Pemberantasan Korupsi di Periode Kedua Pemerintahan Jokowi Kian Letoi
Jum'at, 19 Juni 2020 - 08:00 WIB
“Dari data itu dapat dikatakan bahwa vonis ringan pada tahun 2019 terbilang paling banyak dibanding dengan tiga tahun sebelumnya. Tentu ini menandakan bahwa lembaga pengadilan tidak berpihak pada isu pemberantasan korupsi,” ujar peneliti ICW, Kurnia Ramadhana kepada SINDOnews.
Vonis Bebas dan Lepas Koruptor Sepanjang tahun 2019 pengadilan di berbagai tingkatan telah membebaskan 41 terdakwa dan menjatuhkan putusan lepas kepada 13 terdakwa. Jika dipresentasekan sekitar 5,2% dari total keseluruhan putusan yang dijatuhkan oleh majelis Hakim. Jumlah ini merupakan yang tertinggi jika dibandingkan dengan tahun 2018 sebanyak 27 terdakwa dan tahun 2017 sebanyak 35 terdakwa.
Sedangkan yang dijatuhi sanksi berat pada tahun 2019 terbilang sangat sedikit, hanya 0,8 persen. Terdiri dari 9 terdakwa, masing-masing: Lie Eng Jun bin Lie Sing Kiat (diajtuhi 12 tahun penjara oleh MA), Syahran Umasugi (11 tahun oleh Pengadilan Negeri/PN Ambon), La Masikamba (15 tahun oleh Pengadilan Tinggi Maluku), Pieter Wandik (15 tahun oleh PN Jayapura), Victor Aries Efendy (15 tahun oleh PN Jayapura), Antonius Aris Saputro (16 tahun oleh PN Surabaya), Suharno bin Sadinu (11 tahun oleh PN Semarang), Riyanto bin Hadi sumarto (9 tahun oleh PN Semarang), dan Zainudin Hasan (12 tahun oleh PN Tanjung Karang).
Jerat UU Pencucian Uang Jarang Digunakan
Seperti sudah disebutkan sepanjang tahun 2019 kerugian negara yang timbul akibat praktik korupsi sebanyak Rp 12.002.548.977.762. Sedangkan putusan hakim yang menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti hanya Rp 748.163.509.055. Praktis kurang dari 10 persen keuangan negara yang hanya mampu dikembalikan melalui putusan di berbagai tingkat Pengadilan.
Sebenarnya tidak terlalu sulit menggenjot pengembalian uang negara yang dicoleng koruptor. Caranya dengan menerapkan UU Pencucian Uang. Nyatanya yang dijerat oleh UU No. 8 Tahun 2010 sepanjang tahun lalu hanya 8 terdakwa. Salah satunya adalah Zainudin Hasan, mantan Bupati Lampung Selatan.
Pengenaan UU Anti Pencucian Uang kepada terdakwa terbukti dapat menghasilkan putusan yang beriorientasi pada pemiskinan pelaku korupsi dan tentu saja memberi efek jera. Misalnya pada perkara yang menjerat mantan Bupati Lampung Selatan, Zainudin Hasan, pada putusannya majelis hakim mewajibkan yang bersangkutan untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 66,7 miliar.
Serius atau tidaknya negara dalam memberantas korupsi juga bisa dilihat dari tinggi rendahnya tuntutan jaksa. ICW membagi penilaian atas tuntutan Jaksa, baik asal Kejaksaan ataupun KPK ke dalam 3 (tiga) bagian, yakni: ringan (0-4 tahun), sedang (>4–10 tahun), dan berat (>10 tahun). Sepanjang tahun 2019 setidaknya 1.125 terdakwa disidangkan di berbagai tingat pengadilan, yang terbagi atas: 137 terdakwa dituntut oleh KPK dan 911 terdakwa dituntut oleh Kejaksaan.
Rata-rata tuntutan yang penuntutnya berasal dari KPK adalah 5 tahun 2 bulan penjara, sedangkan dari Kejaksaan adalah 3 tahun 4 bulan penjara. Sepanjang tahun 2019 KPK menuntut ringan 51 terdakwa, menuntut sedang 72 terdakwa, dan hanya menuntut berat 6 terdakwa. Kejaksaan sendiri, 604 terdakwa dituntut ringan, 276 dituntut sedang, dan 13 dituntut berat.
