Hikmah Puasa untuk Bangsa

Sabtu, 16 April 2022 - 07:39 WIB
loading...
Hikmah Puasa untuk Bangsa
Hasibullah Satrawi.FOTO/Dok SINDO
A A A
Hasibullah Satrawi
Pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam.

Ibadah puasa di Bulan Suci Ramadhan senantiasa disambut secara gegap-gempita oleh umat Islam. Tidak semata-mata karena hanya setahun sekali, melainkan juga karena ibadah puasa acap menciptakan kehidupan sosial-keagamaan yang berbeda dibanding hari-hari biasanya. Mulai dari pernak-pernik makanan pada waktu menjelang berbuka, malam yang terasa lebih “panjang” ketimbang biasanya, hingga kedermawananmasyarakat yang meningkat tajam sepanjang Bulan Suci ini.

Di luar hal-hal yang bersifat kesalihan-ritual, puasa sejatinya juga sarat dengan nilai-nilai kesalihan-sosial. Nilai-nilai dari puasa ini sangat penting untuk dijadikan sebagai “kesadaran kebangsaan,” khususnya dalam kehidupan sosial-ekonomi yang cukup berat seperti belakangan. Alih-alih menambah beban hidup, puasa justru bisa memberi semangat baru untuk menghadapi pelbagai macam persoalan sosial-ekonomi yang tidak ringan.

Dalam beberapa waktu terakhir, contohnya, masyarakat dan pemerintah dibuat pusing oleh keberadaan dan harga minyak goreng. Sempat langka beberapa waktu, khususnya setelah pemerintah menetapkan kebijakan satu harga untuk seluruh merek dan jenis minyak goreng. Namun kemudian minyak goreng begitu banyak dengan harga selangit, khususnya setelah pemerintah mencabut kebijakan batas harga eceran tertinggi (HET).

Tidak perlu menjadi ekonom hebat untuk menyadari adanya kejanggalan atau bahkan permainan terkait harga minyak goreng. Pada waktu kebijakan satu harga diberlakukan, minyak goreng nyaris raib di pasaran. Ketika kebijakan satu harga dicabut dan harga ditentukan berdasarkan mekanisme pasar, minyak goreng melimpah tapi dengan harga selangit. Semua ini bisa dipahami bahwa negara kalah dan tidak berdaya di hadapan keinginan pasar.

Walaupun pemerintah yang kalah dan tak berdaya, tetapi justru masyarakat yang harus membayar dan menanggung seluruh dampaknya. Tidak hanya harus mengeluarkan uang secara lebih banyak, tidak hanya harus antre selama berjam-jam, sebagian masyarakat bahkan sampai ada yang harus membayar kekalahan yang ada dengan nyawanya.

Di luar persoalan minyak goreng yang belum selesai hingga hari ini, masyarakat juga harus menghadapi harga-harga lain yang mulai merangkak naik seperti harga bahan bakar minyak (BBM) yang diyakini akan berdampak terhadap harga-harga lain. Semua ini akan menambah beban kehidupan dan masalah yang harus dihadapi oleh masyarakat.

Dalam konteks seperti ini, kehadiran ibadah puasa sejatinya mampu mengurangi beban hidup masyarakat. Minimal karena selama berpuasa masyarakat diwajibkan untuk tidak makan-minum yang bisa mengurangi konsumsi. Bahkan puasa juga bisa menurunkan mobilitas yang pada batas tertentu juga bisa bermakna mengurangi pengeluaran.

Pemaknaan seperti di atas membutuhkan pemahaman yang murni dari puasa yang dilakukan secara konsisten, yaitu bahwa puasa adalah menahan diri (alimsak) yang sejatinya berarti mengurangi, bukan justru menunda atau memindahkan makan-minum dari siang menjadi malam.

Apabila hanya dimaknai sebagai penundaan kegiatan makan-minum dari siang ke malam hari, ibadah puasa bisa kehilangan daya perubahannya secara sosial. Hingga ibadah puasa terasa memberatkan atau bahkan membelenggu, daripada meringankan atau bahkan membebaskan.

