Kebebasan dan Daya Akademik dalam RUU Sisdiknas

Minggu, 22 Mei 2022 - 10:22 WIB
Penyelengaraan pendidikan, dalam RUU itu, juga menyebut tanggungjawab tidak hanya satu pihak pemerintah, tetapi masyarakat juga. Biaya pendidikan yang bertambah tinggi perlu juga dipikirkan skema dunia industri dan dunia usaha untuk mendukung dari segi finansial. Banyak dari orang yang sukses mewaqafkan atau mensedekahkan hartanya untuk hal-hal bersifat ritual agamis, seperti pembangunan tempat ibadah, contohnya masjid.



Tetapi masih sedikit, jika ada, yang mewaqafkan hartanya untuk riset atau pengembangan teknologi. Di negara maju seperti Amerika Serikat komitmen ini sudah umum. Mungkin secara teologis, karena watak masyarakat kita agamis, perlu dipikirkan bentuk sedekah dan waqaf untuk riset dan penemuan ilmiah. Mungkin RUU juga perlu mengihimbau sumderdaya swasta dan industri untuk pengembangan pendidikan dan penelitian, yang justru berkait erat dengan persaingan dunia industri global. Jelasnya, dana riset kita ke arah produksi pengetahuan, pengembangan riset dan teknologi memerlukan penguatan yang serius.

Pasal lima puluh sembilan membahas tentang makna kebebasan akademik. Pada pasal dua dijelaskan, “Kebebasan akademik merupakan kebebasan dosen dan mahasiswa untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab.” Ini merupakan jaminan bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Baik dosen dan mahasiswa pada perguruan tinggi dijamin kebebasan dalam mengungkap fakta ilmiah dan penemuan-penemuan.

Terus terang saja, dalam hal produksi pengetahuan dalam bentuk karya ilmiah kita perlu usaha yang lebih keras lagi. Bandingkan kita dengan negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand, atau Filipina. Dalam hal karya ilmiah dan hasilnya dalam beberapa bidang mereka lebih ke depan dalam melangkah, dan dalam aspek tertentu meninggalkan kita.

Namun, dalam jangka sepuluh tahun terakhir perkembangan jurnal ilmiah menggembirakan. Portal-portal seperti Sinta, Portal Garuda dan Moraref, terus menunjukkan kemajuan jurnal di Perguruan tinggi Indonesia. Kewajiban kita memberi apresiasi tulisan-tulisan ilmiah karya para akademisi kita, mengunggahnya, membacanya, dan menggunakan untuk referensi baik statemen ilmiah atau dalam rangka mengambil kebijakan.

Dunia ilmiah dan kebijakan publik nyata harus terus dikait-kaitkan. Kita tidak hanya menunjukkan kelemahan kondisi akademik, tetapi juga mensyukuri capaian-capaian kolega kampus kita. Perjuangan demi perjuangan harus dihargai. Tentu untuk menjadi seperti Jerman, Jepang, atau Korea, dimana penelitian dan industri saling menopang, perlu perjuangan. Namun, tidak perlu pesimis, dunia kampus, kantor kementrian, dan gedung parlemen perlu terus dihubungkan lebih dekat lagi agar saling mendengar, melihat, dan memberi apresiasi. Dari situ kebijakan sinergis akan lahir. Dalam RUU Sisdiknas ini, arah itu yang kita tuju.

Ayat selanjutnya mengatakan, “Kebebasan mimbar akademik merupakan wewenang dosen yang memiliki otoritas ilmiah untuk menyatakan secara terbuka dan bertanggung jawab mengenai sesuatu yang berkenaan dengan cabang dan rumpun ilmunya.” Kebebasan akademik tidak hanya menyangkut pemerintah dan universitas, namun masyarakat dan pihak swasta juga harus mendukung. Masyarakat kita perlu mengapresiasi akademik, tidak hanya yang sifatnya popular dan kesalehan agamis. Ilmu pengetahuan di masyarakat kita masih menempati urutan bawah.

Urutan pertama tentu adalah agama, kemudian disusul politik dan ekonomi. Ilmu pengetahuan perlu didorong lagi agar memperoleh tempat yang layak. RUU adalah kebijakan hukum dan politik dari pemerintah, masyarakat, baik dunia usaha atau masyarakat umum, juga perlu mengambil peran lebih besar lagi dalam mendukung dan memperkuat kemerdekaan akademik, dalam arti memberdayakannya secara finansial dan moral.

Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More