91 hari krisis Rusia-Ukraina saat ini sudah menjadi multilateral war. Krisis Rusia-Ukraina adalah perang yang berbeda dari perang pada umumnya.

Connie menilai, untuk menghadapi kondisi ini, Indonesia harus konsisten dengan Gerakan Non-Blok-nya untuk berupaya menghentikan perang. Negara-negara yang tergabung dalam Gerakan Non-Blok, tegas Connie, harus berani mengakhiri diskriminasi terhadap Rusia dan sejumlah negara di Asia dan Afrika dalam bentuk sanksi dari negara adidaya.

"Untuk menciptakan perdamaian dunia salah satunya adalah dengan menciptakan regional ballance of power di sejumlah kawasan," ujarnya.



Guru Besar Universitas Pertahanan (Unhan), Anak Agung Banyu Perwita menilai kondisi saat ini terjadi chaos dalam tatanan geopolitik. Banyu berpendapat, jangan sampai kekuatan geopolitik dunia hanya dipengaruhi dua kutub kekuasan. Untuk stabilitas dunia, akan lebih baik multipolar kekuasaan.

Menurut Banyu, harus ada reentepretasi baru dari kondisi geopolitik hari ini. Sebab, geopolitik itu dinamis dan sangat berpengaruh terhadap politik, ekonomi, dan teknologi di sejumlah negara.

Direktur Eksekutif INADIS, Ple Priatna berpendapat ada tiga pintu diplomasi bagi Indonesia yang bisa diupayakan untuk mendamaikan konflik Rusia-Ukraina yaitu jalur G20, ASEAN dan Gerakan Non-Blok. Ia menilai PBB telah gagal menjalankan manajemen krisis multilateral dalam konflik Rusia-Ukraina, karena hingga saat ini PBB tidak mampu memberi solusi perdamaian dunia.

Dalam krisis Rusia-Ukraina, Priatna berpendapat, posisi Amerika Serikat dan negara-negara Barat adalah free rider yang menjadi bagian dari peperangan, bukan bagian yang mengupayakan jalan keluar untuk perdamaian.

Aktivis Komite Persahabatan Rakyat Indonesia-Rusia, Joko Purwanto menilai krisis Rusia-Ukraina merupakan dampak dari upaya ekspansi NATO ke Eropa Timur yang sudah berlangsung lama. Menurutnya, ada sejumlah kesepakatan di masa lalu antara Rusia dan sejumlah negara NATO agar tidak melanjutkan ekspansi ke Eropa Timur. Namun, ujarnya, kesepakatan itu dilanggar.

"Bantuan sejumlah negara NATO dan Amerika Serikat dalam bentuk persenjataan justru menjauhkan langkah-langkah perdamaian dalam konflik ini," ujarnya.

Ketua Program SKSG-UI, Henny Saptatia berpendapat dalam mengupayakan suatu perdamaian seharusnya diikuti dengan upaya yang benar-benar untuk mewujudkan perdamaian. Bila Indonesia akan mengupayakan perdamaian lewat jalur Gerakan Non-Blok, ujar Henny, harus benar-benar pada posisi netral dalam proses mewujudkan perdamaian.

Ia berharap, para akademisi di Tanah Air mendorong agar Indonesia bersikap netral dan segera mengupayakan perdamaian pada krisis Rusia-Ukraina.

Wartawan senior, Saur Hutabarat berpendapat, saat ini adalah waktu yang tepat bagi Indonesia yang memiliki kebijakan politik bebas aktif, untuk mengupayakan perdamaian pada konflik Rusia-Ukraina. Bila kedua pihak yang bertikai dapat dipertemukan di Indonesia dalam mengupayakan perdamaian, menurut Saur, akan menjadi langkah penting dan bersejarah.
(thm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1968 seconds (0.1#10.140)