Hoaks dan Defisit Kesalehan Digital

Rabu, 11 Mei 2022 - 20:50 WIB
Guru Besar dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya, Masdar Hilmy. Foto/SINDOnews
Masdar Hilmy

Guru Besar dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

JIKA melihat indikator keberagamaan di Tanah Air, terutama ketaatan beribadah, Indonesia termasuk salah satu negara yang paling “religius” di Asia, bahkan di dunia. Berdasarkan sejumlah riset, seperti yang dilakukan oleh Prof Riaz Hassan (guru besar Emiritus di Flinders University Australia), Indonesia—bersama enam negara berpenduduk Muslim terbesar lainnya: Malaysia, Pakistan, Mesir, Turki, Iran dan Kazakhstan—merupakan negara paling “agamis” di dunia.

Menurut survei tersebut, 90 persen dari penduduk Muslim di negeri ini menyatakan beriman kepada Tuhan dan hari kiamat. Sementara itu, 96 persen penduduk Muslim menyatakan menjalankan shalat lima waktu dan puasa Ramadhan (Malaysia dan Mesir 90 persen; Pakistan dan Iran 60 persen, dan Turki 33 persen). Data tersebut menggambarkan betapa tingginya tingkat kesalehan individual bangsa ini.

Indikator kuatnya tingkat kesalehan individual juga terrefleksi dari sederetan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama sebagai berikut: terdapat 741.991 masjid dan mushala di Indonesia, pondok pesantren berjumlah 26.975, ada 49.337 madrasah (tidak termasuk Raudlatul Athfal/RA), ada 5,1 juta pendaftar haji, dan 974.650 jamaah umrah setahun. Data tersebut, lagi-lagi, menggambarkan gairah keagamaan di kalangan Muslim yang sedemikian besarnya, sehingga bangsa ini termasuk ke dalam bangsa yang “religius.”



Ambivalensi Kesalehan

Pertanyaannya, banggakah kita dengan julukan sebagai bangsa yang religius? Apakah julukan tersebut membuat kita lebih baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam konteks keadaban publik? Inilah kira-kira persoalan mendasar keberagamaan kita yang patut kita refleksikan bersama. Ada ambivalensi, paradoks atau disparitas antara keberagamaan individual (hablun minallah) di satu sisi dengan keberagamaan publik (hablun minannas) di sisi lain.

Paradoks dan disparitas tersebut dapat dilihat, misalnya, dalam konteks keadaban publik (public civility) kita. Keadaban publik dapat didefinisikan sebagai sikap atau perilaku yang menghargai, menghormati, dan peduli terhadap sesama, taat pada aturan dan norma sosial serta menerapkannya dalam kehidupan kolektif. Dalam konteks kehidupan beragama, keadaban publik merepresentasikan kesalehan horizontal (hablun minannas). Dengan indikator-indikator semacam ini, bagaimana kita melihat wajah keadaban publik kita?

Kenyataan tiadanya korelasi antara keduanya dapat dilihat, misalnya, dari para pelanggar rambu lalulintas yang berakibat pada tingginya angka kecelakaan di jalan raya; tingginya tingkat kriminalitas seperti pencurian, perampasan, penjembretan, penipuan, pembunuhan hingga intoleransi/konflik sosial dan tawuran antarwarga. Belum lagi jika kita mencermati jagat media sosial yang dipenuhi dengan ujaran kebencian (hate-speech), perundungan, penipuan hingga berita bohong alias hoaks. Melihat realitas semacam ini, etika warga net (netizen) kita masih jadi tanda tanya besar.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More