Oligarki Partai Politik Mengancam Demokrasi
Minggu, 21 Juni 2020 - 21:18 WIB
Demikian pula kebijakan strategis lainnya seperti Undang- Undang KPK dan Minerba boleh jadi hasil beroperasinya praktik oligarki politik tersebut. Karena itu banyak kalangan yang menilai sepak terjang “oligraki partai politik” semakin merugikan kepentingan publik. Implikasi yang lebih serius yaitu menelantarkan fungsi dan peran partai politik sebagai “artikulator dan agregator kepentingan masyarakat”.
Padahal, partai politik sering disebut sebagai tiangnya demokrasi. Bahkan, salah satu prasyarat negara demokrasi harus memiliki partai politik. Dengan demikian, esensi yang melekat pada diri partai politik yakni demokrasi. Untuk itu, jika fungsi partai politik dijalankan dengan efektif maka proses demokratisasi menginternalisasi ke dalam kelembagaan politik di pemerintahan. Karena itu fenomena politik yang diungkapkan diatas, “oligarki politik” memiliki kecenderungan merusak dan mengancam demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Untuk mencegah menuju otoritarianism harus diimbangi dengan konsolidasi masyarakat sipil. Kekuatan konsolidasi tersebut mampu melakukan kontrol sosial yang efektif terhadap kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan publik.
Negara pada umumnya di dunia terdapat beberapa jenis elit yang mengendalikan pemerintahan, yaitu seperti oligarki di Rusia, plutokrasi di Amerika Serikat, dan para globalis di berbagai negara Eropa. Partai politik adalah organisasi yang memiliki kewenangan mengendalikan pemerintahan melalui hasil konstestasi elektoral pada periode tertentu.
Karena itu, ketiga jenis elit tersebut menggunakan partai politik sebagai kuda tunggangannya dalam menjalankan misinya. Jika dicermati, fenomena politik di Indonesia ciri-ciri ketiga jenis elit tersebut selama ini mempengaruhi kebijakan pemerintah terutama pada sektor publik strategis.
Demikian pula ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap ekonomi global yakni sistem neoliberalisme dapat dipastikan peran dari para oligarki, plutokrasi, dan globalis tersebut. Pada kenyataannya, kepatuhan mengikuti sistem ekonomi neoliberal, hasilnya pertumbuhan ekonomi sulit naik secara signifikan. Ironisnya, angka pertumbuhan ekonomi seringkali menjadi janji para pemimpin dalam setiap kampanye pemilihannya.
Sementara itu, di tengah situasi kurang kondusif saat ini yakni dampak pandemi Covid-19, pertumbuhan ekonomi terjun bebas bisa sampai diprediksi pertumbuhan minus. Termasuk lilitan hutang luar negeri (LN) Indonesia yang sudah mencapai Rp6.376 triliun ( kurs Rp15.600 ) atau USD407,5 miliar pada Febuari tahun 2020 (compass.com). Dengan terpuruknya ekonomi Indonesia tersebut sehingga pemerintah mengalami kesulitan dalam pembayaran hutang tersebut.
Gurita lilitan hutang luar negeri Indonesia tersebut dan sulitnya lepas dari jeratan IMF dan World Bank boleh jadi tidak terlepas dukungan para oligarki, plutokrasi, dan globalis terhadap lembaga keuangan tersebut. Seperti diketahui, pada dasarnya pekerjaan lembaga keuangan internasional tersebut menjaring perangkap terhadap negara berkembang yang kaya sumber alam untuk dipaksa berhutang dan dipastikan tidak mampu membayar hutang (John Perkins, 2005).
Sedangkan hutang tersebut diperuntukkan membangun infrastruktur, misalnya sektor transportasi. Tapi bagi masyarakat, manfaatnya tidak dirasakan secara langsung. Karena proyek sejenis itu sifatnya untuk masa yang akan datang. Namun di lain pihak, kebutuhan masyarakat kecil menginginkan proyek yang mendatangkan manfaat langsung.
