Serikat Pekerja: Tapera Bukan Tabungan tapi Pungutan Paksa
Sabtu, 20 Juni 2020 - 08:10 WIB
JAKARTA - Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek) meminta pemerintah untuk mengkaji ulang pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) .
Presiden Aspek, Mirah Sumirat mengatakan beleid itu akan membebani rakyat karena iurannya yang bersifat wajib. Iuran Tapera sebesar 3% dari penghasilan. Perusahaan menanggung 0.5% dan pekerja 2,5%. (Baca juga: Abaikan Permintaan Jubir Gerindra, Arief Poyuono Ogah Minta Maaf)
Aspek juga menyoroti warga negara asing (WNA) yang sudah bekerja selama enam bulan diwajibkan ikut Tapera. Sedangkan, WNA itu tidak bisa memiliki rumah di Indonesia. Aspek mencurigai pemerintah seperti mempersiapkan landasan hukum dan di masa depan WNA bisa memiliki rumah di Indonesia.
“Seharusnya bukan dengan mewajibkan WNA menjadi peserta Tapera. Akan tetapi bisa dilakukan dengan membebani pajak penghasilan yang lebih besar kepada pekerja WNA,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Sabtu (20/6/2020).
WNA pun diuntungkan karena dana iuran yang terhimpun beserta hasil pemupukan nantinya akan dikembalikan saat akan kembali ke negaranya atau sudah tidak bekerja di Indonesia. Jika demikian, negara tidak mendapatkan apa-apa.
“Jangan jadikan BP Tapera sebagai lembaga investasi untuk WNA. Karena tujuan Tapera adalah untuk perumahan rakyat,” tegas Mirah.
Masalah lain mengenai manfaat Tapera. Adapun beberapa tujuan Tapera, antara lain, pembiayaan untuk kepemilian rumah, pembanguna rumah atau perbaikan rumah. Syaratnya, harus sudah menjadi peserta selama 12 bulan, masyarakat berpenghasilan rendah, dan belum memiliki rumah.
Aspek mempersoalkan tentang persyaratan yang banyak membatasi. Di sisi lain, iuran wajib dilakukan. Mirah memprediksi dengan aturan seperti itu akan ada peserta yang tidak mendapatkan manfaat dari pembiayaan perumahan tersebut.
“Jika sifatnya wajib, program Tapera ini tidak layak disebut sebagai ‘tabungan’. Akan tetapi, lebih tepat disebut sebagai ‘pungutan paksa’. Jika program ini berbentuk tabungan, seharunys bersifat sukarela bukan diwajibkan,” katanya.
Tapera pun dinilai tumpang tindih dengan program lain seperti Manfaat Layanan Tambahan dari BPJS Ketenagakerjaan. Ada tiga manfaat bisa diperoleh peserta dari program itu, yakni fasilitas kredit kepemilikan rumah, pinjaman uang muka perumahan, dan pinjaman renovasi rumah. (Baca juga: Polemik Isu PKI, Gerindra Khawatir Arief Poyuono Jadi Alat Adu Domba)
“Iuran Tapera sebesar 3 persen akan menjadi beban baru bagi rakyat. Padahal pekerja sudah dibebani iuran BPJS Kesehatan yang semakin tinggi, iuran BPJS Ketenagakerjaan, dan pajak penghasilan,” pungkasnya.
Presiden Aspek, Mirah Sumirat mengatakan beleid itu akan membebani rakyat karena iurannya yang bersifat wajib. Iuran Tapera sebesar 3% dari penghasilan. Perusahaan menanggung 0.5% dan pekerja 2,5%. (Baca juga: Abaikan Permintaan Jubir Gerindra, Arief Poyuono Ogah Minta Maaf)
Aspek juga menyoroti warga negara asing (WNA) yang sudah bekerja selama enam bulan diwajibkan ikut Tapera. Sedangkan, WNA itu tidak bisa memiliki rumah di Indonesia. Aspek mencurigai pemerintah seperti mempersiapkan landasan hukum dan di masa depan WNA bisa memiliki rumah di Indonesia.
“Seharusnya bukan dengan mewajibkan WNA menjadi peserta Tapera. Akan tetapi bisa dilakukan dengan membebani pajak penghasilan yang lebih besar kepada pekerja WNA,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Sabtu (20/6/2020).
WNA pun diuntungkan karena dana iuran yang terhimpun beserta hasil pemupukan nantinya akan dikembalikan saat akan kembali ke negaranya atau sudah tidak bekerja di Indonesia. Jika demikian, negara tidak mendapatkan apa-apa.
“Jangan jadikan BP Tapera sebagai lembaga investasi untuk WNA. Karena tujuan Tapera adalah untuk perumahan rakyat,” tegas Mirah.
Masalah lain mengenai manfaat Tapera. Adapun beberapa tujuan Tapera, antara lain, pembiayaan untuk kepemilian rumah, pembanguna rumah atau perbaikan rumah. Syaratnya, harus sudah menjadi peserta selama 12 bulan, masyarakat berpenghasilan rendah, dan belum memiliki rumah.
Aspek mempersoalkan tentang persyaratan yang banyak membatasi. Di sisi lain, iuran wajib dilakukan. Mirah memprediksi dengan aturan seperti itu akan ada peserta yang tidak mendapatkan manfaat dari pembiayaan perumahan tersebut.
“Jika sifatnya wajib, program Tapera ini tidak layak disebut sebagai ‘tabungan’. Akan tetapi, lebih tepat disebut sebagai ‘pungutan paksa’. Jika program ini berbentuk tabungan, seharunys bersifat sukarela bukan diwajibkan,” katanya.
Tapera pun dinilai tumpang tindih dengan program lain seperti Manfaat Layanan Tambahan dari BPJS Ketenagakerjaan. Ada tiga manfaat bisa diperoleh peserta dari program itu, yakni fasilitas kredit kepemilikan rumah, pinjaman uang muka perumahan, dan pinjaman renovasi rumah. (Baca juga: Polemik Isu PKI, Gerindra Khawatir Arief Poyuono Jadi Alat Adu Domba)
“Iuran Tapera sebesar 3 persen akan menjadi beban baru bagi rakyat. Padahal pekerja sudah dibebani iuran BPJS Kesehatan yang semakin tinggi, iuran BPJS Ketenagakerjaan, dan pajak penghasilan,” pungkasnya.
(kri)
tulis komentar anda