MA selaku benteng peradilan terakhir nyatanya juga belum bisa diandalkan dalam memberi efek jera buat koruptor. Ini tampak dari putusan Peninjauan Kembali sepanjang tahun lalu, MA mengkorting hukuman 6 terpidana kasus korupsi. Mulai dari pengurangan hukuman penjara, atau pun penghapusan uang pengganti.
Vonis Bebas dan Lepas Koruptor Sepanjang tahun 2019 pengadilan di berbagai tingkatan telah membebaskan 41 terdakwa dan menjatuhkan putusan lepas kepada 13 terdakwa. Jika dipresentasekan sekitar 5,2% dari total keseluruhan putusan yang dijatuhkan oleh majelis Hakim. Jumlah ini merupakan yang tertinggi jika dibandingkan dengan tahun 2018 sebanyak 27 terdakwa dan tahun 2017 sebanyak 35 terdakwa.
Sedangkan yang dijatuhi sanksi berat pada tahun 2019 terbilang sangat sedikit, hanya 0,8 persen. Terdiri dari 9 terdakwa, masing-masing: Lie Eng Jun bin Lie Sing Kiat (diajtuhi 12 tahun penjara oleh MA), Syahran Umasugi (11 tahun oleh Pengadilan Negeri/PN Ambon), La Masikamba (15 tahun oleh Pengadilan Tinggi Maluku), Pieter Wandik (15 tahun oleh PN Jayapura), Victor Aries Efendy (15 tahun oleh PN Jayapura), Antonius Aris Saputro (16 tahun oleh PN Surabaya), Suharno bin Sadinu (11 tahun oleh PN Semarang), Riyanto bin Hadi sumarto (9 tahun oleh PN Semarang), dan Zainudin Hasan (12 tahun oleh PN Tanjung Karang).
Jerat UU Pencucian Uang Jarang Digunakan
Seperti sudah disebutkan sepanjang tahun 2019 kerugian negara yang timbul akibat praktik korupsi sebanyak Rp 12.002.548.977.762. Sedangkan putusan hakim yang menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti hanya Rp 748.163.509.055. Praktis kurang dari 10 persen keuangan negara yang hanya mampu dikembalikan melalui putusan di berbagai tingkat Pengadilan.
Sebenarnya tidak terlalu sulit menggenjot pengembalian uang negara yang dicoleng koruptor. Caranya dengan menerapkan UU Pencucian Uang. Nyatanya yang dijerat oleh UU No. 8 Tahun 2010 sepanjang tahun lalu hanya 8 terdakwa. Salah satunya adalah Zainudin Hasan, mantan Bupati Lampung Selatan.
Pengenaan UU Anti Pencucian Uang kepada terdakwa terbukti dapat menghasilkan putusan yang beriorientasi pada pemiskinan pelaku korupsi dan tentu saja memberi efek jera. Misalnya pada perkara yang menjerat mantan Bupati Lampung Selatan, Zainudin Hasan, pada putusannya majelis hakim mewajibkan yang bersangkutan untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 66,7 miliar.
Serius atau tidaknya negara dalam memberantas korupsi juga bisa dilihat dari tinggi rendahnya tuntutan jaksa. ICW membagi penilaian atas tuntutan Jaksa, baik asal Kejaksaan ataupun KPK ke dalam 3 (tiga) bagian, yakni: ringan (0-4 tahun), sedang (>4–10 tahun), dan berat (>10 tahun). Sepanjang tahun 2019 setidaknya 1.125 terdakwa disidangkan di berbagai tingat pengadilan, yang terbagi atas: 137 terdakwa dituntut oleh KPK dan 911 terdakwa dituntut oleh Kejaksaan.
Rata-rata tuntutan yang penuntutnya berasal dari KPK adalah 5 tahun 2 bulan penjara, sedangkan dari Kejaksaan adalah 3 tahun 4 bulan penjara. Sepanjang tahun 2019 KPK menuntut ringan 51 terdakwa, menuntut sedang 72 terdakwa, dan hanya menuntut berat 6 terdakwa. Kejaksaan sendiri, 604 terdakwa dituntut ringan, 276 dituntut sedang, dan 13 dituntut berat.
MA selaku benteng peradilan terakhir nyatanya juga belum bisa diandalkan dalam memberi efek jera buat koruptor. Ini tampak dari putusan Peninjauan Kembali sepanjang tahun lalu, MA mengkorting hukuman 6 terpidana kasus korupsi. Mulai dari pengurangan hukuman penjara, atau pun penghapusan uang pengganti.
tulis komentar anda