Hati-hati Ancaman Krisis dari Tiga Jurusan
Sabtu, 20 Juni 2020 - 20:35 WIB
Kedua, ancaman depresi ekonomi. The Economist Intelligence Unit dalam publikasinya akhir Mei lalu memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global akan terkontraksi sebesar 4,2 persen. Angka ini jauh lebih rendah dari proyeksi IMF sebelumnya yang menyebut angka 3 persen. The Economist juga memproyeksikan 17 negara anggota G-20 bakal mengalami resesi tahun ini.
Selain resesi, sejumlah lembaga dan ekonom bahkan menyebut krisis yang akan kita hadapi sebenarnya sedang mengarah pada Depresi Besar (Great Depression) seperti tahun 1930. WTO (World Trade Organization), misalnya, memperkirakan perdagangan internasional akan turun ke level sangat rendah, sehingga dunia dapat kembali masuk ke situasi krisis seperti pernah terjadi pada 1930-an.
Apa yang diperkirakan WTO itu juga serupa dengan proyeksi IMF (International Monetary Fund). Bahkan, IMF memperingatkan situasi bakal lebih buruk dari Depresi Besar 1930-an. Prediksi ini berkebalikan dengan proyeksi yang mereka buat lima bulan lalu. Ketika itu IMF mengeluarkan perkiraan pertumbuhan pendapatan per kapita positif di lebih dari 160 negara anggotanya. Kini, mereka memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi global tahun ini akan tumbuh negatif.
Perekonomian dunia memang sedang mengarah pada ‘negative supply shock’ dan ‘deglobalisasi’, karena semua negara akan berusaha melindungi perekonomian domestik melalui berbagai skema, mulai dari proteksi, pengetatan tarif, dan sejenisnya. Pelonggaran pembatasan sosial sebenarnya tak akan otomatis mengalirkan kembali perekonomian. Sebab, pengangguran sudah terjadi, deindustrialisasi sudah berlangsung, dan turunnya tingkat pendapatan masyarakat adalah keniscayaan. Padahal, dalam konteks Indonesia, misalnya, konsumsi rumah tangga itu menyokong 56,82 persen PDB (Produk Domestik Bruto).
Konsep pemulihan ekonomi oleh Pemerintah memerlukan peningkatan defisit fiskal yang sangat besar. Melalui Perppu No. 1/2020, misalnya, Pemerintah telah mematok pelebaran defisit lebih dari 3 persen, yang dalam realisasinya bisa mencapai lebih dari 5 persen PDB. Padahal, saat ini tingkat utang publik sudah sangat tinggi. Akhir Mei lalu, jumlah utang Pemerintah tercatat mencapai Rp5.258,57 triliun.
Sektor-sektor yang terdampak terutama adalah jasa akomodasi, makanan, perdagangan, manufaktur, dan properti. Di Indonesia, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) sudah berlangsung. Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan, lebih dari 1,5 juta orang telah kehilangan pekerjaan sebagai imbas pandemi. Sebanyak 10,6 persen di antaranya, atau sekitar 160 ribu orang, kehilangan pekerjaan karena PHK, sedangkan 89,4 persen sisanya karena dirumahkan. Di sisi lain, pandemi Covid-19 mungkin akan berdampak cukup panjang. Inilah yang dapat membuat perekonomian global jatuh terpuruk ke titik yang jauh lebih buruk daripada yang pernah terjadi pada 1930-an.
Ketiga, ancaman perubahan geopolitik global dan kawasan. Dalam seminggu terakhir, dunia sedang menyaksikan akselerasi konflik serius di sejumlah kawasan, yang ditandai meletusnya kontak senjata antara tentara India dan Cina di perbatasan kedua negara, memanasnya kembali Semenanjung Korea, serta kian meningkatnya aktivitas militer Amerika Serikat dan Cina di Laut Cina Selatan.
Pekan lalu, misalnya, kapal induk USS Theodore Roosevelt, USS Nimitz, dan USS Ronald Reagan, sudah hadir di Laut Cina Selatan. Unjuk kekuatan militer semacam itu sangat tak lazim, setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir, sehingga harus disikapi sebagai penanda bakal ada yang berubah dalam geopolitik global dan kawasan ke depannya.
Jadi, kita tak lagi hanya menghadapi perang dagang antara Amerika dengan Cina, melainkan ancaman konflik, bahkan perang, yang bisa menyeret banyak negara di dalamnya. Sentimen anti-Cina, misalnya, kini sudah menjangkiti India. Negara-negara seperti Jepang, Vietnam, atau Australia, yang juga memiliki “masalah” dengan Cina, juga bisa memanaskan sentimen tersebut di kawasan.
