Menyoal Legalisasi Cantrang
Jum'at, 19 Juni 2020 - 18:20 WIB
Muhamad Karim
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, Dosen Universitas Trilogi Jakarta
Kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang hendak melegalkan kembali alat tangkap cantrang patut dikritisi Pasalnya, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PermenKP) sebelumnya No. 2/2015 telah melarang penggunaan tangkap pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seinenets). Termasuk di dalamnya cantrang. Argumentasinya, pelarangan cantrang telah menciptakan kemiskinan dan merosotnya kesejahteraan nelayan serta matinya industri pengolahan di pantura Jawa, Argumen ini masih perlu diperdebatkan. Masalahnya, nelayan mana yang dimaksudkan miskin dan tidak sejahtera itu? Bila nelayan tradisional dan buruh nelayan/anak buah kapal (ABK) bisa benar.
Namun, nelayan tradisional tak ada kaitannya dengan kapal ikan cantrang. Mereka mengoperasikan kapal motor kurang 5 GT dan perahu. Buruh nelayan yang bekerja di kapal cantrang pun berdasarkan penelitian 2004, di Subang, Pekalongan dan Lamongan pendapatan per bulannnya di bawah upah minimum regional (UMR). Masalahnya, beroperasinya kapal cantrang bakal merampas hak akses dan kelola nelayan tradisional. Lalu, pemerintah hendak melegalkan cantrang buat kepentingan siapa?
Melegalkan kembali cantrang sejatinya bukanlah solusi bernas menyelesaikan problem struktural nelayan. Pemerintah beralasan perubahan kebijakan ini berdasarkan hasil uji petik. Dimana uji petik dilakukan? Apakah mewakili seluruh nelayan Indonesia khususnya nelayan tradisional yang menolak cantrang? Jika ujin petiknya hanya satu lokasi, secara statistik hasilnya tak valid. Pasalnya, pengambilan sampelnya tak mewakili seluruh populasi nelayan di Indonesia. Lantas, apakah kebijakan legalisasi kembali cantrang dianggap sah?
Marjinalisasi
Semenjak lima dekade terakhir hingga terbentuknya KKP, nelayan tradisional khususnya tidak mendapatkan perlakuan yang adil dari negara. Mereka jadi korban kebijakan negara sejak modernisasi perikanan tahun 1970-an yang melegalisasi pukat harimau (trawl), Dampaknya, sumber daya ikan sebagai tumpuan hidupnya mengalami tangkap lebih dan ekosistem pesisir terdeplesi. Utamanya di pantai Timur Sumatera dan pantai utara Laut Jawa. Kebijakan ini juga melahirkan konflik antara nelayan tradisonal dan trawl. Pun, sentral perikanan terbesar di Asia Tenggara pada masa itu, Bagansiapi-api, kini hanya tinggal nama. Jadi, korban juga. Mengatasi trawl masa itu, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) No 39/1980 yang melarang pengoperasian trawl, terkecuali di Laut Arafura.
Kenyataannya, kebijakan ini tak afektif dan menolong nelayan tradisional. Mereka tetap saja miskin dan termarjinalkan. Kapal-kapal trawl tetap saja merampas hak akses dan kelola mereka meskipun terdapat ketentuan jalur-jalur penangkapan. Imbasnya, strok sumber daya ikan di pantai timur Sumatera dan utara Jawa tereksploitasi hingga melampaui 100 persen. Negara lebih berpihak pada korporasi yang kerapkali tidak ada kaitannya dengan nasib nelayan. Kenapa Kepres 39/1980 membebaskan trawl di Laut Arafura masa itu? Sebabnya, kapal-kapal trawl berukuran besar diatas 30 GT hingga 100 GT menangkap udang di perairan itu.
Ironisnya lagi, selain hendak melegalisasi cantrang, pemerintah juga menggagas korporatisasi nelayan. Apakah korporatisasi menyelesaikan problem structural nelayan tradisonal dan buruh nelayan? Ini jadi tanda tanya besar. Selama dua dekade, sejak terbentuknya KKP, pemerintah telah menggelontorkan dana program bernilai triliunan. Termasuk diantaranya bantuan kapal dan alat tangkap, penguatan kapasitas nelayan, pendampingan hingga kredit usaha. Sayangnya, semua program berakhir tanpa hasil yang memusakan. Pemerintah terkesan sekedar menjalankan tugas pokoknya. Contohnya, program bantuan kapal INKA Mina 2010-2014 yang jadi onggokan sampah. Akibat tidak bisa dioperasikan dan tidak sesuai dengan kondisi perairan nelayan penerimanya. Padahal harganya lebih Rp1 miliar per unitnya.
