Dokter Reisa: Rapid Test untuk Menemukan OTG Covid-19
Sabtu, 20 Juni 2020 - 18:31 WIB
JAKARTA - Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menjabarkan penggunaan rapid test dan polymerase chain reaction (PCR) dalam pelacakan orang yang diduga positif Covid-19. Semua teknik tes itu untuk menemukan orang yang positif dan segera mengisolasi dan merawat jika gejalanya berat.
Juru bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Reisa Broto Asmoro menerangkan rapid test ditujukan kepada orang yang pernah kontak erat dengan pasien positif Covid-19. Pemerintah tetap menargetkan orang-orang yang berisiko tinggi.
Tenaga kesehatan kadang melakukan tes massal di suatu tempat tertentu. Hal itu biasa telah ditemukan orang positif di tempat tersebut. “Tes masif berdasarkan penyelidikan epidemiologi. Sedangkan rapid test secara massal dilakukan di tempat keramaian, seperti pabrik, pasar, dan kantor, dengan tujuan untuk screening,” ujarnya dalam konferensi daring di Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sabtu (20/6/2020). (Baca juga: Update Corona 20 Juni 2020: 45.029 Positif, 17.883 Sembuh, 2.429 Meninggal Dunia)
Pelacakan ini untuk meminimalisasi dan segera menemukan orang tanpa gejala (OTG). Mereka biasa tetap berpergian secara bebas karena tidak merasakan sakit. Namun, OTG bisa berbahaya dan mengancam nyawa orang lainnya, terutama lansia dan yang mempunyai penyakit penyerta. “Rapid test membantu, kami menemukan orang yang harus dirawat agar segera sembuh dan tidak menimbulkan komplikasi. Untuk mengetahui jumlah orang yang membawa virus tapi tetap sehat. Mereka harus melindungi orang lain,” tutur Reisa.
OTG, menurut perempuan kelahiran 1985 itu, kalau tidak ditemukan dan ditangani akan menulari orang lain. Yang seperti ini sebenarnya bisa disembuhkan dengan melakukan isolasi mandiri di rumah dan fasilitas lain. Tentunya dengan pengawasan tenaga medis. (Baca juga: Gugus Tugas Imbau Warga Jangan Takut Lakukan Rapid Test)
Dia mengungkapkan alasan pemerintah mengedepankan rapid test untuk pelacakan. Pertama, meskipun sudah banyak mesin PCR, tidak mungkin seluruh penduduk Indonesia diperiksa dengan mesin PCR. Kedua, untuk mengetahui prevalensi atau basis epidemiologi seberapa banyak orang Indonesia yang sedang dan telah terkena Covid-19. Ketiga, menekan biaya sistem kesehatan.
Biaya rapid test memang lebih murah dibandingkan PCR. Sebagai informasi, saat ini telah ada lebih dari 200 laboratorium yang bisa melakukan pemeriksaan PCR. Kapasitas pemeriksaan spesimen pun meningkat berkisar 19.000-20.000 per hari. “Bagi yang rapid test nya positif akan dilanjutkan untuk tes PCR sebagai konfirmasi. Ingat populasi Indonesia sekitar 270 juta orang dan tersebar di belasan ribu pulau. Indonesia besar dan luas, jadi kami harus cermat menggunakannya,” katanya.
Juru bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Reisa Broto Asmoro menerangkan rapid test ditujukan kepada orang yang pernah kontak erat dengan pasien positif Covid-19. Pemerintah tetap menargetkan orang-orang yang berisiko tinggi.
Tenaga kesehatan kadang melakukan tes massal di suatu tempat tertentu. Hal itu biasa telah ditemukan orang positif di tempat tersebut. “Tes masif berdasarkan penyelidikan epidemiologi. Sedangkan rapid test secara massal dilakukan di tempat keramaian, seperti pabrik, pasar, dan kantor, dengan tujuan untuk screening,” ujarnya dalam konferensi daring di Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sabtu (20/6/2020). (Baca juga: Update Corona 20 Juni 2020: 45.029 Positif, 17.883 Sembuh, 2.429 Meninggal Dunia)
Pelacakan ini untuk meminimalisasi dan segera menemukan orang tanpa gejala (OTG). Mereka biasa tetap berpergian secara bebas karena tidak merasakan sakit. Namun, OTG bisa berbahaya dan mengancam nyawa orang lainnya, terutama lansia dan yang mempunyai penyakit penyerta. “Rapid test membantu, kami menemukan orang yang harus dirawat agar segera sembuh dan tidak menimbulkan komplikasi. Untuk mengetahui jumlah orang yang membawa virus tapi tetap sehat. Mereka harus melindungi orang lain,” tutur Reisa.
OTG, menurut perempuan kelahiran 1985 itu, kalau tidak ditemukan dan ditangani akan menulari orang lain. Yang seperti ini sebenarnya bisa disembuhkan dengan melakukan isolasi mandiri di rumah dan fasilitas lain. Tentunya dengan pengawasan tenaga medis. (Baca juga: Gugus Tugas Imbau Warga Jangan Takut Lakukan Rapid Test)
Dia mengungkapkan alasan pemerintah mengedepankan rapid test untuk pelacakan. Pertama, meskipun sudah banyak mesin PCR, tidak mungkin seluruh penduduk Indonesia diperiksa dengan mesin PCR. Kedua, untuk mengetahui prevalensi atau basis epidemiologi seberapa banyak orang Indonesia yang sedang dan telah terkena Covid-19. Ketiga, menekan biaya sistem kesehatan.
Biaya rapid test memang lebih murah dibandingkan PCR. Sebagai informasi, saat ini telah ada lebih dari 200 laboratorium yang bisa melakukan pemeriksaan PCR. Kapasitas pemeriksaan spesimen pun meningkat berkisar 19.000-20.000 per hari. “Bagi yang rapid test nya positif akan dilanjutkan untuk tes PCR sebagai konfirmasi. Ingat populasi Indonesia sekitar 270 juta orang dan tersebar di belasan ribu pulau. Indonesia besar dan luas, jadi kami harus cermat menggunakannya,” katanya.
(cip)
Lihat Juga :
tulis komentar anda