Semua itu akan membuat dunia hari esok mungkin tak akan sama lagi dengan kemarin. Persoalannya adalah, menghadapi ancaman-ancaman itu, bagaimana sikap dan di mana posisi Indonesia? Saat negara-negara lain sedang sibuk mengkonsolidasikan kekuatan militer menghadapi dinamika geopolitik global, kita harus lebih sensitif terhadap dinamika politik global dan kawasan.
Selain resesi, sejumlah lembaga dan ekonom bahkan menyebut krisis yang akan kita hadapi sebenarnya sedang mengarah pada Depresi Besar (Great Depression) seperti tahun 1930. WTO (World Trade Organization), misalnya, memperkirakan perdagangan internasional akan turun ke level sangat rendah, sehingga dunia dapat kembali masuk ke situasi krisis seperti pernah terjadi pada 1930-an.
Apa yang diperkirakan WTO itu juga serupa dengan proyeksi IMF (International Monetary Fund). Bahkan, IMF memperingatkan situasi bakal lebih buruk dari Depresi Besar 1930-an. Prediksi ini berkebalikan dengan proyeksi yang mereka buat lima bulan lalu. Ketika itu IMF mengeluarkan perkiraan pertumbuhan pendapatan per kapita positif di lebih dari 160 negara anggotanya. Kini, mereka memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi global tahun ini akan tumbuh negatif.
Perekonomian dunia memang sedang mengarah pada ‘negative supply shock’ dan ‘deglobalisasi’, karena semua negara akan berusaha melindungi perekonomian domestik melalui berbagai skema, mulai dari proteksi, pengetatan tarif, dan sejenisnya. Pelonggaran pembatasan sosial sebenarnya tak akan otomatis mengalirkan kembali perekonomian. Sebab, pengangguran sudah terjadi, deindustrialisasi sudah berlangsung, dan turunnya tingkat pendapatan masyarakat adalah keniscayaan. Padahal, dalam konteks Indonesia, misalnya, konsumsi rumah tangga itu menyokong 56,82 persen PDB (Produk Domestik Bruto).
Konsep pemulihan ekonomi oleh Pemerintah memerlukan peningkatan defisit fiskal yang sangat besar. Melalui Perppu No. 1/2020, misalnya, Pemerintah telah mematok pelebaran defisit lebih dari 3 persen, yang dalam realisasinya bisa mencapai lebih dari 5 persen PDB. Padahal, saat ini tingkat utang publik sudah sangat tinggi. Akhir Mei lalu, jumlah utang Pemerintah tercatat mencapai Rp5.258,57 triliun.
Sektor-sektor yang terdampak terutama adalah jasa akomodasi, makanan, perdagangan, manufaktur, dan properti. Di Indonesia, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) sudah berlangsung. Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan, lebih dari 1,5 juta orang telah kehilangan pekerjaan sebagai imbas pandemi. Sebanyak 10,6 persen di antaranya, atau sekitar 160 ribu orang, kehilangan pekerjaan karena PHK, sedangkan 89,4 persen sisanya karena dirumahkan. Di sisi lain, pandemi Covid-19 mungkin akan berdampak cukup panjang. Inilah yang dapat membuat perekonomian global jatuh terpuruk ke titik yang jauh lebih buruk daripada yang pernah terjadi pada 1930-an.
Ketiga, ancaman perubahan geopolitik global dan kawasan. Dalam seminggu terakhir, dunia sedang menyaksikan akselerasi konflik serius di sejumlah kawasan, yang ditandai meletusnya kontak senjata antara tentara India dan Cina di perbatasan kedua negara, memanasnya kembali Semenanjung Korea, serta kian meningkatnya aktivitas militer Amerika Serikat dan Cina di Laut Cina Selatan.
Pekan lalu, misalnya, kapal induk USS Theodore Roosevelt, USS Nimitz, dan USS Ronald Reagan, sudah hadir di Laut Cina Selatan. Unjuk kekuatan militer semacam itu sangat tak lazim, setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir, sehingga harus disikapi sebagai penanda bakal ada yang berubah dalam geopolitik global dan kawasan ke depannya.
Jadi, kita tak lagi hanya menghadapi perang dagang antara Amerika dengan Cina, melainkan ancaman konflik, bahkan perang, yang bisa menyeret banyak negara di dalamnya. Sentimen anti-Cina, misalnya, kini sudah menjangkiti India. Negara-negara seperti Jepang, Vietnam, atau Australia, yang juga memiliki “masalah” dengan Cina, juga bisa memanaskan sentimen tersebut di kawasan.
Semua itu akan membuat dunia hari esok mungkin tak akan sama lagi dengan kemarin. Persoalannya adalah, menghadapi ancaman-ancaman itu, bagaimana sikap dan di mana posisi Indonesia? Saat negara-negara lain sedang sibuk mengkonsolidasikan kekuatan militer menghadapi dinamika geopolitik global, kita harus lebih sensitif terhadap dinamika politik global dan kawasan.
tulis komentar anda