Hikmah Puasa untuk Bangsa
Sabtu, 16 April 2022 - 07:39 WIB
Pemaknaan seperti di atas membutuhkan pemahaman yang murni dari puasa yang dilakukan secara konsisten, yaitu bahwa puasa adalah menahan diri (alimsak) yang sejatinya berarti mengurangi, bukan justru menunda atau memindahkan makan-minum dari siang menjadi malam.
Apabila hanya dimaknai sebagai penundaan kegiatan makan-minum dari siang ke malam hari, ibadah puasa bisa kehilangan daya perubahannya secara sosial. Hingga ibadah puasa terasa memberatkan atau bahkan membelenggu, daripada meringankan atau bahkan membebaskan.
Dalam sebuah hadist panjang terkait dengan ibadah puasa, umat Islam dianjurkan untuk menegaskan bahwa dirinya sedang berpuasa (inniyimru’unshaimun), khususnya kepada orang atau pihak yang menghina atau mengajaknya berkelahi. Hadits ini sejatinya dimaknai sebagai ketahanan internal.
Dengan kata lain, hadits di atas hendak menekankan agar masyarakat memiliki ketangguhan internal dalam menghadapi situasi sesulit apa pun. Masyarakat juga penting menghindari provokasi-provokasi apa pun yang bisa memperburuk keadaan yang ada. Inilah pesan Hadis di atas kepada masyarakat.
Lalu bagaimana dengan pemerintah? Tentu pemerintah sebagai ulilamri dan pemegang amanah tidak bisa berpegang pada hadits seperti di atas. Sebaliknya pemerintah harus berpegang pada kewajiban untuk menunaikan amanah yang ada (Qs.An-Nisa: 58). Karena itu, dalam Islam, kinerja pemerintah atau imam harus tegak lurus pada kemaslahatan masyarakat (tasorruful imam ‘alarro’iyyahmanuthunbilmashlahah).
Bahkan, pemerintah bisa mengambil langkah tegas mengusut tuntas para pihak yang terlibat dalam persoalan yang ada. Hingga kepentingan orang banyak tidak dirusak dan dikorbankan oleh kepentingan segelintir atau pihak tertentu.
Hal lain yang tak kalah penting terkait hikmah kebangsaan yang bisa diambil dari puasa adalah tentang kepastian waktu. Pada tahap tertentu dapat dikatakan, hanya ibadah puasa yang penentuan waktu awal dan akhirnya menjadi perhatian masyarakat luas. Padahal secara hukum, seluruh ibadah memiliki konsep awal dan akhir waktu, seperti shalat, zakat dan haji. Namun penentuan awal dan akhir dari ibadah-ibadah ini tidak sampai mendapatkan perhatian luas dari masyarakat.
Pada tahap tertentu, kondisi ini bisa dimaknai betapa pentingnya kepastian waktu. Selain karena waktu terkait dengan sah atau tidaknya (secara ritual) ibadah yang akan dilakukan, juga karena kepastian waktu berdampak terhadap hal-hal lain yang terkait dengan ibadah puasa.
Dalam beberapa waktu terakhir, masyarakat mulai diresahkan dengan wacana penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Awalnya wacana ini dihembuskan oleh sebagian menteri atau orang-orang yang berada di lingkaran dekatnya Presiden. Padahal konstitusi sudah membatasi masa jabatan presiden hanya dua periode secara berturut-turut.
Wacana ini sangat mengganggu dan menimbulkan ketidakpastian. Mirisnya adalah, wacana ini awalnya diklaim sebagai aspirasi dari kalangan pengusaha demi kepastian usaha. Padahal wacana ini justru menimbulkan ketidakpastian, tidak hanya di dunia usaha, tapi juga dalam kehidupan masyarakat secara luas yang bisa berdampak sangat destruktif.
Apabila hanya dimaknai sebagai penundaan kegiatan makan-minum dari siang ke malam hari, ibadah puasa bisa kehilangan daya perubahannya secara sosial. Hingga ibadah puasa terasa memberatkan atau bahkan membelenggu, daripada meringankan atau bahkan membebaskan.
Dalam sebuah hadist panjang terkait dengan ibadah puasa, umat Islam dianjurkan untuk menegaskan bahwa dirinya sedang berpuasa (inniyimru’unshaimun), khususnya kepada orang atau pihak yang menghina atau mengajaknya berkelahi. Hadits ini sejatinya dimaknai sebagai ketahanan internal.
Dengan kata lain, hadits di atas hendak menekankan agar masyarakat memiliki ketangguhan internal dalam menghadapi situasi sesulit apa pun. Masyarakat juga penting menghindari provokasi-provokasi apa pun yang bisa memperburuk keadaan yang ada. Inilah pesan Hadis di atas kepada masyarakat.
Lalu bagaimana dengan pemerintah? Tentu pemerintah sebagai ulilamri dan pemegang amanah tidak bisa berpegang pada hadits seperti di atas. Sebaliknya pemerintah harus berpegang pada kewajiban untuk menunaikan amanah yang ada (Qs.An-Nisa: 58). Karena itu, dalam Islam, kinerja pemerintah atau imam harus tegak lurus pada kemaslahatan masyarakat (tasorruful imam ‘alarro’iyyahmanuthunbilmashlahah).
Bahkan, pemerintah bisa mengambil langkah tegas mengusut tuntas para pihak yang terlibat dalam persoalan yang ada. Hingga kepentingan orang banyak tidak dirusak dan dikorbankan oleh kepentingan segelintir atau pihak tertentu.
Hal lain yang tak kalah penting terkait hikmah kebangsaan yang bisa diambil dari puasa adalah tentang kepastian waktu. Pada tahap tertentu dapat dikatakan, hanya ibadah puasa yang penentuan waktu awal dan akhirnya menjadi perhatian masyarakat luas. Padahal secara hukum, seluruh ibadah memiliki konsep awal dan akhir waktu, seperti shalat, zakat dan haji. Namun penentuan awal dan akhir dari ibadah-ibadah ini tidak sampai mendapatkan perhatian luas dari masyarakat.
Pada tahap tertentu, kondisi ini bisa dimaknai betapa pentingnya kepastian waktu. Selain karena waktu terkait dengan sah atau tidaknya (secara ritual) ibadah yang akan dilakukan, juga karena kepastian waktu berdampak terhadap hal-hal lain yang terkait dengan ibadah puasa.
Dalam beberapa waktu terakhir, masyarakat mulai diresahkan dengan wacana penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Awalnya wacana ini dihembuskan oleh sebagian menteri atau orang-orang yang berada di lingkaran dekatnya Presiden. Padahal konstitusi sudah membatasi masa jabatan presiden hanya dua periode secara berturut-turut.
Wacana ini sangat mengganggu dan menimbulkan ketidakpastian. Mirisnya adalah, wacana ini awalnya diklaim sebagai aspirasi dari kalangan pengusaha demi kepastian usaha. Padahal wacana ini justru menimbulkan ketidakpastian, tidak hanya di dunia usaha, tapi juga dalam kehidupan masyarakat secara luas yang bisa berdampak sangat destruktif.
tulis komentar anda