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, Dosen Universitas Trilogi Jakarta
Kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang hendak melegalkan kembali alat tangkap cantrang patut dikritisi Pasalnya, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PermenKP) sebelumnya No. 2/2015 telah melarang penggunaan tangkap pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seinenets). Termasuk di dalamnya cantrang. Argumentasinya, pelarangan cantrang telah menciptakan kemiskinan dan merosotnya kesejahteraan nelayan serta matinya industri pengolahan di pantura Jawa, Argumen ini masih perlu diperdebatkan. Masalahnya, nelayan mana yang dimaksudkan miskin dan tidak sejahtera itu? Bila nelayan tradisional dan buruh nelayan/anak buah kapal (ABK) bisa benar.
Namun, nelayan tradisional tak ada kaitannya dengan kapal ikan cantrang. Mereka mengoperasikan kapal motor kurang 5 GT dan perahu. Buruh nelayan yang bekerja di kapal cantrang pun berdasarkan penelitian 2004, di Subang, Pekalongan dan Lamongan pendapatan per bulannnya di bawah upah minimum regional (UMR). Masalahnya, beroperasinya kapal cantrang bakal merampas hak akses dan kelola nelayan tradisional. Lalu, pemerintah hendak melegalkan cantrang buat kepentingan siapa?
Melegalkan kembali cantrang sejatinya bukanlah solusi bernas menyelesaikan problem struktural nelayan. Pemerintah beralasan perubahan kebijakan ini berdasarkan hasil uji petik. Dimana uji petik dilakukan? Apakah mewakili seluruh nelayan Indonesia khususnya nelayan tradisional yang menolak cantrang? Jika ujin petiknya hanya satu lokasi, secara statistik hasilnya tak valid. Pasalnya, pengambilan sampelnya tak mewakili seluruh populasi nelayan di Indonesia. Lantas, apakah kebijakan legalisasi kembali cantrang dianggap sah?
Marjinalisasi
Semenjak lima dekade terakhir hingga terbentuknya KKP, nelayan tradisional khususnya tidak mendapatkan perlakuan yang adil dari negara. Mereka jadi korban kebijakan negara sejak modernisasi perikanan tahun 1970-an yang melegalisasi pukat harimau (trawl), Dampaknya, sumber daya ikan sebagai tumpuan hidupnya mengalami tangkap lebih dan ekosistem pesisir terdeplesi. Utamanya di pantai Timur Sumatera dan pantai utara Laut Jawa. Kebijakan ini juga melahirkan konflik antara nelayan tradisonal dan trawl. Pun, sentral perikanan terbesar di Asia Tenggara pada masa itu, Bagansiapi-api, kini hanya tinggal nama. Jadi, korban juga. Mengatasi trawl masa itu, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) No 39/1980 yang melarang pengoperasian trawl, terkecuali di Laut Arafura.
Kenyataannya, kebijakan ini tak afektif dan menolong nelayan tradisional. Mereka tetap saja miskin dan termarjinalkan. Kapal-kapal trawl tetap saja merampas hak akses dan kelola mereka meskipun terdapat ketentuan jalur-jalur penangkapan. Imbasnya, strok sumber daya ikan di pantai timur Sumatera dan utara Jawa tereksploitasi hingga melampaui 100 persen. Negara lebih berpihak pada korporasi yang kerapkali tidak ada kaitannya dengan nasib nelayan. Kenapa Kepres 39/1980 membebaskan trawl di Laut Arafura masa itu? Sebabnya, kapal-kapal trawl berukuran besar diatas 30 GT hingga 100 GT menangkap udang di perairan itu.
Ironisnya lagi, selain hendak melegalisasi cantrang, pemerintah juga menggagas korporatisasi nelayan. Apakah korporatisasi menyelesaikan problem structural nelayan tradisonal dan buruh nelayan? Ini jadi tanda tanya besar. Selama dua dekade, sejak terbentuknya KKP, pemerintah telah menggelontorkan dana program bernilai triliunan. Termasuk diantaranya bantuan kapal dan alat tangkap, penguatan kapasitas nelayan, pendampingan hingga kredit usaha. Sayangnya, semua program berakhir tanpa hasil yang memusakan. Pemerintah terkesan sekedar menjalankan tugas pokoknya. Contohnya, program bantuan kapal INKA Mina 2010-2014 yang jadi onggokan sampah. Akibat tidak bisa dioperasikan dan tidak sesuai dengan kondisi perairan nelayan penerimanya. Padahal harganya lebih Rp1 miliar per unitnya.
tulis komentar anda