TNI/Polri Aktif Jadi Pejabat BUMN, Koalisi Sipil Sebut seperti Orba
Senin, 22 Juni 2020 - 13:50 WIB
JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil menyayangkan langkah pemerintah yang melibatkan anggota TNI dan Polri aktif dalam jajaran petinggi Badan Usaha Milik Negara ( BUMN ). Dalam catatannya, tahun ini Kementerian BUMN mengangkat setidaknya 2 prajurit aktif TNI dan 3 perwira Polri menjadi komisaris utama dan komisaris di sejumlah BUMN.
Salah satu lembaga anggota koalisi, Setara Institute memandang pengangkatan perwira aktif dalam jajaran BUMN itu telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan khususnya UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI) dan UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri ).
"Pengangkatan perwira aktif TNI- Polri dalam jajaran BUMN juga bertentangan dengan semangat reformasi seketor keamanan dan prinsip profesionalisme yang seharusnya dijadikan landasan dalam pengelolaan negara, termasuk di institusi TNI dan Polri serta BUMN," kata peneliti Setara Institute Ikhsan Yosarie dalam keterangan tertulisnya yang diperoleh SINDOnews, Senin (22/6/2020). ( )
Sesuai dengan Pasal 47 Ayat (1) UU TNI , prajurit aktif hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Adapun pengecualian bagi jabatan sipil tertentu yaitu di kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotik Nasional, dan Mahkamah Agung.
Demikian juga Pasal 28 Ayat (3) UU Polri . Anggota kepolisian dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. "Pengangkatan sejumlah prajurit dan perwira aktif TNI-Polri tidak sesuai dengan peran dan fungsi TNI dan Polri sebagaimana diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan," papar Ikhsan.
Sementara itu, Imparsial menyoroti peran dan fungsi TNI- Polri tidak berkaitan dengan tujuan pendirian BUMN yang memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional. Sebab, badan usaha hanya fokus untuk penerimaan negara, mengejar keuntungan, menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak.( )
"Pengangkatan dalam jajaran BUMN mencederai prinsip profesionalisme sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 6 dan Pasal 72 UU BUMN yang menyatakan penyelenggara BUMN dituntut memiliki kompetensi yang tepat," kata peneliti Imparsial, Ardi Manto Adiputra.
Secara normatif, kompetensi itu, menurut Ardi, tidak dimiliki oleh anggota Polri dan TNI. Penempatan itu juga sekaligus menunjukkan tidak profesionalnya kedua instansi tersebut sebagai alat pertahanan dan keamanan negara.
"Penempatan ini menggambarkan keengganan (unwillingness) pemerintah dalam pelaksanaan reformasi TNI dan Polri. Pengangkatan ini justru menunjukkan suatu kemunduran reformasi TNI-Polri dan menarik-narik TNI-Polri kembali 'berbisnis' sebagaimana terjadi pada masa Orde Baru," ujar Ardi.
Ia menilai pemerintah semestinya fokus pada reformasi TNI dan Polri yang hingga kini mengalami stagnansi. Misalnya, penuntasan pelanggaran HAM masa lalu, reformasi peradilan militer, restrukturisasi komando teritorial, modernisasi alutsista TNI-Polri, penguatan peran lembaga pengawas kepolisian (Kompolnas), kesejahteraan prajurit TNI dan anggota Polri, dan lainnya.
Melihat kondisi tersebut, Koalisi Sipil mendesak Presiden untuk menjalankan reformasi TNI dan Polri secara konsekuen sebagaimana amanat reformasi, Tap MPR No VI dan VII Tahun 2000, UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Selain itu, mereka juga meminta Ombudsman RI melakukan investigasi kemungkinan pelanggaran maladministrasi dalam kebijakan pengangkatan perwira aktif dalam jajaran BUMN.
Salah satu lembaga anggota koalisi, Setara Institute memandang pengangkatan perwira aktif dalam jajaran BUMN itu telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan khususnya UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI) dan UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri ).
"Pengangkatan perwira aktif TNI- Polri dalam jajaran BUMN juga bertentangan dengan semangat reformasi seketor keamanan dan prinsip profesionalisme yang seharusnya dijadikan landasan dalam pengelolaan negara, termasuk di institusi TNI dan Polri serta BUMN," kata peneliti Setara Institute Ikhsan Yosarie dalam keterangan tertulisnya yang diperoleh SINDOnews, Senin (22/6/2020). ( )
Sesuai dengan Pasal 47 Ayat (1) UU TNI , prajurit aktif hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Adapun pengecualian bagi jabatan sipil tertentu yaitu di kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotik Nasional, dan Mahkamah Agung.
Demikian juga Pasal 28 Ayat (3) UU Polri . Anggota kepolisian dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. "Pengangkatan sejumlah prajurit dan perwira aktif TNI-Polri tidak sesuai dengan peran dan fungsi TNI dan Polri sebagaimana diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan," papar Ikhsan.
Sementara itu, Imparsial menyoroti peran dan fungsi TNI- Polri tidak berkaitan dengan tujuan pendirian BUMN yang memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional. Sebab, badan usaha hanya fokus untuk penerimaan negara, mengejar keuntungan, menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak.( )
"Pengangkatan dalam jajaran BUMN mencederai prinsip profesionalisme sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 6 dan Pasal 72 UU BUMN yang menyatakan penyelenggara BUMN dituntut memiliki kompetensi yang tepat," kata peneliti Imparsial, Ardi Manto Adiputra.
Secara normatif, kompetensi itu, menurut Ardi, tidak dimiliki oleh anggota Polri dan TNI. Penempatan itu juga sekaligus menunjukkan tidak profesionalnya kedua instansi tersebut sebagai alat pertahanan dan keamanan negara.
"Penempatan ini menggambarkan keengganan (unwillingness) pemerintah dalam pelaksanaan reformasi TNI dan Polri. Pengangkatan ini justru menunjukkan suatu kemunduran reformasi TNI-Polri dan menarik-narik TNI-Polri kembali 'berbisnis' sebagaimana terjadi pada masa Orde Baru," ujar Ardi.
Ia menilai pemerintah semestinya fokus pada reformasi TNI dan Polri yang hingga kini mengalami stagnansi. Misalnya, penuntasan pelanggaran HAM masa lalu, reformasi peradilan militer, restrukturisasi komando teritorial, modernisasi alutsista TNI-Polri, penguatan peran lembaga pengawas kepolisian (Kompolnas), kesejahteraan prajurit TNI dan anggota Polri, dan lainnya.
Melihat kondisi tersebut, Koalisi Sipil mendesak Presiden untuk menjalankan reformasi TNI dan Polri secara konsekuen sebagaimana amanat reformasi, Tap MPR No VI dan VII Tahun 2000, UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Selain itu, mereka juga meminta Ombudsman RI melakukan investigasi kemungkinan pelanggaran maladministrasi dalam kebijakan pengangkatan perwira aktif dalam jajaran BUMN.
(abd)
tulis komentar anda