Hal yang sama seperti kebijakan impor dan ekspor pangan yang menjadi kesukaan pemerintah, juga tidak berkorelasi dengan perbaikan nasib petani. Dengan demikian beberapa kebijakan tersebut di atas mencerminkan berorientasi untuk kepentingan para oligarki masih kuat. Artinya mereka lebih membela kepada para pemilik modal besar dan kurang membela nasib kalangan menengah kebawah yang beraktifitas di sektor informal dan UMKM.
Padahal, partai politik sering disebut sebagai tiangnya demokrasi. Bahkan, salah satu prasyarat negara demokrasi harus memiliki partai politik. Dengan demikian, esensi yang melekat pada diri partai politik yakni demokrasi. Untuk itu, jika fungsi partai politik dijalankan dengan efektif maka proses demokratisasi menginternalisasi ke dalam kelembagaan politik di pemerintahan. Karena itu fenomena politik yang diungkapkan diatas, “oligarki politik” memiliki kecenderungan merusak dan mengancam demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Untuk mencegah menuju otoritarianism harus diimbangi dengan konsolidasi masyarakat sipil. Kekuatan konsolidasi tersebut mampu melakukan kontrol sosial yang efektif terhadap kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan publik.
Negara pada umumnya di dunia terdapat beberapa jenis elit yang mengendalikan pemerintahan, yaitu seperti oligarki di Rusia, plutokrasi di Amerika Serikat, dan para globalis di berbagai negara Eropa. Partai politik adalah organisasi yang memiliki kewenangan mengendalikan pemerintahan melalui hasil konstestasi elektoral pada periode tertentu.
Karena itu, ketiga jenis elit tersebut menggunakan partai politik sebagai kuda tunggangannya dalam menjalankan misinya. Jika dicermati, fenomena politik di Indonesia ciri-ciri ketiga jenis elit tersebut selama ini mempengaruhi kebijakan pemerintah terutama pada sektor publik strategis.
Demikian pula ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap ekonomi global yakni sistem neoliberalisme dapat dipastikan peran dari para oligarki, plutokrasi, dan globalis tersebut. Pada kenyataannya, kepatuhan mengikuti sistem ekonomi neoliberal, hasilnya pertumbuhan ekonomi sulit naik secara signifikan. Ironisnya, angka pertumbuhan ekonomi seringkali menjadi janji para pemimpin dalam setiap kampanye pemilihannya.
Sementara itu, di tengah situasi kurang kondusif saat ini yakni dampak pandemi Covid-19, pertumbuhan ekonomi terjun bebas bisa sampai diprediksi pertumbuhan minus. Termasuk lilitan hutang luar negeri (LN) Indonesia yang sudah mencapai Rp6.376 triliun ( kurs Rp15.600 ) atau USD407,5 miliar pada Febuari tahun 2020 (compass.com). Dengan terpuruknya ekonomi Indonesia tersebut sehingga pemerintah mengalami kesulitan dalam pembayaran hutang tersebut.
Gurita lilitan hutang luar negeri Indonesia tersebut dan sulitnya lepas dari jeratan IMF dan World Bank boleh jadi tidak terlepas dukungan para oligarki, plutokrasi, dan globalis terhadap lembaga keuangan tersebut. Seperti diketahui, pada dasarnya pekerjaan lembaga keuangan internasional tersebut menjaring perangkap terhadap negara berkembang yang kaya sumber alam untuk dipaksa berhutang dan dipastikan tidak mampu membayar hutang (John Perkins, 2005).
Sedangkan hutang tersebut diperuntukkan membangun infrastruktur, misalnya sektor transportasi. Tapi bagi masyarakat, manfaatnya tidak dirasakan secara langsung. Karena proyek sejenis itu sifatnya untuk masa yang akan datang. Namun di lain pihak, kebutuhan masyarakat kecil menginginkan proyek yang mendatangkan manfaat langsung.
Hal yang sama seperti kebijakan impor dan ekspor pangan yang menjadi kesukaan pemerintah, juga tidak berkorelasi dengan perbaikan nasib petani. Dengan demikian beberapa kebijakan tersebut di atas mencerminkan berorientasi untuk kepentingan para oligarki masih kuat. Artinya mereka lebih membela kepada para pemilik modal besar dan kurang membela nasib kalangan menengah kebawah yang beraktifitas di sektor informal dan UMKM.
Lihat Juga :
tulis komentar anda