Menyoal Legalisasi Cantrang
Jum'at, 19 Juni 2020 - 18:20 WIB
Perubahan rezim yang berkuasa tak menjamin nasib nelayan tradisional tak naik kelas. Beragam aturan yang dibuat pemerintah mulai dari Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri (Permen) jarang sekali berpihak mereka. Jika, ada aturan yang berpihak, malah direvisi dengan beragam alasan. Apalagi levelnya setinggi Permen. Di negeri ini terdapat empat UU soal kelautan dan perikanan. Di dalamnya terdapat ketidakseragaman terminology nelayan. Pertama, UU No. 1/2014 hasil revisi UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyebut nelayan tradisional dan nelayan modern sebagai pemangku kepentingan. Kedua, UU No. 45/2009 tentang Perikanan mengandung definisi nelayan dan mengistilahkan nelayan kecil. Ketiga, UU No. 32/2014 tentang Kelautan tak mengandung definisi maupun istilah nelayan, Keempat, UU No. 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petani Garam mengandung definisi nelayan, dan penggolongannya yaitu nelayan kecil, nelayan tradisional, nelayan buruh dan nelayan pemilik. Mencermati aturan-aturan ini, posisi nelayan tidaklah mendapatkan perlakuan yang setara dan adil. Ironisnya pula, dalam UU yang dibuat malah mengakomodasi kepentingan asing, semisal dalam pasal 26 A UU No. 1/2014 dan pasal 27 ayat (1) UU No. 45/2009.
Menariknya lagi eksistensi organisasi-organisasi nelayan tradisional tidak diakomodasi keberadaannya dalam UU tersebut. Padahal itu hak warganegara dalam pasal 28 UUD 1945. Artinya, aturan yang berlaku di negeri tidak menciptakan keadilan sosial. Lebih menomorsatukan kepentingan korporasi ketimbang masyarakat pesisir seperti nelayan tradisional dan buruh nelayan. Apalagi perlindungan terhadap buruh nelayan (ABK) yang bekerja di kapal asing. Nyaris tak mendapatkan perlindungan sama sekali dari aspek jaminan sosial dan perbudakan.
Permen KP No. 2/2015 sejatinya melindungi nelayan tradisonal atau nelayan skala kecil dari serbuan kapal cantrang di wilayah jalur-jalur penangkapannya sesuai Permen KP No. 71/2016. Mereka menggunakan kapal motor kurang 5GT atau perahu dengan alat tangkap pancing atau perangkap. Mereka beroperasi di wilayah yang kurang dari 2-4 mil laut di jalur I-IB. Mereka hanya memenuhi kebutuhan subsistennya. Jika ada kelebihan hasil tangkapan, mereka menjualnya. Patut ketahui bahwa sebagian ikan yang beredar di pasar-pasar tradisional adalah hasil tangkapan nelayan tradisional. Sementara, ikan berkualitas bagus, umunya masuk pasar ekspor yang ditangkap kapal ikan berukuran di atas 30GT. Bila mencermati paparan ini, nelayan tradisional secara ekonomi politik di negeri termarjinalkan. Jadi, melegalkan cantrang kembali sama halnya mengalienasi dan menjerumuskan mereka dalam kemiskinan struktural. Lalu apa semsetinya?
Kolaborasi
Pencabutan larangan cantrang tak menjamin kesejahteraan nelayan tradisional membaik.. Model kolaborasinya yaitu melibatkan nelayan tradisional dan organisasinya, seperti Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) dan Serikat Nelayan Indonesia (SNI), serta koperasi nelayan dan perguruan tinggi. Kolaborasi ini bertujuan meningkatkan kapabilitas nelayan tradisional dalam pengolahan dan pemasaran olah produk perikanan.
Selama ini pemerintah belum pernah mengembangkan model kolaborasi semacam ini. Pemerintah memiliki kebijakan, anggaran dan infrastruktur. Model ini diharapkan akan meringankan kerja pemerintah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Pemerintah berperan sebagai dinamisator, akselerator, evaluator dan pengawasan dalam mensukseskan implementasi program-programnya. Dalam proses evaluasi dan pengawasan bisa dirumuskan bersama dengan organisasi nelayan dan koperasi nelayan. Organisasi nelayan seperti KNTI dan SNI berperan mengorganisir, mempercepat proses (katalisator), mendampingi nelayan dan mengawasi sehingga menjamin keberlanjutan programnya. Supaya eksistensi organisasi nelayan kuat perlu diakomodasi dalam revisi UU Perikanan maupun UU Perlindungan Nelayan.
Perguruan tinggi berperan mengintroduksikan inovasi teknologi pengolahan hasil perikanan yang meningkatkan nilai tambah. Lalu, koperasi nelayan berperan sebagai wadah perlindungan dan pemberdayaan nelayan secara sosial ekonomi. Organisasi-organisai nelayan seperti KNTI dan SNI juga dapat mengorganisir nelayan dalam koperasi. Lewat koperasi inilah dikembangkan sistem pemberdayaan ekonomi nelayan berbasis teknologi informasi. Koperasi ini setidaknya menyediakan layanan (1) aplikasi terintegrasi untuk bisnis perikanan; (2) data sektor perikanan di suatu wilayah seperti persediaan ikan dan jumlah penjualan real time, (3) sistem perdagangan ikan dan hasil olahannya secara digital, dan (4) administrasi anggota koperasi bersifat digital. Contohnya, simpanan pokok dan sukarela nelayan akan terdata secara otomatis. Lewat sistem ini, informasi harga, lokasi persediaan, biaya logistik dan penyimpanan transparan bagi publik dalam industri perdagangan ikan.