Dalam sebuah hadist panjang terkait dengan ibadah puasa, umat Islam dianjurkan untuk menegaskan bahwa dirinya sedang berpuasa (inniyimru’unshaimun), khususnya kepada orang atau pihak yang menghina atau mengajaknya berkelahi. Hadits ini sejatinya dimaknai sebagai ketahanan internal.

Dengan kata lain, hadits di atas hendak menekankan agar masyarakat memiliki ketangguhan internal dalam menghadapi situasi sesulit apa pun. Masyarakat juga penting menghindari provokasi-provokasi apa pun yang bisa memperburuk keadaan yang ada. Inilah pesan Hadis di atas kepada masyarakat.

Lalu bagaimana dengan pemerintah? Tentu pemerintah sebagai ulilamri dan pemegang amanah tidak bisa berpegang pada hadits seperti di atas. Sebaliknya pemerintah harus berpegang pada kewajiban untuk menunaikan amanah yang ada (Qs.An-Nisa: 58). Karena itu, dalam Islam, kinerja pemerintah atau imam harus tegak lurus pada kemaslahatan masyarakat (tasorruful imam ‘alarro’iyyahmanuthunbilmashlahah).

Bahkan, pemerintah bisa mengambil langkah tegas mengusut tuntas para pihak yang terlibat dalam persoalan yang ada. Hingga kepentingan orang banyak tidak dirusak dan dikorbankan oleh kepentingan segelintir atau pihak tertentu.

Hal lain yang tak kalah penting terkait hikmah kebangsaan yang bisa diambil dari puasa adalah tentang kepastian waktu. Pada tahap tertentu dapat dikatakan, hanya ibadah puasa yang penentuan waktu awal dan akhirnya menjadi perhatian masyarakat luas. Padahal secara hukum, seluruh ibadah memiliki konsep awal dan akhir waktu, seperti shalat, zakat dan haji. Namun penentuan awal dan akhir dari ibadah-ibadah ini tidak sampai mendapatkan perhatian luas dari masyarakat.

Pada tahap tertentu, kondisi ini bisa dimaknai betapa pentingnya kepastian waktu. Selain karena waktu terkait dengan sah atau tidaknya (secara ritual) ibadah yang akan dilakukan, juga karena kepastian waktu berdampak terhadap hal-hal lain yang terkait dengan ibadah puasa.

Dalam beberapa waktu terakhir, masyarakat mulai diresahkan dengan wacana penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Awalnya wacana ini dihembuskan oleh sebagian menteri atau orang-orang yang berada di lingkaran dekatnya Presiden. Padahal konstitusi sudah membatasi masa jabatan presiden hanya dua periode secara berturut-turut.

Wacana ini sangat mengganggu dan menimbulkan ketidakpastian. Mirisnya adalah, wacana ini awalnya diklaim sebagai aspirasi dari kalangan pengusaha demi kepastian usaha. Padahal wacana ini justru menimbulkan ketidakpastian, tidak hanya di dunia usaha, tapi juga dalam kehidupan masyarakat secara luas yang bisa berdampak sangat destruktif.

Adalah benar bahwa Presiden belakangan melarang menterinya untuk membicarakan tentang isu penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Bahkan presiden telah menegaskan bahwa Pemilu akan dilaksanakan pada 2024 dan tidak akan ada penambahan masa jabatan presiden atau tiga periode.

Tapi pernyataan ini bisa dibilang terlambat, mengingat kontroversi terkait masalah ini sudah dihembuskan sedemikian keras dan dilempar sedemikian jauh beserta seluruh dampaknya.

Perdamaian dan ketenteraman harus senantiasa dijaga dengan memerhatikan kepastian waktu dan aturan. Siapa pun orangnya mestinya tidak melakukan manuver apa pun terkait perpanjangan waktu atau perubahan aturan yang bisa menimbulkan ketidakpastian. Inilah semangat kebangsaan yang bisa diambil dari ibadah puasa.

Melalui kepastian waktu dan aturan yang ada, semua elemen masyarakat bisa melakukan semua aktivitas sebagaimana biasanya. Pun demikian, semua pihak juga bisa melakukan persiapan guna menyongsong hari kemenangan kebangsaan, yaitu terlaksananya pemilu 2024 yang damai sebagai upaya bersama segenap elemen bangsa untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2953 seconds (0.1#10.140)