Jika, swasta yang hendak terlibat, ia berperan sebagai pembeli hasil tangkapan maupun olahan hasil perikanan. Makanya, pemerintah sebaiknya mengembangkan model kebijakan ini ketimbang memaksakan legalisasi cantrang. Nantinya bakal meningkatkan daya saing produk dan efisiensi kolektif. Inilah prinsip hakikat pasal 33 UUD 45 bila hendak mensejahterakan nelayan tradisional. Imbasnya bakal terwujudak kesejahteraan dan keadilan sosial-ekonomi nelayan tradisional secara berkelanjutan. Semoga!
Menariknya lagi eksistensi organisasi-organisasi nelayan tradisional tidak diakomodasi keberadaannya dalam UU tersebut. Padahal itu hak warganegara dalam pasal 28 UUD 1945. Artinya, aturan yang berlaku di negeri tidak menciptakan keadilan sosial. Lebih menomorsatukan kepentingan korporasi ketimbang masyarakat pesisir seperti nelayan tradisional dan buruh nelayan. Apalagi perlindungan terhadap buruh nelayan (ABK) yang bekerja di kapal asing. Nyaris tak mendapatkan perlindungan sama sekali dari aspek jaminan sosial dan perbudakan.
Permen KP No. 2/2015 sejatinya melindungi nelayan tradisonal atau nelayan skala kecil dari serbuan kapal cantrang di wilayah jalur-jalur penangkapannya sesuai Permen KP No. 71/2016. Mereka menggunakan kapal motor kurang 5GT atau perahu dengan alat tangkap pancing atau perangkap. Mereka beroperasi di wilayah yang kurang dari 2-4 mil laut di jalur I-IB. Mereka hanya memenuhi kebutuhan subsistennya. Jika ada kelebihan hasil tangkapan, mereka menjualnya. Patut ketahui bahwa sebagian ikan yang beredar di pasar-pasar tradisional adalah hasil tangkapan nelayan tradisional. Sementara, ikan berkualitas bagus, umunya masuk pasar ekspor yang ditangkap kapal ikan berukuran di atas 30GT. Bila mencermati paparan ini, nelayan tradisional secara ekonomi politik di negeri termarjinalkan. Jadi, melegalkan cantrang kembali sama halnya mengalienasi dan menjerumuskan mereka dalam kemiskinan struktural. Lalu apa semsetinya?
Kolaborasi
Pencabutan larangan cantrang tak menjamin kesejahteraan nelayan tradisional membaik.. Model kolaborasinya yaitu melibatkan nelayan tradisional dan organisasinya, seperti Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) dan Serikat Nelayan Indonesia (SNI), serta koperasi nelayan dan perguruan tinggi. Kolaborasi ini bertujuan meningkatkan kapabilitas nelayan tradisional dalam pengolahan dan pemasaran olah produk perikanan.
Selama ini pemerintah belum pernah mengembangkan model kolaborasi semacam ini. Pemerintah memiliki kebijakan, anggaran dan infrastruktur. Model ini diharapkan akan meringankan kerja pemerintah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Pemerintah berperan sebagai dinamisator, akselerator, evaluator dan pengawasan dalam mensukseskan implementasi program-programnya. Dalam proses evaluasi dan pengawasan bisa dirumuskan bersama dengan organisasi nelayan dan koperasi nelayan. Organisasi nelayan seperti KNTI dan SNI berperan mengorganisir, mempercepat proses (katalisator), mendampingi nelayan dan mengawasi sehingga menjamin keberlanjutan programnya. Supaya eksistensi organisasi nelayan kuat perlu diakomodasi dalam revisi UU Perikanan maupun UU Perlindungan Nelayan.
Perguruan tinggi berperan mengintroduksikan inovasi teknologi pengolahan hasil perikanan yang meningkatkan nilai tambah. Lalu, koperasi nelayan berperan sebagai wadah perlindungan dan pemberdayaan nelayan secara sosial ekonomi. Organisasi-organisai nelayan seperti KNTI dan SNI juga dapat mengorganisir nelayan dalam koperasi. Lewat koperasi inilah dikembangkan sistem pemberdayaan ekonomi nelayan berbasis teknologi informasi. Koperasi ini setidaknya menyediakan layanan (1) aplikasi terintegrasi untuk bisnis perikanan; (2) data sektor perikanan di suatu wilayah seperti persediaan ikan dan jumlah penjualan real time, (3) sistem perdagangan ikan dan hasil olahannya secara digital, dan (4) administrasi anggota koperasi bersifat digital. Contohnya, simpanan pokok dan sukarela nelayan akan terdata secara otomatis. Lewat sistem ini, informasi harga, lokasi persediaan, biaya logistik dan penyimpanan transparan bagi publik dalam industri perdagangan ikan.
Jika, swasta yang hendak terlibat, ia berperan sebagai pembeli hasil tangkapan maupun olahan hasil perikanan. Makanya, pemerintah sebaiknya mengembangkan model kebijakan ini ketimbang memaksakan legalisasi cantrang. Nantinya bakal meningkatkan daya saing produk dan efisiensi kolektif. Inilah prinsip hakikat pasal 33 UUD 45 bila hendak mensejahterakan nelayan tradisional. Imbasnya bakal terwujudak kesejahteraan dan keadilan sosial-ekonomi nelayan tradisional secara berkelanjutan. Semoga!
(ras)
tulis komentar anda